Malam itu, setelah seharian bekerja di puskesmas, Faris, Eny, dan Wira berjalan pulang ke rumah dinas mereka. Rumah mereka memang tidak jauh, hanya sekitar 15 menit berjalan kaki dari puskesmas. Namun, entah kenapa malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus pelan, membuat ranting-ranting pohon di sekitar jalan setapak bergoyang perlahan.
"Kok berasa lama banget ya jalannya?" tanya Eny sambil merapatkan jaketnya.
"Iya, perasaan biasanya nggak selama ini," timpal Wira.
Faris menoleh ke belakang, sekadar memastikan tidak ada sesuatu yang aneh mengikuti mereka. Jalanan tetap sunyi, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing terdengar di kejauhan.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan, mereka melihat seseorang berjalan ke arah mereka. Sosok itu adalah Pak Yudha, pemilik rumah yang mereka tinggali.
"Pak Yudha? Tumben nggak nyapa?" bisik Wira.
Pak Yudha hanya lewat begitu saja, tidak seperti biasanya yang selalu mengajak ngobrol meskipun hanya sebentar. Ia terlihat buru-buru, wajahnya sedikit meringis seperti menahan sesuatu.
"Mungkin dia mau ke jamban," kata Faris menebak.
"Oh iya! Bukannya tadi dia bilang WC rumahnya rusak?" Eny mengingat.
"Pantes dia kayak nahan sesuatu," ujar Wira sambil menahan tawa.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Namun, perasaan tidak nyaman masih ada. Apalagi saat mereka merasa ada sepasang mata yang mengawasi mereka dari kejauhan. Mereka berhenti sejenak dan saling pandang.
"Kalian ngerasa ada yang liatin nggak?" tanya Eny dengan suara pelan.