Setelah Yasmin kembali ke kota dan kembali sibuk dengan pekerjaannya, keadaan di desa tempat Faris bekerja mulai terasa berbeda. Eny dan Abdul yang selama ini hanya mengamati dengan tenang, kini semakin yakin bahwa Dian memang memiliki niat untuk mendekati Faris lebih dari sekadar rekan kerja.
Sementara itu, Wira yang sejak lama menyukai Dian, mulai merasa ada yang salah. Sikap Dian terhadap Faris terlihat berbeda. Ia yang dulu hanya bersikap biasa, kini semakin sering berada di dekat Faris dengan alasan pekerjaan. Wira tidak bodoh, dia tahu ada sesuatu yang berubah.
Di satu sisi, Faris yang terbiasa bekerja dengan Dian tidak terlalu mempermasalahkan sikapnya. Baginya, ini hanya bagian dari dinamika pekerjaan. Tapi, Eny dan Abdul yang terus memperhatikan mulai merasa kesal. Dian semakin terlihat mencari perhatian Faris di mana pun mereka berada.
"Far, kamu bisa bantu aku bawa ini nggak? Berat banget..." Dian berkata dengan suara lembut sambil memegang tumpukan berkas di puskesmas.
Faris, yang saat itu sedang merapikan alat medis, mengangguk tanpa berpikir panjang. "Oh, boleh. Taruh sini aja, nanti aku bantu angkat."
Dian tersenyum manis. "Makasih banget ya, Faris. Kamu memang baik."
Abdul yang melihat kejadian itu hanya bisa menghela napas panjang. Ia melirik Eny yang juga memperhatikan dengan wajah sebal. "Lihat tuh, makin terang-terangan kan?" bisiknya.
Eny menyilangkan tangan di dada. "Aku udah bilang dari awal, Dian tuh nggak sebaik yang orang kira. Tapi ini sudah kelewatan."
Di saat yang sama, Wira semakin sulit menahan emosinya. Melihat Dian lebih sering dekat dengan Faris, ia merasa tersisih. Awalnya, ia mencoba menahan diri, tapi perlahan amarahnya semakin membesar.
Suatu hari, saat mereka semua sedang beristirahat di kantin puskesmas, Wira akhirnya meluapkan perasaannya.
"Faris, kamu itu sebenarnya sadar nggak sih kalau Dian itu suka sama kamu?" kata Wira tiba-tiba.