Yasmin duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada laporan yang menumpuk. Namun, pikirannya terus berputar ke Faris. Sejak kemarin, pesannya hanya dibalas singkat, dan sinyal di desa tempat Faris bekerja memang sering bermasalah. Yasmin mencoba memahami, tapi ada rasa tidak nyaman yang mengganggunya. Perasaan itu semakin kuat saat notifikasi ponselnya berbunyi.
Pesan dari nomor tak dikenal.
[Lihat ini. Masih yakin Faris setia padamu?]
Tangan Yasmin gemetar saat ia membuka lampiran foto yang dikirimkan. Matanya membelalak melihat gambar Faris bersama Dian di sebuah ruangan. Dian tampak hanya mengenakan pakaian yang terbuka, sementara Faris terlihat tegang dan marah.
"Apa-apaan ini?!" Yasmin membatin, dadanya terasa sesak.
Tanpa berpikir panjang, Yasmin langsung menelepon Faris, namun tak tersambung. Ditelepon berulang kali, hasilnya tetap sama.
Di desa
Faris baru saja keluar dari pos kesehatan setelah menghindari Dian yang semakin berani. Ia merasakan ada sesuatu yang janggal, seolah-olah Dian memang sengaja mencari kesempatan untuk berduaan dengannya. Saat itu, Wira datang menghampirinya dengan wajah penuh amarah.
"Kau ini laki-laki macam apa, Faris?!" bentak Wira tanpa basa-basi.
Faris mengernyit. "Apa maksudmu, Wira?"
"Jangan pura-pura bodoh! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri! Dian... kau... di ruangan itu!"
Faris terkejut. "Kau salah paham! Aku tidak melakukan apa-apa! Aku justru menolak dia!"
"Bohong! Buktinya aku punya fotonya!" Wira mengangkat ponselnya, menunjukkan foto yang sudah dikirimkan ke Yasmin.
Darah Faris mendidih. "Kau memanfaatkan ini untuk menghancurkan hubunganku dengan Yasmin?!"