Langit malam di desa itu tampak lebih pekat dari biasanya. Udara dingin menyelimuti rumah-rumah kayu yang berdiri dengan tenang, namun ketegangan di antara beberapa orang di dalamnya bagaikan api yang siap membakar segalanya. Faris duduk di beranda rumahnya, matanya kosong menatap ke kejauhan. Hatinya kacau, pikirannya berantakan. Semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini membuatnya nyaris gila.
Dia sudah mencoba menjauh dari Dian. Dia sudah berusaha menjaga jarak. Tapi entah kenapa, wanita itu selalu punya cara untuk muncul di hadapannya. Seakan ada benang tak kasat mata yang mengikat mereka, meskipun Faris dengan segenap hati ingin memutusnya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar pelan. Sinyal lemah di desa itu membuat komunikasi dengan Yasmin semakin sulit. Sebuah pesan dari Yasmin masuk:
Yang aku lihat dengan mataku sendiri, Faris. Gimana aku bisa percaya lagi?
Hati Faris mencelos. Matanya menatap layar lama, jemarinya gemetar saat mencoba mengetik balasan. Tapi sebelum dia bisa mengirimkan sesuatu, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya.
"Faris…"
Suara itu. Suara yang mulai ia benci.
Dian berdiri di belakangnya, masih dengan wajah memelasnya. Kali ini, ia mengenakan pakaian yang lebih tertutup dari biasanya, seolah ingin menampilkan citra wanita baik-baik yang tak bersalah. Mata bulatnya menatap Faris penuh harap.
“Aku cuma mau bicara sebentar… Kumohon,” ujarnya pelan.