Langit kampung mulai mendung, seakan turut merasakan beratnya suasana. Setelah semua bukti disampaikan, Pak Darman akhirnya dibawa oleh aparat yang diam-diam sudah bersiaga sejak pagi. Tak ada lagi perlawanan, hanya wajah penuh kelelahan dan penyesalan dari seorang pria yang selama ini bermain di balik layar. Warga hanya bisa terpaku, sebagian menangis kecewa, sebagian lagi merasa lega karena keadilan akhirnya ditegakkan.
Pak Surya, penyidik kejaksaan, berdiri di depan warga. "Hari ini, kalian tidak hanya melihat jatuhnya seorang pemimpin, tapi juga bangkitnya kesadaran bahwa kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya," ucapnya dengan suara lantang.
Yasmin tiba tak lama setelah itu. Dia melihat kerumunan dari kejauhan dan segera berlari ke arah Faris. Faris yang awalnya tidak menyadari kedatangannya, terperangah saat Yasmin berdiri di hadapannya, matanya basah oleh air mata yang tertahan.
"Aku… aku minta maaf," kata Yasmin pelan. "Aku sempat ragu. Aku lihat foto itu… tapi aku tahu kamu bukan seperti yang digambarkan."
Faris menatapnya, hatinya yang tadi keras mulai melembut. "Aku juga minta maaf, Yas. Aku terlalu membiarkan semua ini berlarut, dan kamu jadi korban."
Mereka saling menatap, dan akhirnya berpelukan. Tidak ada kata-kata yang cukup menggambarkan kelegaan saat kepercayaan yang sempat retak akhirnya kembali pulih.
Di sisi lain, Wira memberanikan diri melangkah maju. Dengan langkah berat, dia berdiri di hadapan Faris. “Faris… aku nggak punya alasan. Aku salah besar. Aku biarkan perasaanku mengaburkan semuanya. Aku hancurkan kepercayaan kita. Aku minta maaf.”
Faris diam sejenak. Emosinya sudah mulai reda. Ia melihat Wira, sahabat lamanya yang pernah ia anggap seperti saudara sendiri.
“Gue juga sakit hati, Ra. Tapi kalau kita saling nyalahin terus, kita cuma makin jauh. Gue maafin lo. Tapi gue harap lo belajar dari ini semua.”