“Gue, sih, nggak percaya lo jadian sama Marvel. Udah, ngaku aja jomlo,” kata Carlo. Cuma dia yang sudi melontarkan pernyataan tidak bermartabat semacam tadi. Padahal, aku baru saja duduk di jok mobilnya, pasang seat belt saja belum. Memang agak sulit memercayai kenyataan ini. Bukannya aku yang terlalu sensitif. Aku melihat sendiri, kok, bagaimana tatapan teman-teman kampus yang menghunjam. Minimal tidak sengaja memandang dua kali dengan tatapan penuh tanda tanya. Seolah ini ketidakadilan ketika melihatku, perempuan yang berukuran lebih bisa jalan bareng cowok berbadan sesempurna instruktur fitness seperti Marvel. Aku bisa mengabaikan jika orang lain yang tidak percaya, tetapi Carlo sahabatku. Orang pertama yang seharusnya percaya.
Kalau saja aku tidak pakai high heels, aku pasti langsung lari mencegat bus begitu lihat antrean taksi yang panjang tadi. Sayangnya, keadaan berkata lain. Carlo muncul menawarkan tumpangan, sementara antrean taksi masih sepanjang ular sawah yang malas bergerak.
Carlo melanjutkan, “Nggak apa-apa, kok. Jomlo itu bukan dosa. Gue jomlo, tapi baik-baik aja,” katanya dengan nada maklum. Aku menahan kekesalan dan menatapnya tidak percaya. Sayangnya, ia tidak mengerti bahasa nonverbal. “Jangan-jangan itu cuma gosip, ya? Siapa, sih, yang bikin? Bikin gosip, kok, begitu, kecoak aja nggak percaya.” Carlo mendengus lalu tersenyum kecil, membuat lesung pipinya terlihat.
Hingga setengah perjalanan, Carlo tidak juga lelah. Justru aku yang sudah mulai bosan. Mengingat antusiasmenya ini, sepertinya ia berniat menerorku sampai alam mimpi jika aku tidak menjawab kecurigaannya. “Carlo! Harus berapa kali gue bilang, sih, itu bukan gosip. Gue emang jadian sama Marvel. Lo tahu Marvel, kan?”
“Tahu. Senior kita, yang baru kerja di The Exhibition cabang antah-berantah.”
“Antah-berantah gimana? Dia di Bali, kok.”
“Intinya di luar kota ini! Dan karenanya, kalaupun lo pacaran sama dia, berarti lo ngejalanin long distance relationship.”
“Apa salahnya?”
“Long distance relationship-nya mungkin nggak salah. Orangnya yang salah.”
“Salah gimana?”
“Ya salah, soalnya Marvel yang itu, kan? Senior kita yang ngebimbing kelompok lo di mata kuliah bisnis pameran itu?” tutur Carlo, bibirnya yang tipis itu maju beberapa senti, tanda dia tidak suka.
“Senior kita yang kata orang-orang ganteng, tapi kata gue enggak.”
“Gue, sih, lebih percaya kata orang-orang daripada kata-kata lo.” Carlo berdecak, “Bener, Marvel yang itu?” kata Carlo masih dengan energi optimal untuk ngomongin orang.
“Iya. Itu pacar gue.”
“Ya nggak mungkinlah!” Carlo mengikik, aku mendelik. Ya, dia tidak mengerti bahasa nonverbal. Kikikannya makin menjadi. Aku berpikirbagaimana caranya membuktikan kepada Carlo. Apa kutelepon saja Marvel? Aku mengeluarkan ponselku, tapi lalu teringat … aku tidak mungkin menelepon Marvel. Ini bukan waktu yang tepat. Kami sedang tidak akur.
Ini perkara foto yang di-tag temannya ke social media Marvel. Di foto itu tampak Marvel dan beberapa temannya di sebuah resto. Masalahnya ada satu orang yang menempel di lengannya seperti bekicot, Shera. Perlu diketahui, Si Shera-Shera ini mantan pacarnya. Entah bagaimana logikanya, Shera bisa ada di sana. Setelah kepergok, baru Marvel menjelaskan, mereka sedang makan malam bersama. Rumah Shera memang di Bali dan kebetulan mereka satu kantor.
Menurutnya, ini bukan hal yang patut dicurigai karena toh mereka makan beramai-ramai, di tempat ramai. Ia bilang, aku hanya patut curiga kalau mereka makan berdua di warung remang-remang. Lalu, masalah menempelnya Shera di lengannya, menurut Marvel, itu cuma masalah angle foto. Katanya, kenyataannya nggak sedekat itu.
Aku tidak suka, apa pun alasannya, aku tidak mau Shera ada di sana! Marvel bilang aku kekanak-kanakan. Satu katanya yang kuingat sebelum aku menutup teleponnya dan menangis, “Menjalin hubungan jarak jauh itu harus saling percaya. Kalau enggak, kita cuma buang-buang waktu, karena pada akhirnya, kita tidak hanya nggak satu tempat, tapi juga nggak satu tujuan. Kita akan benar-benar jalan sendiri-sendiri. Kamu mau begitu?”
“Lagi pula, kita long distance begini bukan salahku sepenuhnya. Ini karena kamu juga. Coba kalau kamu berhasil membujuk papa kamu supaya aku bisa diterima kerja di perusahaannya, kan, kita nggak jadi jauh-jauhan begini.”
Setelah itu aku tidak meneleponnya lagi. Ceritanya aku ngambek, sambil berharap-harap dia yang akan meneleponku duluan. Sejam-dua jam berlalu, ponselku diam. Aku sabar. Malam berganti pagi, ponselku masih diam. Aku mulai uring-uringan. Lalu, pagi berganti siang, ponselku masih juga bengong. Aku betulan uring-uringan. Bahkan, hingga detik ini Marvel belum juga meneleponku. Keterlaluan.