LDR

Bentang Pustaka
Chapter #2

Chococherry Chocolate: Lihat, Baru Terjawab

Lagi, aku memandangi foto itu di layar komputerku. Foto Marvel­ yang sedang ditempeli Shera si bekicot. Kekanakan … mungkinkah aku kekanakan? Lalu, apa yang dilakukan orang dewasa ketika mendapati pacarnya ditempeli bekicot? Aku tahu, inilah risiko punya cowok yang kalau memakai kaus ketat lebih seksi daripada aku. Aku tahu itu, tetapi­ aku juga berharap ketika ia memilikiku, ia tidak perlu lagi perempuan-perempuan yang rajin mengorbit di sekelilingnya itu.

“Sa ….”

Aku sontak menoleh. Carlo sudah tepat berada di belakang punggungku. “Nggak bisa ngetuk pintu dulu apa?” Segera kuminimize­ foto Marvel, hingga tampaklah sebuah website resep-resep kue.

“Nggak usah diumpetin, gue udah lihat,” kata Carlo sam-bil meletakkan stoples berisi beberapa bar cokelat tanpa bungkus. Belakangan,­ sahabatku ini punya kegemaran tidak lazim, memburu Chococherry Chocolate demi mendapat bungkusnya saja. Ia keranjingan mengirim bungkus-bungkus itu untuk ikut undian. Setelah browsing tadi, baru aku tahu, hadiah utamanya motor sport. Dia pasti mengincar itu. Kalau aku ikutan, aku justru mengincar hadiah hiburan, undangan makan bersama Chef Fernando­ yang keren itu. Sayang, biasanya aku tidak pernah beruntung dengan segala macam yang namanya undian, jadi aku lebih memilih yang pasti-pasti saja, cokelatnya.

Carlo lalu menyandarkan punggungnya di sisi jendela sam­ ping meja komputerku. Angin sore meniup-niup lembut tirai ti-pis yang melambai ke pipi putihnya. Ia menatapku tajam, seolah yang berbohong itu aku. “Itu … teman ….” Aku hendak menjelaskan kepada Carlo sebelum otaknya yang kelewat kreatif itu merancang skenario perselingkuhan Marvel.

Akan tetapi, suaraku terdengar bergetar tak meyakinkan. Malah jadi kesempatan untuk Carlo mencecar, “Lo tahu dia bohong, tapi lo lebih memilih untuk memercayai kebohongan itu karena lo nggak sanggup nerima kenyataan yang sesungguhnya, kan?”

Kadang aku merasa Carlo lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Ia mampu melihat apa yang bahkan aku sendiri tak bisa melihatnya. Seperti kita yang tidak bisa melihat hidung kita sendiri.

Untuk beberapa lama kami terdiam. Carlo menatap ke luar jendela.­ Aku melangkah mendekatinya. Memandang ayunan berkarat yang dulu sering kami mainkan. “Itu cuma foto, Carlo. Kenyataan, kan, nggak selalu sama dengan apa yang kita lihat. Apa lo nggak bisa bertingkah layaknya seorang sahabat yang menenangkan?”

“Kalau cuma ketenangan, lo bisa dapatkan dari siapa pun, bahkan dari benda mati, tapi cuma dari sahabat lo bisa mendapatkan kejujuran,” kata Carlo.

Aku mengalihkan tatapanku ke ayunan kami, mengingat usianya. Mungkin usianya sama dengan persahabatan kami. Bah-kan, persahabatan kami jauh lebih lama daripada karat yang me-lekat kuat di sana. Dadaku terasa sesak oleh sesuatu. Mungkin kejujuran yang ingin kukatakan, bahwa aku memercayai Carlo lebih daripada Marvel. Kejujuran yang mengerikan.

“Sa, lihat gue,” Carlo menangkup wajahku dengan kedua ta­ ngannya.

Mataku sulit menghindari kejaran matanya yang cemerlang. Menatap matanya yang sedekat ini membuat dadaku yang tadi­ nya sesak kini berdebar. Apa ini? Tidak, ini tidak boleh.

“Kalau lo mau mempertahankan Marvel, silakan. Bertahanlah sekuat yang lo bisa, tapi jangan lupa membuka mata. Mungkin lo nggak­bisa melihat dia secara langsung, tapi dunia ini pu-nya caranya sendiri untuk membawa kejujuran ke depan mata lo. Yang perlu lo lakukan adalah membuka mata, oke?” Ia kini tersenyum hingga mata­nya menyipit. Hanya orang gila yang tidak mengagumi senyumnya.

Aku balas tersenyum dan mengangguk. Beberapa detik kemudian, Carlo telah membawaku dalam pelukannya yang me­ nenangkan. Aku pun memeluknya erat, seolah hanya itu yang aku cari. Aku segera menjauhkan diri dari pelukan Carlo. “Jangan sembarangan peluk gue. Sekarang gue udah punya pacar,” kataku mencairkan suasana. Sebenar­nya,­ aku sedang membunuh pera­saan yang salah tumbuh.

“Heh! Belagu, ya, sekarang.” Carlo menjitak keningku, lalu memutar bola matanya. “Keluar, yuk. Sebelum papa lo denger kita berantem­ soal Marvel. Nanti disangka gue berebut Marvel sama lo. Cih … rugi banget gue.” Carlo kembali seperti biasa, jadi laki-laki yang kata-katanya­ bisa menurunkan derajat ketampan­ annya sendiri.

Wangi cokelat merebak ketika cake cokelat itu ke-luar dari oven. Aku memotongnya sedikit dan memasukkannya ke mulutku. Teks­tur lembut-nya berpadu dengan rasa cokelat yang manis-nya khas Chococherry­Chocolate. Kalau saja Marvel ada di sini, ia pasti bisa menikmati cake cokelat resep kreasiku. Nyatanya, secanggih apa pun teknologi yang diciptakan manusia, tetap tak mampu mengabaikan jarak. Bahkan, petuah orang bijak pun hanya bisa melarikan dari kesendirian,­ bukan menghapus. Bagaimanapun ditiadakan, jarak tetap ada.

Lihat selengkapnya