“Alhamdulillah … selamat! Allahumma salli ‘ala sayyidinaaa Muhammad!”
Rina dan Aida berseru penuh syukur bersamaan. Tidak perlu berpanas-panasan mengejar jam masuk kelas yang sudah mepet karena langsung diantar oleh becak langganan kesayangan merupakan sebuah kemewahan tersendiri bagi kedua sahabat itu.
“Bang, beneran gratis, ini?” tanya Rina masih setengah tidak percaya dengan kebaikan hati si abang becak. Sudah panas-panasan mengayuh becak roda tiga, masa si abang tidak meminta imbalan sama sekali? Si abang malaikat, apa?
“Ikhlas, Dek. Abang senang, kok.”
Kenapa jawabannya begitu? Kuping Rina memerah mendengarnya.
“Anu, tapi ….”
“Rin, buruan!-Makasih, ya, Abang … sering-sering aja traktir kita!””
“Dih, apaan.” Rina mencubit sahabatnya.
“Yuk, Rin!” Aida cuek, buru-buru masuk ke halaman sekolah. Rina menoleh sebentar dengan senyum penuh terima kasih buat si abang. Terharu, hari gini ada orang sebaik tukang becak itu. Namun, reaksi yang ia dapatkan sungguh berlebihan. Si abang melambai mesra kepadanya. Tak ayal Rina jadi tersenyum canggung karena tanggapan si abang begitu amat. Agak sungkan, ia pun berbalik menyusul Aida yang telah mencapai gerbang SMA Negeri 3 Banjarmasin. Ukuran sekolah mereka tidak terlalu besar, tetapi dibingkai menarik oleh taman yang mengapit tepat di mulut gerbang, serta ada patung sepasang pelajar yang mereka sebut “patung selamat datang”.
“Mentang-mentang gak jadi telat, jalanmu kayak putri keraton.” Aida mencibir usil.
“Ya, aku yang jadi gak enak ditinggal duluan. Tuh abang kok baik banget? Serba salah, kan, jadinya?” ujar Rina seakan bersenandika pada dirinya sendiri.
“Itu abang naksir kamu, kali!”
“Ih, Aida apaan, sih?” Usil banget temannya yang satu ini. Larinya pun cepat. Padahal, Rina gemas kepingin mencubit. Semula mereka menghindari hukuman lari keliling lapangan, tetapi kini malah joging di lorong sekolah yang penuh lalu-lalang para siswa.
Aida memekik menabrak seseorang saking semangatnya menghindar dari kejaran Rina. Jantung Rina pun bertalu kencang. Pasalnya, yang ditabrak Aida bukan orang sembarangan. Seorang cowok yang kini sedang mengambil ranselnya yang tergeletak di ubin-layaknya kebanyakan anak sekolahan zaman 90-an, menggantungkan ransel di satu sisi sedang tren. Sayang, bukan hanya benda itu yang jadi korban. Rina dan Aida bergidik ngeri ketika cowok itu juga memungut sebuah kacamata. Mereka bisa melihat si cowok membolak-balik tangkai kacamata dengan mengernyit, lalu memeriksa lensanya. Tampaknya, riwayat benda berharga itu tidak selamat. Praktis, mereka menuai tatapan tajam dari pemiliknya. Rina dan Aida bagai diseret oleh rasa bersalah ke titik terendah.
“Maaf, Riz! Gak sengaja!” Aida menggunakan pertahanan terakhir-meminta maaf dengan tampang memelas.
Cowok itu berdiri dari posisinya. Tingginya yang menjulang mengintimidasi mereka sedemikian rupa. Ia tidak berbicara apa-apa. Hanya anggukannya yang melibas segenap keberanian. Tatapan mereka berdua tertunduk, terutama Rina, karena cowok yang barusan jadi korban tabrak Aida adalah Rizki, Ketua OSIS mereka.
“Ya Allah … nasib apa hari ini.” Aida mengurut-urut dada setelah Rizki berlalu. Baru mulai tahun ajaran baru di kelas tiga SMA, mereka sudah bikin masalah. Untung sang ketua OSIS tidak marah.
“Aku yang nabrak, kenapa kamu yang pucat?” sentil Aida karena menyadari wajah Rina yang memutih.
“Aku masih normal, kali, Da. Makanya jadi orang jangan grusa-grusu. Pelan-pelanlah, ini lorong sekolah, bukan lapangan bola.” Aida mengusap-usap kepala diomeli olehnya. Siapa juga tadi yang suruh mereka kejar-kejaran kayak bocah. Andai Aida tahu kalau kegugupan Rina bukan hanya lantaran rasa bersalah. Pasalnya, gadis itu menaruh hati pada sang ketos. Meskipun bukan Rina pelakunya, tetap saja ia merasa telah menoreh dosa. Mulai sekarang, namanya akan tercoreng di mata Rizki. Duh.
“Da.” Rina menjawil lengan Aida. Sahabatnya menoleh dengan sepasang mata menyorot lesu. Ternyata Aida merasakan kegelisahan yang sama.
“Nanti kita ke kelasnya Rizki, ya?”
“Ngapain?” Usul Rina barusan langsung ditolak Aida. Sepertinya ia mengendus bau tidak mengenakkan.
“Ya … minta maaf, lah.”
“Bukannya tadi udah?”
“Tapi kita udah mecahin kacamatanya. Kita ganti aja, Da. Gak enak sama Rizki.”
Aida seakan ingin mengunyah ide Rina. Nekat betul sahabatnya memperpanjang masalah.
“Enggak, usah, deh, Rin. Rizkinya juga gak minta tadi.”