“Mbak, punya kisah hidup inspiratif untuk diceritakan, gak?”
Sebuah pertanyaan memaku urat saraf Rina. Mendengar itu, nadinya menggeliat berontak; darahnya pun terasa berombak. Andai bukan keluar dari mulut seorang kerabat dekat yang membisikinya di tengah pertemuan keluarga, tentu Rina akan memelipir dari perbincangan. Pertanyaan tadi ibarat mengejek statusnya yang “eksklusif” hingga sekarang alias belum punya siapa-siapa. Aura seorang jomlo memang mengundang.
“Sebenarnya, untuk apa?” Ia ganti bertanya. Samar agar tidak terdengar oleh telinga-telinga yang lain.
“Riset novel.”
Rina insaf. Apa kisahnya akan menarik untuk disimak? Kendati tidak yakin dengan kisah seperti apa yang dicari oleh sang kerabat. Kisahnya mungkin sama klisenya dengan kisah-kisah drama sinetron penuh intrik dan bumbu penyedap. Maka, Rina yakin kalau di luar sana pasti banyak mengalami kisah serupa. Bahkan, menguras air mata. Akan tetapi, alunan melodi bernama rasa tidak akan pernah bosan untuk dikonsumsi, bukan?
“Ceritakan tentang perjalanan SMA Mbak saja. Sebelum kuliah.”
Dara yang telah berusia matang itu pun tersenyum serbasalah. Di saat ia tidak tahu harus memulai dari mana, kerabatnya yang mirip detektif itu malah memancing dengan beragam umpan.
“Hm, itu ….” Rina terkekeh ketika rangkaian pertanyaan gencar menyerbu dirinya. Tidak ada celah tersisa baginya untuk kabur barang sejenak. Kepalanya ibarat ditaruh di depan target bidik yang tidak berkutik. Apalagi ketika disasar mengenai orang-orang berharga yang pernah singgah di masa lalunya, ia terperangkap.
“Di antara sekian banyak cerita, apa yang paling berkesan buat Mbak?”
Sama saja dengan memintanya bercerita tentang masa-masa sulit hidupnya. Ibarat semesta, ledakan jagat raya bermula di titik itu. Adakalanya ia berlimpah oleh cinta. Ada pula masa-masa kelam penuh baret luka. Semua tersimpan rapi dalam lubuk sunyi. Sayang, arus perasaan ini akhirnya meluap juga. Tidak sudi dibendung lama-lama. Kenangan yang telah terkubur seakan meminta digali ke permukaan sebagai bentuk penerimaan hakiki.
Ia tidak kuasa menolak. Mungkin, inilah waktunya untuk bercerita tentang hal-hal terbaik dalam hidupnya. Orang-orang yang pernah mengajarkan betapa indahnya arti persaudaraan tanpa takaran.
Sederet kisah mulai berkumpul dalam benak.
Angin berkesiur kencang, ombak menampar-nampar geladak. Perahu oleng kian kemari hingga para penumpang hanya bisa pasrah diadu nasib. Bukan hanya fisik yang didera gelombang, tetapi juga batin. Rina salah satunya. Ia ikut dalam rombongan kondangan berisi keluarga dan tetangga ke sebuah pulau kecil di Selat Makassar, lalu perjalanan mereka terjebak badai. Rencananya, mereka akan pulang ke Kotabaru, ibu kotanya Pulau Laut.
Perjalanan lancar di awal. Berangkat subuh buta dan langit cerah tatkala perahu merapat di pulau. Tidak ada pantai, hanya tebing karang yang tanpa henti digempur oleh ombak berkilauan di bawah sengatan matahari. Indah.
Lama memang untuk tiba di sana. Sementara, mereka harus kembali di hari yang sama. Alhasil … tidak banyak waktu untuk berkeliling pulau. Selepas kenyang mengisi perut dalam acara resepsi, para penumpang langsung dipanggil oleh sang kapten untuk kembali ke perahu.
Waktu itu, firasat Rina berdesir. Angin kencang yang bertiup bagai menyiarkan kabar bahaya. Ia lihat sang kapten berulang kali memandang ke arah langit di bagian utara pulau yang mendadak gelap. Perjalanan pulang yang harus mereka tempuh. Sial betul, bertemu badai ganas di tengah lautan adalah mimpi terburuk Rina.
Ia perhatikan situasi dan wajah-wajah di sekitarnya tampak getir. Lantunan zikir terangkai dari mulut ibunya selagi kepala sang adik dibelai oleh tangan kasarnya. Rani terus menangis ketakutan. Sementara di sisi mereka, ada Mia, sepupunya, serta sang ibu yang juga berbuat serupa. Bedanya dengan Rani, Mia malah mematung seribu bahasa, meskipun tampak gemetar ketakutan dengan mata terpejam dan mencoba untuk tidur.
Perahu berderak ketika sebuah gelombang besar menghantam. Orang-orang berteriak. Rina berpegangan kuat pada dinding agar tidak terlempar. Hampir copot rasanya jantung mereka oleh hantaman tadi. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang kapten selain tetap berlayar, merangkak keluar perlahan-lahan dari cuaca buruk. Para penumpang pun sibuk berdoa dalam ketegangan masing-masing.
Tatkala sekali lagi perahu terhempas kuat oleh gelombang besar yang datang dari arah depan, Rina menjerit sekuat tenaga dalam hati. Ia meneriakkan permohonan terakhir yang melintas dalam benak.
Tuhan, jangan cabut nyawaku sebelum jodohku datang!