LE SOLEIL DE MA VIE

Ravistara
Chapter #3

Halaman Usang di Sudut Kenangan

“Reno, Rina, Rani.” Nenek memanggil namanya dan kedua saudaranya dengan suara serak bercampur isak tangis. Lewat melodi yang menyayat, Rina sadar bahwa telah terjadi sesuatu yang luar biasa menyedihkan di dalam kamar. Ibu terpaku di atas ranjang besar dalam sepetak kamar sempit. Di seberangnya, ada adik bungsu ayah yang sedang terisak. Dunia seakan runtuh ketika ia menyaksikan ayahanda tercinta terbujur kaku di antara mereka berdua. Nenek lantas membisiki bahwa sang ayah telah pergi untuk selama-lamanya. Ayah menderita penyakit kronis yang makin memburuk dan hanya bisa terbaring lemah selama sisa hidupnya. Di usia belia, ia telah menjadi yatim. Ini adalah kenyataan hidup yang harus diterima meskipun ia tak rela.

Sejak dulu, Rina merasa bahwa hidupnya berwarna. Kadang cerah seperti langit biru, tak jarang kelabu disinggahi oleh muram mendung. Kata Ibu, hitam laksana badai pernah hadir menerpa masa kecilnya. Ia masih berwujud bayi merah yang rapuh kala belasan jarum infus menusuk kulitnya. Selama sebulan penuh, ia merintih kesakitan di rumah sakit karena tidak bisa menelan apa-apa. Pasalnya, usus kecilnya yang masih muda konon dijejali oleh buah pisang yang tidak mampu dicerna hingga ia mengalami sembelit parah. Semua susu yang ia minum kembali dimuntahkan.

Namun, Rina tidak ingin memperpanjang kenangan kenapa buah pisang itu bisa ada di dalam perutnya. Yang penting, ia kini masih selamat dan hidup. Ketabahan Ibu menjaga keluarga kecil mereka dalam setiap momen tersulit adalah hal yang patut disyukuri. Juga orang-orang di sekitarnya. Meski tidak bisa mencatat setiap tangan yang telah terulur, tetapi Rina bisa ingat beberapa.

“Terima kasih, Dik. Mbak tidak enak selalu menyusahkan kamu. Tiap bulan kasih uang buat anak-anak Mbak. Sementara, kamu sendiri juga sudah punya tiga tanggungan. Bagaimana dengan kalian?”

Pembicaraan itu lolos dari balik dinding kayu pemisah antara kamar dan ruang tamu sempit, lantas tertangkap oleh gendang telinga Rina. Orang yang menjadi lawan bicara ibunya tak lain adalah ipar dari mendiang ayahnya yang telah berpulang ke rahmatullah sejak ia SD.

Jawaban dari kerabat itu kemudian menggenapkan rasa syukurnya, “Bukankah sudah kewajiban kita sebagai saudara saling membantu? Mbak tinggal sendiri menghidupi mereka, sementara Mbak cuma mengandalkan uang pensiun dan upah menjahit. Sudah sepatutnya aku membantu meringankan beban Mbak.”

“Terima kasih, Adik ….” Ucapan Ibu di luar terdengar bergetar. Hati Rina turut menggelenyar.

Alhamdulillah. Allah memberikan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki tanpa perhitungan. Kehidupan janda dan menjadi orang tua tunggal bagi tiga anak tentu tidaklah mudah bagi Ibu. Rina tahu betul bagaimana Ibu mengatur pengeluaran selama ini. Terkadang kebutuhan sehari-hari pun tidak tercukupi. Mereka bertiga tidak pernah merasakan kemewahan. Sebaliknya, gaya hidup sederhana sudah menjadi hidangan rutin yang harus dinikmati tanpa enggan. Uluran tangan seorang saudara pun amat berarti meringankan beban yang harus mereka tanggung.

Karena alasan itulah, Rina marah besar ketika suatu hari Rani kedapatan sedang membongkar celengan bersama milik mereka. Keping logam lima puluh hingga lima ratus perak, serta berlembar-lembar uang kertas warna merah dan hijau yang terlipat rapi, tampak berserakan di bawah kaki Rani.

“Mau kamu apakan uang itu, Rani!” hardik Rina kepada adiknya dengan wajah merah padam. Susah payah mereka mengumpulkan sisa uang jajan yang tidak seberapa untuk ditabung dalam bekas kaleng biskuit yang telah dilubangi bagian atasnya, lalu kini dengan gampangnya Rani berniat mengambil tanpa seizinnya?

“Anu, Kak. Aku sedang ada keperluan penting ….” Rani menjawab dengan takut-takut. Dari ekspresi Rani, Rina sadar bahwa adiknya tidak sedang bermain-main, tetapi ia merasa punya hak hingga cara Rani tidak bisa dibenarkan.

“Kamu tahu berapa lama waktu yang kukumpulkan untuk menabung?”

Rani menangis ketika Rina mulai menunjuk-nunjuk wajah gadis itu untuk menghakimi.

“Aku pinjam dulu, Kak. Nanti kuganti ….”

“Tidak!” Rina menyingkirkan belas kasihan untuk Rani. Ia berjongkok memasukkan uang itu kembali dalam celengan. Sementara, Rani memohon agar Rina sudi merelakan uang-uang itu untuk dirinya. Enak betul, Rani. Rina meredam amarah dalam hatinya yang mendadak diliputi kesedihan. Pertengkaran saudara semacam ini telah sering mengelamkan aura rumah mereka. Kesulitan eknomilah yang membuat hatinya keras. Ia tidak mengerti. Padahal, Rani tahu betapa beratnya jalan kaki berkilometer tiap hari ke sekolah. Semua demi mengirit ongkos. Kadang ia pun tidak jajan demi penghematan. Sementara, semua orang pasti tahu kalau Rina doyan makan dan sering menahan lapar. 

Rina turut mengusap bulir air matanya yang jatuh entah kapan. Antara ia dan Rani, tidak ada yang mau mengalah sekarang, hingga terdengar derit pintu di depan, menandakan Ibu telah pulang dari pasar. Ibu menyibak gorden di pintu sempit pemisah ruang tamu lantas terbengong mendapati pipi keduanya telah banjir air mata.

Astagfirullah, ada apa ini?” Ibu turut bingung melihat uang receh beragam rupa berserakan di atas lantai.

“Rani mau mencuri tabungan Rina, Bu!”

“Enggak, Bu! Rani mau pinjam!” Adiknya gencar menolak tuduhan yang ia alamatkan. Rani malah mengadu pada Ibu seakan gadis itu adalah pihak yang terzalimi. Rina terpaksa menahan kedongkolan dalam hatinya ketika Rani bersembunyi di belakang punggung Ibu dan wanita itu malah melempar tatapan meyudutkan padanya.

“Sudahlah, Rin. Uang masih bisa dicari. Tapi sesama saudara tidak boleh bertengkar. Menjauhkan rahmat Allah!”

“Kok Ibu selalu membela Rani?” Ungkapan kekecewaan Rina terdengar samar melangit ke relung hati tiga perempuan di rumah itu. Ibu mendesah sejenak, menelan sebah yang bergumul dalam rongga perut. Bukan maksud Rina untuk menyakiti hati sang ibu. Ia masih muda dan dikuasai oleh gejolak.

“Rin …. Ibu tidak ingin membela siapa-siapa. Ibu hanya tidak ingin kalian bertengkar. Dalam kondisi sulit kita, kalian harus saling memahami. Janganlah ketiadaan harta sampai mengikis kasih sayang dan persaudaraan kalian. Andai Ibu bisa memberikan kehidupan yang layak buat kalian, tentu akan Ibu lakukan, Nak.”

“Rina ke tempat Aida!”

Ibu pun tampaknya tidak berdaya untuk mencegahnya yang lebih memilih mengasingkan diri keluar rumah daripada mendengarkan kelanjutan nasihat tadi. Rumah Aidalah yang menjadi tempat singgah Rina jika sedang sumpek di rumah. Ia mengemasi buku-buku belajar, sekalian akan mengerjakan tugas di sana. Aida biasanya tidak pernah menolak, justru ketiban rezeki nomplok berkatnya.

Rina melewati Rani dan menghadiahi gadis itu dengan tatapan menghunjam. Hatinya masih diliputi oleh amarah dan tidak mengindahkan nasihat Ibu barusan. Alhasil, ia nyaris menabrak Reno yang baru saja masuk rumah. Tubuh kakaknya berbau oli mesin menyengat, hingga Rina terbatuk sebentar mencium.

Lihat selengkapnya