LE SOLEIL DE MA VIE

Ravistara
Chapter #4

Cahaya Hadir di Wajahmu

“Rina Fauzia!”

Rina merasakan sebuah tepukan halus mampir di lengan, sebelum akhirnya frasa tadi hinggap di liang telinga. Ia tengah melamun kala Pak Guru yang mengajar mata pelajaran biologi memanggil dirinya. Terkesiap, ia menyahut malu karena kedapatan sedang melamun di dalam kelas, “Iya, Pak!”

 Ia ditanya sekali lagi, “Kamu saya tunjuk menjadi salah satu perwakilan sekolah kita untuk olimpiade biologi. Siap?”

Mata Rina terpaku pada guru berkumis lebat dengan raut muka tegas oleh garis-garis usia dan pengetahuan itu, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Ketika kumis di sudut bibir milik sang guru bergerak tanda tidak sabar, Rina buru-buru menjawab, “Siap, Pak!”

“Lama amat, Rin?”

Rina menggosok kupingnya yang terasa gatal oleh bisikan Aida tanpa teralihkan sama sekali. Meskipun Aida rewel bertanya padanya sedari tadi, Rina tetap serius mengamati objek di bawah mikroskop, sambil tangannya menggambar di kertas. Kini mereka sedang berada di ruang laboratorium setelah mata pelajaran biologi sebelumnya selesai. Jam praktikum.

“Rin, aku contek gambar kamu, ya?”

“Hm.” Ia menjawab pendek.

Tak lama kemudian, terdengar bunyi pensil Aida sibuk mencoret di atas kertas. Seraya menggambar, mulutnya tidak berhenti mengoceh, “Untung banget punya teman kayak kamu, Rin. Bisa diandalkan. Aku baru satu menit memelototi mikroskop, sudah sakit mata!”

“Hm.”

“Omong-omong, bakterinya emang berbulu-bulu gini, ya?”

“Itu silia, Da. Alat geraknya. Paramecium itu protozoa, bukan bakteri.” Mulutnya menjawab otomatis hingga membuat Aida terkekeh.

“Nah, gitu, dong. Bicara jangan irit!”

“Hm.” Jawaban singkatnya membuat Aida berdecak.

“Hari ini kamu kenapa, sih? Diam aja. Banyak pikiran, ya?”

Diam-diam Rina tercekat karena Aida seakan membaca isi kepalanya. Ia pun suntuk diganggu melulu. Akhirnya, Rina mengangkat pandangan dari Paramecium sp, objek yang menyita dirinya. Wajah Aida yang bulat telur dan kuning langsat terpampang sebagai gantinya.

“Da, kamu pernah tidak merasa dikhianati seseorang hingga rasanya seperti ditusuk dari belakang?”

“Hah? Kamu tiba-tiba omongin apa, sih? Arka selingkuh?”

Aida pun menjerit pelan ketika sebuah cubitan jemari Rina yang berisi mampir di pinggangnya.

“Aku bicara serius, Da.”

“Aku juga bicara serius, Rin. Kamu gak tahu, apa, kalau Arka ada yang naksir. Lagian dari kemarin tensi kamu tinggi mulu, yang diobrolin juga berat.”

“Udah, ah. Kamu kayaknya gak bakal ngerti juga, Da!”

“Kamu aneh banget, deh, Rin. Banyak masalah di rumah, ya?”

Terlambat. Gejolak dalam diri Rina untuk membicarakannya sudah padam. Aida hanya menggigit bibir ketika sahabatnya kembali mencurahkan jiwa dan raga sepenuhnya pada kaca mikroskop.

Aktivitas ini membuat Rina larut dan berpaling sejenak dari keruwetan masalah. Siapa sangka insiden celengan tempo hari berbuntut panjang. Beberapa kali ia menemukan keganjilan berlangsung di rumah. Pada suatu malam, ia tidak sengaja mendapati ibunya masih terjaga. Bunyi ketuk jarum mesin jahit yang membangunkannya. Benda itu membentang tepat di pintu pemisah antara ruang tamu dan ruang serbaguna-ruang tidur sekaligus merangkap ruang makan dan keluarga.

Tumben. Kadang Ibu memang suka bergadang mengerjakan pesanan hingga tengah malam. Namun, tidak sampai selarut ini-pupil Rina pun singgah pada jam dinding yang berada persis di depan ranjang. Para perempuan tidur bertiga di atas sana. Sementara, Reno tidur dengan kasur di lantai ruang tamu.

“Ngapain, Bu?” Rina menguap lalu mengerjap dengan mata berair.

“Kamu tidur saja,” jawab sang ibu dengan nada menyuruh. Jelas tidak ingin diganggu olehnya.

Rina kembali menguap lebar sambil menutup mulut dengan tangan. Dengan senang hati ia lakukan karena kantuk masih menguasai segenap raga.

Kejadian ini berlangsung beberapa malam. Rina merutuk sendiri karena jadi sering terbangun oleh suara ketuk mesin jahit, sedangkan ia tidak mendapatkan penjelasan apa-apa dari mulut sang ibu. Ingin ia omeli rasanya pelanggan yang telah memaksa ibunya bekerja spartan hingga jauh malam.

Lalu, jawabannya ia temukan pagi tadi, sebelum berangkat sekolah. Rina terbelalak melihat penamilan Rani yang sungguh berbeda saat duduk sarapan di sisinya. Wajah kotak dengan rahang persegi milik adiknya kini dibingkai oleh sebuah kerudung putih hingga menjadi lebih tirus. Mata besar Rani makin membola. Rani terlihat … bercahaya. Meskipun balutan busananya agak aneh-kemeja lengan panjang dipadukan dengan rok biru di bawah lutut serta kaus kaki panjang khas seragam SMP. Tidak nyambung meski tetap menawan.

Dengan polos, Rani berkomentar seakan membaca pertanyaan dalam kepalanya, “Maaf, Kak Rina. Rani pinjam uangnya buat beli jilbab.” Matanya pun lantas menyusuri kerudung putih dengan pinggiran berenda yang menutupi kepala hingga dada Rani.

Lihat selengkapnya