“Rin.”
Sebelum pulang dari bertamu, Paman memanggil. Rina kaget bukan kepalang ketika pria itu menyodorkan sesuatu. Ia gamang untuk menyambut.
“Gunakanlah untuk keperluanmu,” ujar sang paman menepis keraguan dalam pijar bola matanya. Untuk sesaat, ia berpikir bahwa mungkin saja pria itu memberinya nominal yang salah. Namun, tatapan terharu Ibu membuatnya sadar jika rezeki itu memang dialamatkan untuknya. Tangannya pun sedikit gemetar menerima selembar uang kertas yang masih baru. Seumur-umur, belum pernah ia memegang uang sebesar itu.
Alhamdulillah, tiada balasan kebaikan selain kebaikan pula. Bahkan, jumlahnya berlipat ganda dari semula. Rina mengucap hamdalah berulang kali.
“Mau diapakan uangnya, Rin?” tanya Ibu setelah Paman pulang. “Cukup buat beli sepatu.” Ibu berbisik. Ya, betul. Tatapannya singgah pada sepatu kets tua yang terpajang di rak kecil dekat pintu. Sepatu usang itu seolah berteriak minta diganti. Namun, Rina menggeleng.
“Buat modal usaha, Bu. Kalau dibelanjakan, uangnya bakal habis sehari. Rina mau kumpulin uang buat tabungan.”
Kilap pada iris netra Ibu yang keabuan karena dimakan usia, menandakan bahwa wanita paruh baya itu terkesima mendengar rencananya. Usapan lembut di lengan Rina pun mewakili persetujuannya. Bibirnya merekah senyum bangga. “Baik, Nak. Ibu mendukung apa pun itu demi kebaikan kamu.”
Rina menjejalkan uang itu ke tangan ibunya. “Nah, Rina bisa minta tolong, gak? Kalau Ibu ke pasar, titip kacang tanah dan tepung sekilo, gula pasir, telur, juga minyak goreng. Oya, plastik es mambo juga, Bu. Sisanya, pakai aja buat keperluan Ibu.”
“Insyaallah, Ibu belikan hari ini juga.” tanya Ibu yang segera menyimpan uang tersebut dalam sebuah dompet berharga dan satu-satunya miliknya. “Kamu sendiri mau ke mana?” Wanita itu heran menyaksikan Rina yang sedang bersiap-siap menyisir dan mengucir rambut.
“Rina pamit keliling ambil sampel penelitian dulu, ya, Bu.”
“Oh, ya udah, hati-hati di jalan nanti.”
Tidak lama waktu yang dibutuhkan olehnya untuk berdandan. Penampilannya sungguh sederhana. Sebentar saja, ia sudah mencangklong ransel di punggung.
“Rina pamit dulu, Bu. Kasih tahu Kak Reno, Rina pinjam sepeda. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Ibu menatap sepeda yang dikeluarkan dari ruang tamu oleh putrinya sembari bertanya-tanya, ke manakah Reno pergi tiap hari tanpa kabar.
***
Dini hari buta menjadi saksi keteguhan tekad Rina, meskipun kemarin ia pulang dengan tampang kelelahan. Waktu tidurnya dipangkas demi melanjutkan apa yang telah ia mulai. Dengan telaten, ia menguleni adonan tepung, telur, gula, dan garam yang telah ditambahkan air. Semua kacang sudah digoreng sebelumnya malam tadi dan kini tinggal dibalur dengan adonan. Sebentar kemudian, ia telah berada di depan wajan penuh minyak panas. Rina mulai memasukkan kacang ke dalam wajan, lalu menunggui dengan sabar. Terdengar bunyi gesekan sudip sesekali waktu ia membalik.
“Kamu dapat resepnya dari mana, Rin? Enak. Gurih. Renyah pula.” Ibu mencomot beberapa butir kacang yang ditiriskan langsung di serok. Gigi Ibu bergemeletuk seru saking nikmatnya mengunyah. Niat untuk mencicipi menjadi beberapa kunyahan lagi yang tampaknya belum puas untuk menggilas. Ibu sudah jatuh dalam pesona penganan olahannya.
“Diajarin, Bu,” Rina menyebut nama salah seorang sepupunya, “tapi Rina siasati adonannya jadi begini, biar tepungnya menempel di kacang.”
Ia tidak sempat berlama-lama menikmati sorot kekaguman dari Ibu. Kacang-kacang yang telah matang itu didinginkan sebentar sambil menyiapkan nyiru, lilin, serta korek api. Segulung plastik es mambo mulai ia persiapkan. Sesendok kacang bergulir masuk ke dalam sana, lalu dikemas dengan jilatan lidah api dari lilin. Bau hangus menguar memenuhi kamar sempit. Segera saja Rina asyik tenggelam dalam aktivitasnya.
“Rin, salat Subuh dulu.” Beberapa saat kemudian, Ibu menyela pekerjaannya. Wanita itu baru saja melepaskan mukena, lantas menggulungnya bersama sajadah yang berdesak-desakan tempat dengan putrinya. Tanpa banyak membantah, Rina bangkit seraya meringis. Kakinya sampai kesemutan kelamaan lesehan di lantai. Dengan langkah pincang, ia pun menghilang ke dalam kamar mandi berpintu seng. Bunyi kelontangnya membuat Rani melenguh. Karena sedang berhalangan, gadis itu terbangun sebentar hanya untuk menengok jam dinding, lantas terbuai kembali oleh kasur sekaku papan berusia belasan tahun, bekas ranjang pengantin Ayah dan Ibu.
***
Awalnya, Rina merasa ragu untuk menyerahkan bungkusan di tangannya kepada seorang cowok beratasan kaus olahraga yang sedang asyik men-dribble bola di tengah lapangan. Nyaris niat itu urung, tetapi namanya kemudian dipanggil.
“Rin!” Arka melambaikan tangan dan menyeberangi lapangan-cowok yang ia perhatikan sedari tadi. Arka membuang napas lega ketika berhasil menyusulnya.
“Tumben pagian. Mana Aida?”
“Dijemput sama pacarnya tadi, dia mampir dulu ke rumah.”