Pagi itu, Rina tercengang menyaksikan wajah SMA 3 yang berbeda. Jilbab putih terlihat di beberapa sudut sekolah. Bahkan, nyaris separuh siswi di kelasnya pun dihiasi oleh penampilan baru. Prasangka Rina menjadi kenyataan. Demam jilbab mulai merundung tempat mereka.
“Rin, kamu merasa aneh, gak?” bisik Aida menyaksikan perubahan itu.
“Hm. Udah biasa, Da.” Rina berkilah. Ia pernah mengalami fase keterkejutan waktu melihat Rani pertama kali berjilbab dulu. Namun kini, ia mulai belajar membiasakan diri.
“Kok, mereka mau, ya, panas-panasan gitu?” bisik Aida lagi hati-hati. Rina mengedik bahu. Ia sendiri tidak paham alasan Rani mengganti seragam hingga butuh biaya yang tidak sedikit.
“Udahlah, bukan urusan kita juga. Omong-omong, Rin. Besok sore mau ikut jalan tidak?”
“Ke mana?”
“Pantai Jodoh.”
“Ngapain?” tanya Rina bingung karena Aida mendadak mengajaknya ke salah satu tempat rekreaksi populer di Banjarmasin. Sebenarnya, tempatnya hanya berupa bantaran sungai dengan taman dan jajaran pedagang makanan kaki lima di depan kantor wali kota. Akan tetapi, banyak muda-mudi yang menjadikannya tempat berkumpul. Bahkan, identik dengan tempat berkencan pasangan.
“Sekali-kali kita nongkrong rame-rame, Rin. Masa muda gak akan terulang lagi, loh, makanya nikmati! Lagian … besok, kan, Minggu. Kamu libur penelitian juga, ‘kan?”
“Ajak Arka ….” Kali ini Aida berbisik dengan kerlingan mata penuh arti.
“Enggak, Da. Aku mau belajar, lalu bikin kacang goreng. Aku mau bikin agak banyak buat ditaruh di kantin. Udah dipesan kemarin.”
“Hu-uh. Lama-lama Arka kabur juga kalau kamu gak ajak dia ke mana-mana, Rin.”
“Da, Arka dan aku berteman. Kata Ibu, bukan saatnya kita mikirin urusan jodoh di usia segini. Kita sekolah dulu yang benar, kuliah, kerja, baru mikirin cowok.”
“Ibumu kolot banget, deh!”
“Gak ada hubungannya sama ibuku, Da. Aku memang tidak punya waktu untuk hal selain belajar dan jualan. Aku juga tidak butuh pacar.”
Prinsipnya dan Aida kali ini berbeda. Karena itulah, Rina diam saja dan tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi Aida. Ia tidak ingin persahabatan mereka rusak hanya karena ada seseorang yang masuk dalam kehidupan Aida.
Menjelang jam istirahat, sahabatnya menghilang, dijemput oleh pacarnya ke kantin. Rina pun pasrah. Sebentar lagi juga gilirannya yang bakal ditodong oleh Arka untuk belajar bersama di kelas. Jadi, ia hanya menghela napas ketika terdengar langkah Arka mendekat. Sebuah buku dan alat tulis digeletakkan di hadapannya, menyusul senyum di wajah seorang cowok yang sudah ia hafal betul dalam dua tahun terakhir. Meskipun dekat, ia dan Arka tidak terlibat dalam kehidupan pribadi masing-masing. Mereka hanya sebatas teman. Atau saudara seperti yang disebut oleh Arka.
***
“Kamu siapanya Rani?”
Lidah Rina tercekat ketika ditanya oleh seorang guru lelaki berperawakan mungil yang menghadang di pintu kelas. Lagi-lagi ia disuruh oleh Ibu untuk menemui sang adik. Kali ini, untuk mengantarkan bekal makan Rani yang ketinggalan di rumah. Rani pamit izin les hari ini. Namun, mendadak seorang guru menginterogasinya dengan tatapan tajam yang mampu mengupas segenap keberanian di nadinya.
“Saya kakaknya, Pak,” jawab Rina kecut, berusaha mengecilkan tubuhnya di depan lelaki itu agar tidak terlihat. Akan tetapi, mustahil. Sorot mata sang guru tajam bagai elang mengintai mangsa. Sungguh kerdil rasanya, apalagi mendengar komentar lelaki berjanggut itu.
“Adikmu Rani sudah hijrah pakai jilbab. Kenapa kamu tidak? Sebagai seorang perempuan, apa kamu tidak malu berkeliaran di luar dengan mengumbar aurat begitu?”
Hijrah? Jilbab? Aurat?
Pahamlah sekarang Rina apa arti dari tatapan lelaki itu. Pantas saja sorot dari sepasang mata di hadapannya bagai melihat upil tidak berarti. Di mana harga dirinya? Dengan wajah menahan rasa malu, Rina pun menitipkan bekal untuk Rani pada sang guru. Demi Allah, ia tidak ingin ke sekolah Rani lagi.
“Kenapa, Rin?”
Ibu pun bingung ketika melihat tampangnya yang memerah kala membukakan pintu. Sebaris cerita langsung mengalir dari mulutnya, mengadukan peristiwa yang baru saja menimpanya. Ibu mengurut dada mendengar.
“Rina gak mau ke tempat Rani lagi, Bu. Kapok!”
“Sabar, Rin. Maksud guru Rani tadi sebenarnya baik.”
“Tapi, bukan begitu juga kali caranya, Bu! Rina serasa kotor dikomentari seperti itu. Pantas saja Rani ngotot mau berjilbab. Gurunya galak begitu!”