“Kacang goreng, ya? Berapa bungkus hari ini?”
Sesosok wajah wanita dipulas bedak tebal dan gincu muncul dari balik meja ketika Rina mengucap salam di pintu kantin.
“Tiga puluh, Bu.” Rina membalas dengan anggukan. Sambil menyerahkan bungkusan di tangan, ia berharap si penjaga kantin menghitung setoran jualannya dengan cepat. Bukannya tidak menyadari, beberapa orang di ruangan sempit satu bilik itu tengah memperhatikan. Tatapan mereka membuat Rina tidak nyaman.
Kehilangan matahari yang menyinari rumah semenjak kepergian ayah, membuat Rina belajar untuk menerima tatapan kelam semacam itu. Ia telah memahami arti dari beragam pasang mata sepanjang hidupnya. Kadang terselip empati dan prihatin. Tak jarang cibiran dan pandangan sebelah mata. Rina pun menumpulkan segenap indra perasa di hatinya yang kian mengering. Tidak ada lagi hinaan yang mampu menumpahkan air matanya selain ucapan guru berjanggut dari SMP sebelah.
Namun, hari ini ia sedang tidak siap untuk jenis keresahan yang baru. Bisikan lirih yang tidak sengaja terdengar oleh telinganya membuat darahnya berdesir, “Itu cewek yang sering sama Arka? Apa bagusnya, sih? Biasa aja penampilannya. Jualan, pula.” “Hus, nanti dia dengar!”
Arka itu banyak yang suka. Kata-kata Aida terngiang kembali. Rina tahu sebaiknya ia berpura-pura tidak mendengar perkataan mereka dan membuang jauh prasangka negatif di belakang. Nyatanya, matanya tanpa sadar menoleh pada seorang gadis yang baru saja berbicara tadi. Tatapan mereka beradu satu detik dalam ketegangan yang membekukan. Seakan ada arus listrik yang mengaliri kulitnya, wajah Rina kebas.
“Sudah, Bu?” kejar Rina pada wanita di belakang meja.
“Nanti uangnya sepulang sekolah, ya?” Penjaga kantin memberi tanda bahwa ia baru akan menerima bayaran setelah jualannya laku. Bungkus-bungkus penuh kacang goreng pun masuk stoples kaca di atas meja.
“Iya, Bu. Permisi.” Rina melewati dua orang gadis tadi. Ia memaafkan perkataan mereka. Mungkin, dua gadis itu terlahir di keluarga lengkap dan berada, belum pernah merasakan bagaimana harus mengirit uang. Jangankan untuk jajan, untuk makan di rumah pun harus berbagi dengan dua orang saudara yang sedang dalam masa pertumbuhan pesat. Mungkin dua gadis itu juga tidak pernah merasakan betapa kosongnya ketika menemukan isi dompet yang sering melompong. Berbagai kemungkinan yang ia niatkan sebagai husnuzan bergulir dalam benaknya.
Ibu bilang, berhusnuzan kepada saudara seiman adalah kebaikan.
Lantas, husnuzan itu tidak cukup kepada makhluk. Hari itu, ia juga dituntut untuk berhusnuzan kepada Allah. Angin kencang menerpa kota. Nyali para pemberani pun ciut jika harus menghadapi puting beliung yang membuat ribut atap-atap seng yang menjadi kanopi perumahan warga. Bahkan, beberapa terlepas dan beterbangan. Jalan-jalan digelapkan oleh pusaran debu yang menghalangi pandangan. Orang-orang panik dan menghentikan kendaraan untuk berlindung. Yang di dalam rumah pun meringkuk.
Begitu pula Rina, tercekat tidak berdaya menyaksikan pohon dan rerimbunan daun di taman mereka melambai liar serta bergemeresik hebat. Ia bagai menyaksikan film azab ilahi yang menjelma dari layar kaca.
“Da, gimana kita mau pulang?” tanya Rina khawatir. Sementara, kulit wajah Aida memucat.
“Aku masih sayang nyawa, Rin. Kalau ada atap yang terbang ke kepalaku, gimana?” Aida berargumentasi dengan cemas.
“Iya, Rin. Nanti setelah agak mendingan cuacanya, aku antarkan kamu pulang!” saran Arka. Seketika Rina teringat Rani. Gadis itu kadang nekat menerobos puting beliung yang kerap menyambangi Banjamasin di musim pancaroba begini. Pernah satu masa, Rani kecil nyaris terseret dalam pusaran angin waktu bermain. Untung Nenek sempat menyelamatkannya.
“Rin! Mau ke mana?” teriak Aida dan Arka bersamaan tatkala ia menyambar tas dan menghambur keluar kelas.
“Mencari adikku di sebelah! Tidak jauh, kok! Aku gak bakal kenapa-kenapa!”
“Aku antar-”
“Gak usah, Ka!”
Tekad Rina lebih kokoh daripada bangunan sekolah dari kayu yang kini diembus dengan dahsyat. Atap berderak-derak dan kerisik dedaunan makin berisik. Ia bersyukur Arka tidak mengikuti karena di luar tengah berlangsung badai kecil. Angin yang menampar muka serta seluruh tubuh terasa sungguh menyakitkan karena membawa serpihan pasir. Sementara, ia harus memegangi dengan erat roknya yang berkibar. Seragam atasannya bahkan tercerabut dari balik ban pinggang. Dengan mata setengah terpicing menghindari kibasan rambut serta partikel-partikel di udara, Rina maju melawan embusan angin yang berdesau keras. Detak jantungnya terpompa, tetapi yang ada di pikirannya sekarang hanya ada Rani.
Di sela-sela serangan yang mereda sebentar, ia berlari secepat mungkin keluar gerbang, melintasi jalan kompleks, lalu berbelok ke jalan utama. Pagar kayu tinggi milik sekolah Rani langsung terihat. Ia kembali diterpa oleh embusan keras di sana, hingga tersudut di tengah perjalanan. Para pengendara motor sampai berhenti dan menunduk di antara setang untuk menyembunyikan wajah. Rina sudah tidak peduli dengan roknya yang berkibar keras. Deru pasir dan debu menghantam wajahnya pelak bagai serbuan peluru tajam. Pikiran yang ada dalam kepala setiap orang saat ini pasti adalah rumah, makanya banyak yang nekat mengarungi jalan di tengah badai.
Subhanallah! Rina merapatkan dirinya ke pagar sekolah Rani. Untunglah tidak ada benda-benda beterbangan. Setengah menyesal ia nekat keluar mencari Rani. Namun, perasaan itu kemudian langsung tenggelam oleh bayangan sesosok gadis yang mendekat ke arahnya. Rani. Jilbabnya meronta hebat seakan ingin lepas selagi Rani melindungi wajah dengan tas.