Senin adalah hari yang biasa untuk Rina. Ia menyambut fajar sambil mengemas kacang goreng, lalu merebut jatah giliran mandi pertama sebelum Rani. Sementara Reno, masih belum jelas jejak keberadaannya.
Semenjak salat Subuh yang kemudian dilanjutkan sarapan dan bersiap-siap dalam seragam, wajahnya bagai kelopak layu tak disapa hujan berminggu-minggu. Rutinitas padat antara sekolah, berjualan, dan terlibat dalam lomba minggu kemarin, agaknya mulai menyedot energi kehidupannya. Ditambah beban mata pelajaran IPA yang terbilang momok menakutkan.
Lantas energi itu mendadak kembali ke tingkat tertinggi kala nama kelompok mereka disebut dalam upacara bendera hari ini.
“Semangat, Han!”
Semua orang dalam tim menyemangati sang ketua kelompok yang akan maju mempresentasikan hasil karya ilmiah mereka. Reyhan tampak sangat gugup. Bagaimana tidak? Ini pengalaman perdana sekolah mereka mengirimkan kontingen IPA ke lomba Karya Ilmiah Remaja (KIR) tingkat provinsi. Mereka akan berhadapan dengan beberapa sekolah yang sudah memperoleh banyak prestasi, seperti SMA 7, sekolah favorit dan unggulan di Banjarmasin.
Tim dari sekolah lain kelihatan sangat siap. Begitu pula mereka. “Hajar, Han!” Rina dan Arka berujar bersamaan. Sang ketua memelotot pada mereka berdua, tetapi ujaran tadi ternyata ampuh membakar semangat dalam diri Reyhan seketika.
Reyhan tampil bagus.
“Yah, cuma juara dua. Gagal ke nasional.” Seseorang di antara mereka menceletuk ketika piala yang mereka terima dari kepsek, dipajang di ruang guru.
“Astagfirullah. Itu pun alhamdulillah,” sahut Rina dan Devi nyaris serempak.
“Lihat dulu siapa lawan kita kemarin. SMAVEN. Mereka bikin eksperimental. Wajarlah kalau menang. Lagian SMAVEN udah langganan juara dari dulu. Udah bisa mengalahkan SMASA pun hebat!” Perkataan Reyhan yang berapi-api pun diamini.
“Terima kasih, ya, Rin ….”
“Hah?”
Mendadak Arka bilang begitu ketika mereka berdiri bersisian di depan lemari kaca. Memandang bangga pada penghuni di dalam sana yang mereka raih dengan jerih payah.
“Qadarullah.”
Udara terembus dari bibir Arka saat mendengar ucapannya. Sorot kekaguman yang terpancar dari mata Arka beralih dari piala kepada dirinya.
“Aku penasaran dengan keluargamu, Rin,” cetus cowok itu membuat letupan di hati Rina.
“Kok bisa?”
“Makin sering mengobrol sama kamu, aku makin kagum dengan prinsip dan cara berpikirmu yang beda. Ibumu pasti mendidikmu dengan hebat.”
Kontan pipinya bersemu merah. Andai Arka tahu bahwa keluarganya tidak sesempurna yang cowok itu pikir, wajahnya memanas.
“Ibu memang sendirian membesarkan kami, tapi beliau tidak pernah mengeluh, Ka.” Hanya itu yang ingin Rina sampaikan. Selebihnya, cukup Allah ‘azza wa jalla yang menutupi aib mereka.
“Omong-omong, kenapa kamu berterima kasih?” tanya Rina mengungkit keheranannya akan pernyataan Arka sebelumnya. Ia pun bisa melihat mentari yang terbit dalam binar cemerlang mata Arka. Mentari yang menghadirkan rasa optimis kala ia memutuskan untuk memilih jurusan IPA. Tanpa Arka sadari, rutinitas cowok itu mendatangi mejanya untuk belajar bersama, justru menjadi motivasi tersendiri untuk menekuni mata pelajaran yang sempat membuatnya gerah. Maka, Rinalah yang seharusnya berterima kasih pada Arka.
“Kenapa? Tidak boleh? Kesediaanmu membersamai aku selama ini adalah hal yang patut aku syukuri, Rin. Terima kasih sudah menjadi sahabatku.”