LE SOLEIL DE MA VIE

Ravistara
Chapter #9

Atas Nama Ukhuwah

Pagi buta, mereka bertiga dikejutkan oleh ketukan pintu. Bahkan, Rani si tukang tidur pun turut terbangun.

Reno pulang! Setelah sekian hari lamanya tanpa kabar dan didahului oleh kedatangan Isma di rumah mereka. Demi melihat wajah lelah sang kakak dengan sorot mata merah bagai dipanggang bara, beribu umpatan terbungkam dari mulut Rina. Dalam kondisi pantang diusik bak singa terluka, hanya Ibu yang berani bertanya pada pemuda tanggung itu.

“Dari mana saja kamu, Reno?”

Reno keras kepala. Berbanding terbalik dengan rambut ikalnya yang sudah waktunya dicukur karena berhamburan ke mana-mana, Reno tampaknya enggan berbagi cerita. Ia malah mendengkus tidak senang karena kepulangannya segera disambut oleh rasa penasaran semua orang. “Berisik!” katanya. Pemuda yang biasanya bersikap ceria dan senang bercanda itu kali ini berubah seperti senar gitar rusak. Sumbang dan menyakitkan telinga.

Astagfirullah!” Jarang-jarang suara Ibu meninggi kecuali sedang marah. “Isma bilang kamu selama ini kerja di bengkel.”

Tidak hanya Rina dan Rani yang terkejut, tetapi juga Reno. Terjawab sudah maksud tujuan Isma kemari. Pasti perempuan itu mengadukan perihal Reno pada sang ibu. Sayang, kenapa cerita ini harus didengar dari Isma, bukannya langsung dari mulut Reno? Wajar kalau Ibu lantas murka. Namun, Reno tetap diam dan tidak terpancing saat nama Isma disebut.

“Setidaknya, kamu bisa kasih tahu Ibu yang sebenarnya. Kenapa harus kamu tutupi segala? Ibu serasa tidak punya muka karena tahu dari Isma!” ujar Ibu dengan wajah memerah padam.

“Buat apa, Bu?” Reno menyanggah. Ia menutup mulut sesaat dan menghela keras dengan bunyi embusan teredam. Tidak bisa mengelak dari tuduhan, juga menahan sumpah serapah yang haram terlontar dari bibirnya. Si sulung memandang sang ibu dengan tatapan dingin. “Walaupun aku cerita, gak ada gunanya. Ibu tidak akan tahu bagaimana kesulitanku selama ini. Aku butuh banyak biaya untuk kuliah, tapi aku tahu bagaimana kemampuan Ibu. Untuk kebutuhan sehari-hari pun, kita serbakekurangan.”

Duh, Rina tidak tega menyaksikan perubahan pias pada wajah Ibu. Silang pendapat ini berdampak menyakitkan bagi semua pihak. Bukan hanya Reno dan Ibu, tetapi semua orang di rumah. Rani masuk ke dalam, lebih memilih menghindar, dan terdiam di sudut ranjang. Pura-pura kembali tidur, meskipun sudah masuk waktu subuh. Sementara, Rina terpekur di bangku sambil memikirkan obrolan yang ia dengar. Ia dan Reno ternyaa sama-sama berontak dengan keadaan dalam cara masing-masing. Sungguh tidak disangka. Kemiripan ia dan sang kakak memang tak dapat disangkal.

Rina bisa membaca situasi genting saat itu. Ibu ingin melanjutkan pertanyaan tentang Isma, tetapi suasana hati Reno sedang tidak kondusif. Kakaknya tidak banyak menyahut setelah memberikan argumentasi panjang lebar. Reno membuka baju beraroma oli yang familier di hidung Rina-sesuatu yang gagal ia tangkap selama ini, tentu saja Reno bau bengkel! Kakaknya lantas berjalan ke dapur dan menambah onggokan baju kotor dalam ember cucian. Diam-diam Rina mengintip apa yang Reno lakukan. Sungguh kasihan Ibu, harus ditambah tugas rumah tangga yang tidak putus-putus. Membersihkan noda oli dari baju bukanlah perkara gampang. Maka, benarlah sabda Rasulullah, bahwa jihad seorang perempuan adalah di rumah.

***

Pucuk dicinta ulam tiba. Angin yang membawa kedatangan Paman ke rumah keesokan harinya, sungguh semata-semata rahmat Allah. Ibu kehabisan akal bicara dengan Reno dan Paman datang di waktu yang tepat. Reno hanya mendengarkan perkataan Paman sebagai pengganti ayah mereka.

“Hm. Menurut saya, Reno gak sepenuhnya salah, Mbak.”

Reno pun cengar-cengir mendapat pembelaan dari sang paman setelah Ibu bercerita dengan sarat emosi. Ibu tampak tidak senang karena berharap mendapat dukungan.

“Yang namanya anak laki-laki wajar, Mbak, suka utak-atik mesin. Tapi kamu gak boleh gitu juga, Reno. Pamit dulu kalau mau menginap. Jangan sampai bikin orang rumah khawatir. Kalau kenapa-kenapa, nanti siapa juga yang repot?”

Ibu pun melempar tatapan menyalahkan pada putra semata wayangnya yang urung berbalas.

“Besok, Reno ke rumah, deh,” saran sang paman.

“Untuk apa, Dik?” Kerutan di kening Ibu tercipta. Tidak setuju. Paman menunjukkan gelagat sedang merencanakan kejutan. Mereka sudah hafal dengan sifat Paman yang satu ini.

“Paman, kan, sudah ganti motor. Reno boleh pakai motor sport Paman yang menganggur di rumah.”

“Serius, nih?” Percik antusiasme berletupan dalam binar mata Reno. Kakaknya sampai terlonjak dari bangku saking senangnya. Sebaliknya, Ibu.

“Jangan dimanjakan anaknya, Dik. Biar dia belajar bekerja keras sendiri. Sudah terlalu banyak keluarga kami merepotkan kamu.” Ibu bersikukuh menolak tawaran itu. Reno pun tak kalah berkeras.

“Iya. Besok aku ke rumah, Paman!”

“Sudahlah, Mbak, gak apa-apa. Yang penting tolong dijaga motornya dengan baik nanti, ya? Karena itu edisi klasik, gak keluar lagi.”

“Siap, Paman!” Ajaib. Keceriaan Reno kembali seketika. Udara di rumah mendadak segar berkat kehadiran sang matahari kedua. Angin segar seakan turut berembus bersamanya. Uh, Reno memang beruntung, pikir Rina gemas. Kalau itu dirinya, pasti ia telah terbang ke langit ketujuh. Memang enak punya kerabat yang dermawan. Tidak perhitungan pula.

Alhamdulillaaah.” Rina menyindir Reno yang bahkan tidak sempat mengucap syukur. Kakaknya ini bikin geleng-geleng kepala saja, sikapnya persis anak kecil yang dapat hadiah permen dan cokelat.

“Hati-hati, Kak. Nanti terbang gak bisa turun lagi,” bisik Rina tajam.

“Berisik!” Reno membalas. Huh, siapa kakak siapa adik, sih, di sini?

“Paman baik banget, ya, Bu? Anak bandel kayak Kak Reno dikasih hati. Ya, minta jantung, lah!” sungut Rina setelah deru motor sang paman telah berlalu.

“Tauk, ah!” Ibu tidak peduli. Diam-diam, ada pendar kebahagiaan terbaca di mata sang ibu. Ah, Ibu sesayang itu pada Reno, hingga kesalahannya pergi dari rumah berhari-hari pun dimaafkan juga berkat kabar bahagia dari Paman. Sudah rezeki kakaknya, Rina berusaha untuk tidak merasa iri. Perang saudara sudah bukan zamannya. Ada kalanya kita harus bersabar dengan kesenangan yang dilimpahkan pada saudara kita, bukan sebaliknya.

Ah, seberat itulah rasanya berada di tengah kancah persaingan keluarga.

***

Ada udang di balik batu. Bukannya berburuk sangka pada Reno, tetapi Rina jadi berpikir bahwa bekerja di bengkel hanyalah sebuah pembenaran kakaknya untuk memiliki sebuah motor, barang yang diidam-idamkan oleh Reno sejak lama. Tiap hari, yang Reno lakukan setiap bangun pagi adalah mengelap motor dari Paman hingga mengilap. Boro-boro gosok gigi dan membasuh muka lebih dulu. Reno akan memakai sarung dan bertelanjang dada sambil menggosok-gosok bodi motor berwarna merah menyala sekaligus bernyanyi riang.

Lihat selengkapnya