Lea Perempuan Iblis

Mohamad Novianto
Chapter #1

Devan

Malam ini hujan turun begitu lebat. Sebuah mobil sedan masuk di salah satu area parkir rumah sakit yang kosong. Seorang laki-laki muda buru-buru keluar dari mobil menembus hujan. Langkah-langkah cepatnya membuat bunyi keras di ubin yang basah. 

“Pak Devan, ada autopsy?” seorang satpam yang menjaga lobby menyapanya.

“Iya Pak,” kata laki-laki yang dipanggil Devan. Dia sempatkan tersenyum pada orang yang menyambutnya.

Satpam itu cepat-cepat membukakan pintu dengan segepok kunci yang dibawanya. Laki-laki yang dipanggil Devan terlihat tak punya waktu dengan satpam yang sepertinya sudah lama dikenalnya.

“Pak Devan sendirian?” tanya satpam heran.

“Iya, kenapa Pak?” tanya Devan sambil lalu,”Kalau ada demit, saya makan tuh demit Pak,” dengan langkah cepat Devan sempatkan bercanda sebelum masuk ke lorong rumah sakit.

Lorong rumah sakit itu lengang, hanya bunyi hujan yang terdengar menerpa tumbuhan di sekitar. Devan masuk ke sebuah ruangan yang dia sudah biasa ada disana. Begitu keluar dia sudah memakai baju preparat dan mendorong sebuah pembaringan. Dengan agak susah berjalan, Devan mengarahkan dorongannya ke lorong yang lebih gelap. Tapi ditengah lorong, Devan memelankan langkahnya, karena sekilas dia melihat sesuatu di tengah hujan. Langkah Devan makin pelan. Dia sudah terbiasa sendiri di tempat yang sunyi ini. Banyak hal ganjil sering dia lihat, tapi selalu tak dia hiraukan. Bahkan lama-lama dia sudah terbiasa melihat hal ganjil di tempat ini. Tapi kali ini dia melihat sesuatu yang lain. Biasanya dia hanya melihat bayangan atau kelebatan. Di tengah hujan tadi dia lihat jelas sosok perempuan yang meringkuk. Jantung Devan sempat berdegup walau rasa penasarannya membuat dia ingin memastikan apa yang dia lihat. Dengan sedikit berkidik Devan mencoba lebih mengamati lagi apa yang tadi sekilas dilihatnya. Devan membelalakkan matanya, kini dia melihat jelas sosok perempuan yang meringkuk di tengah rumput yang tergenang. Belum pernah Devan melihat hal ganjil sejelas ini. Di remang balutan hujan, perempuan itu meringkuk tanpa mengenakan sehelai kain. Devan bisa melihat jelas wajah perempuan itu. Sering dia lihat bayangan-bayangan dengan wajah yang menyeramkan. Tapi wajah yang Devan lihat ini perempuan cantik dengan muka sayu penuh kesedihan. Belum selesesai dengan keheranannya, Devan dikejutkan dengan bunyi suara ponselnya. Dengan tangan masih gemetar Devan mengambil ponsel dari sakunya.

"Halo ...," suara Devan bergetar menjawab panggilan ponselnya.

"Halo Dok, gue udah di tempat biasa nih ..., lama amat!" suara di saluran lain terdengar buru-buru.

"Iye gue lagi jalan ke situ ...," jawab Devan buru-buru mematikan ponselnya.

Buru-buru juga dia cari sosok perempuan yang dia lihat tadi. Devan menoleh kanan kiri, dia tidak melihat lagi sosok perempuan itu. Hanya kilatan kucuran hujan di remang cahaya lampu yang dia lihat. Walau masih penasaran, Devan harus beranjak untuk segera menemui orang yang menelponnya. Dia mulai masuk ke lorong yang lebih gelap. Di sana dia membuka salah satu pintu yang kuncinya hanya dia yang punya. Di balik pintu ada ruang terbuka yang gelap. Seperti sebuah garasi tak terpakai. Ada dua ambulance yang terparkir di sudut. Satu mobil minibus terparkir tak jauh dari pintu yang dibuka Devan. Dua laki-laki berbadan tegap sedang menunggu di samping mobil. Mereka memakai jaket kulit hitam. Potongan rambut mereka cepak. Begitu melihat Devan datang, mereka membuang rokok yang mereka hisap.

"Kemana aja Dok ..., lama amat, udah abis tiga batang rokok nih ...," gerutu salah satu dari mereka sembari membuka pintu belakang. 

"Sori ..., sori ..., hujan, jalanan macet ...," kata Devan sambil lalu karena dia juga terlihat terburu-buru mendorong pembaringan ke dekat pintu belakang mobil.

Dua orang berambut cepak mengeluarkan bungkusan kantung mayat yang berlabel polisi. Devan ikut membantu memindahkan onggokan plastik itu ke pembaringan yang dibawanya.

"Bener kan ini mayat gelandangan?" tanya Devan serius.

"Santai aja Bro ..., aman ..., gue jamin ..., lo tau lah," kata satu orang berambut cepak sembari mengerdipkan matanya.

Devan sudah tahu gelagat orang itu. Dia pun menyerahkan amplop padanya.

"Seperti biasa ...," kata Devan dengan nada buru-buru.

"Percaya ..., nggak usah gue itung ya ...," kata orang itu tertawa puas sembari memasukkan amplop ke saku jaketnya.

Devan menengok kanan kiri memastikan tidak ada yang melihat mereka bertiga. Lalu cepat-cepat dia dorong pembaringan masuk kembali. Dia tak hiraukan dua orang yang sudah mendapatkan jatahnya tadi pergi dengan mobilnya. Saat melewati lorong, Devan sempat mencari lagi sosok perempuan yang dia lihat. Tapi sosok itu sepertinya sudah tidak muncul lagi disana. Devan pun mempercepat langkahnya. Dia masuk ke kamar mayat. Dia nyalakan saklar lampu begitu masuk. Dia dorong ke tengah ruangan. Setelah memakai masker dan sarung tangan, hati-hati dia membuka resetling kantung plastik itu. Dan betapa dia sangat terkejut hingga mundur selangkah. Tadinya dia mengira akan melihat wajah buruk dan mungkin sudah rusak dari seorang gelandangan. Tapi, dari resleting yang terbuka sedikit di bagian atasnya, Devan bisa melihat wajah perempuan cantik. Dan Devan masih ingat betul itu wajah dari sosok yang dilihatnya di tengah hujan tadi.

Lihat selengkapnya