Semua benda di luar sana nampak berkelebatan cepat seakan bergerak berlari. Pohon-pohon, bukit-bukit, sawah nan hijau, rumah-rumah, perlintasan jalan yang dipenuhi mobil juga motor semua bergantian muncul mengisi pandangan mata. Semua seakan terus berlari mengiringi. Dari balik kaca di dalam gerbong kereta yang bergoyang-goyang pelan Hanindya melihat semua itu dalam diam. Lamunannya melayang pada kejadian terakhir di rumah, dua tahun yang lalu.
“Kenapa sih Ibu harus menanyakan hal yang sama itu terus?” tanya Hanindya kesal.
“Ibu bertanya, karena Ibu mengkhawatirkan kamu Nin,” alasan ibu. Hanindya bergumam, “Khawatir sama aku ….” kemudian Hanindya menggelengkan kepalanya melanjutkan kalimatnya, “Ga, ga … Ibu tidak mengkhawatirkan aku … yang Ibu khawatirkan adalah image Ibu sendiri di depan mata keluarga besar dan tetangga, bukan begitu?”
“Nin, kamu kok sinis gitu? Ibu jelas mengkhawatirkan kamu!” sanggah ibu.
“Oya?” tanya Hanindya kali ini nada bertanyanya jelas terdengar sinis. “Kalau Ibu mengkhawatirkan aku, Ibu tidak akan menanyakan hal yang sama setiap kali aku pulang ke rumah … aku bosan Bu ditanya itu-itu terus! Dan kalau begini aku juga jadi malas pulang ke rumah!” cerocos Hanindya dengan wajah merah padam.
Ibu terdiam.
“Mbak … maaf Mbak.”
Sebuah suara menyadarkan Hanindya dari lamunannya. Ia mengalihkan matanya dari jendela dan melihat seorang perempuan manis tengah berdiri di samping kursinya. “Iya ada apa Mbak?” tanya balik Hanindya. Perempuan itu ternyata menawarkan minuman dan makanan ringan yang ada di troli-nya. Hanindya menggeleng menolaknya lalu mengucapkan terima kasih. Setelah perempuan manis pramugari kereta api itu pergi, Hanindya melemparkan pandangannya kembali keluar jendela. Di kejauhan ia melihat kepala lokomotif yang berbelok.
Sebuah hal yang selalu disukai Hanindya ketika naik kereta api adalah saat kepala lokomotifnya berbelok maka ia yang duduk di gerbong tengah bisa melihat buntut gerbong kereta terakhir sekaligus kepalanya. Entah kenapa ia senang melihatnya, seakan ia sedang berada di dalam perut sebuah hewan melata yang panjang.
Rrrttt, rrrttt, rrrtttt ...
Suara ponselnya berbunyi, Hanindya mengangkat teleponnya. Terdengar suara di ujung telepon sana.
“Halo Kak Hanin, sudah sampai stasiun belum?” tanya sebuah suara pria.
“Belum Nan, tapi sebentar lagi sampai, bus kamu sudah sampai? Trus sekarang kamu di mana?”
“Sudah satu jam lalu sampai Kampung Rambutan Kak … sekarang lagi otewe ke Gambir … kita jadi ketemuan di Gambir ‘kan?”
“Iya … ada kabar dari Dira, Nan?”
“Tadi telpon Dira, travel-nya langsung ke Gambir katanya.”
Hanindya manggut-manggut, “Ok deh kalau gitu, nanti kalau kamu sampai duluan tunggu aja di pintu kedatangan deket parkiran ya.”
“Siap Kak,” jawab suara pria itu.