“Kenapa?” tanyanya.
“Ga apa-apa … cuma aku heran Kak, kenapa kita harus ngumpul di sini sih? Kenapa ga ketemuan langsung di rumah aja?”
Hanandoko mengangkat bahunya, “Ga tau, Kak Hanin nyuruhnya begitu.”
“Kak Hanin itu suka aneh,” gumam Dira.
“Hey, bukan aneh, mungkin dia ingin kita bareng-bareng ke rumahnya.”
Dira diam tak menanggapi ucapan kakaknya itu. Tak lama terdengar sebuah informasi melalui pengeras suara mengenai kedatangan kereta api dari Semarang yang telah masuk di stasiun Gambir. Beberapa saat kemudian tampak Hanindya berjalan keluar dari pintu kedatangan. Ia tersenyum melihat kedua adiknya yang telah berdiri menunggunya. Kedua adiknya itu menghampiri Hanindya lalu mencium punggung tangannya dan mereka saling berpelukan. Hanindya menatap wajah kedua adiknya itu.
“Lama ya kita ga ketemu langsung,” ujar Hanindya, “bahkan untuk vidcall aja susah.”
Hanandoko nyengir, “Daerahku deket pantai, susah sinyalnya Kak, sinyal kadang ada kadang engga, jadi mau vidcall ya susah.”
Hanindya mengangguk mengerti, “Oya gimana sama toko cendera matamu di sana Nan?"
“Alhamdulillah, di Pangandaran masa liburan ini cukup ramai Kak ….”
“Syukurlah Kak seneng dengernya,” ucap Hanindya lalu mengalihkan tatapannya pada adik bungsunya, “kalau kamu gimana Dira, dengan kuliah dan kerja paruh waktumu?”
Dira menjawab pendek, “Lancar.”
Hanindya menatap serius adiknya itu, “Ada apa Dira, kok jawabnya males-males gitu … sepertinya ada sesuatu yang membuatmu kesal?” Hanandoko menatap Dira. Dira tidak memberikan respon atas pertanyaan Hanindya. Hanindya menunggu si bungsu itu untuk bersuara tapi Dira tetap diam. Suasana menjadi kaku.
“Mmm … gimana kalau kita cari tempat kayak resto gitu untuk berbuka puasa dulu aja? Sejam lagi beduk dan sambil nunggu buka puasa, kita bisa sambil istirahat … kita semua capek ‘kan? Kak Hanin baru sampe dari Semarang, aku baru datang dari Pangandaran dan Dira baru muncul dari Bandung, ok?” lontar Hanandoko memecah kekakuan. Hanindya mengangguk diikuti Dira. Maka mereka bertiga mencari tempat untuk berbuka. Setelah menemukan tempat makan yang tak terlalu ramai, mereka pun masuk, duduk memesan makanan ringan dan minuman untuk berbuka yang tinggal setengah jam lagi. Hanin duduk berhadapan dengan Dira. Ia memerhatikan Dira dan bisa merasakan kegelisahan adik bungsunya itu.
“Katakan apa yang harus kamu katakan Dira,” ucap Hanindya.
Dira menatap kakak sulungnya, agak ragu untuk berkata tapi kakak sulungnya meyakinkan Dira dengan tatapan matanya untuk berkata, tapi sebelum Dira membuka mulutnya, Hanandoko telah mendahuluinya, “Eits bentar, bentar … apa kita ga nunggu buka puasa dulu? Sekarang kita ngobrol yang ringan-ringan aja dulu, setelah buka baru kita ngobrol yang serius … aku takut kalian emosi, hehehe.”
Dira melirik jam di dinding restoran, “Masih setengah jam lagi Kak Nan.”
Hanindya tersenyum, “Nan, tenang aja deh, Dira itu cuma mau ngomong aja kok, ga pake emosi, betul ga Dir?” Dira mengangguk. Hanandoko menghela nafas pasrah seraya menyandarkan tubuhnya. “Baiklah … silakan,” ujarnya mempersilakan Dira untuk berkata.
“Kenapa sih Kak Hanin nyuruh-nyuruh aku untuk pulang Lebaran tahun ini? Aku ga suka tau!” cetus Dira tanpa kalimat pembuka atau basa-basi, ia mengucapkannya langsung begitu saja. Hanandoko terkejut mendengar adik bungsunya mengatakan itu sedang tidak bagi Hanindya, ia sudah hapal karakter adik bungsunya yang berani ini.