Hanindya, Hanandoko dan Dira terguncang.
Mereka tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Ibu mengusir mereka! Hanindya melangkah pelan mendekati ibu yang masih tampak panik. “Bu …” panggil Hanindya pelan, “ini kami Bu …” lalu Hanindya menekuk lututnya di depan kursi roda.
“Aku Hanin … itu Hanandoko, anak laki-laki Ibu satu-satunya … dan itu Dira, putri bungsu ibu yang cantik,” lanjut Hanindya seraya menunjuk pada adik-adiknya. Wajah ibu terlihat masih tegang dan panik. Ia tatap satu persatu wajah di hadapannya. Hanandoko pun menekuk lututnya begitu juga Dira yang menitikkan air mata. Mereka bertiga bersimpuh di hadapan ibu mereka yang duduk di kursi roda.
“Kami anak-anak Ibu,” ucap Hanindya.
“Asih! Asih!” teriak ibu.
Tak lama keluar seorang perempuan berusia empat puluh tahunan dari kamar yang tak jauh dari teras belakang. Ia berjalan tergopoh-gopoh lalu tersenyum lebar saat melihat ketiga kakak beradik itu. “Loh sudah pada datang toh Mbak Hanin, Mas Hanan dan Mbak Dira,” ucapnya menyambut.
“Bi … ibu kenapa?” tanya Hanandoko.
“Asih! Kamu kemana sih, Ibu panggil kok ga datang-datang!” kesal ibu membuat perempuan empat puluh tahunan yang bernama Bi Asih itu tak bisa menjawab pertanyaan Hanandoko.
“Maaf Bu … saya barusan Tarawih di kamar,” jelas Bi Asih.
“Siapa mereka? Mau apa mereka di sini?” cetus ibu menunjuk pada ketiga kakak beradik itu. Dira menunduk. Ibu sudah melupakan anak-anaknya, batinnya berbisik sedih.
“Mereka bukan siapa-siapa Bu … mereka ini putra-putri Ibu loh,” terang Bi Asih. Ibu mengerutkan keningnya tapi wajahnya melihat ke Bi Asih bukan pada putra-putrinya.
“Putra-putriku?” tanya ibu tak yakin. Bi Asih mengangguk dengan senyuman.
Ibu menggeleng, “Aku pusing Asih, aku mau ke kamar saja.” Bi Asih mengangguk lalu mendorong kursi roda ibu.
“Bu …” panggil Dira pelan tapi ibu tidak menggubrisnya, ibu hanya terus memijit-mijit pelipisnya sedang kursi rodanya terus didorong Bi Asih hingga masuk ke dalam kamar.
“Apa yang terjadi ini?” cetus Hanandoko tak percaya seraya berdiri dari bersimpuhnya lalu duduk di kursi teras sambil memegangi kepalanya yang mendadak pusing. Dira dan Hanindya pun berdiri lalu duduk bergabung bersama saudara pria mereka.
“Waktu Kak Hanin vidcall sama ibu terakhir apakah ibu sudah seperti itu?” tanya Hanandoko.
“Waktu itu ibu masih mengenali aku kok … padahal itu seminggu sebelum puasa … tapi memang ibu banyak diam,” jawab Hanindya.
“Ibu sudah melupakan kita Kak,” lirih Dira mengusap air matanya.
“Ga mungkin Ibu ngelupain kita Dir,” ucap Hanandoko pada Dira.
“Betul ga Kak?” lanjut Hanandoko pada Hanindya yang langsung mengangguk seraya mengeluarkan ponselnya lalu mengecek sesuatu. Bi Asih keluar dari dalam kamar menuju kakak beradik itu.
“Ibu sudah tidur,” ucap Bi Asih, “Mas, Mbak ada yang mau Bi Asih bikinkan kopi atau teh gitu? Atau mau Bi Asih bikinin makan?” Mereka menggeleng.
“Ga usah repot Bi, kami sudah makan tadi … sini duduk Bi,” ucap Hanandoko. Bi Asih pun duduk di kursi hadapan mereka.