“Saya ingat, saya ingat seseorang yang wajahnya mirip kamu.”
Dira nyaris tersedak mendengar kalimat ibunya itu, ternyata ia salah menduga. Ia pikir ingatan ibunya telah kembali ternyata belum.
“Maksud Ibu?” tanya Dira.
“Dia perempuan seumuran dengan kamu … tinggi tubuhnya pun sama … dia juga senang mewarnai rambutnya seperti kamu … ya … kita sering bicara … bukan bicara … lebih tepatnya bertengkar … ya kita sering bertengkar, saya lupa bertengkar kenapa … tapi yang saya ingat … dia memang keras kepala …,” ucap ibu terbata karena sambil mengingat potongan-potongan gambar dalam ingatannya.
Dira menundukkan kepalanya. Ibu sedang membicarakan dirinya tapi ibu tidak tahu siapa yang sedang dibicarakannya dan orang yang dibicarakannya itu duduk di depannya. Dira mengusap wajahnya, hatinya sedih, dari sekian banyak kenangan yang baik, ibu malah mengingat kenangan yang buruk dari dirinya tapi kali ini Dira mengalah tak ingin mendebat, ia membiarkan kenangan itu yang datang. Dira berharap mungkin dari kenangan yang itu ingatan ibu bisa kembali seperti dulu.
“Terus Bu? Apakah Ibu ingat wajahnya?” tanya Dira pelan.
Ibu menggeleng, “Samar ….”
“Jadi yang Ibu ingat hanya sifatnya yang keras kepala?”
“Tidak … saya juga ingat dia pintar berkata-kata … kalau saya baru ngomong sebaris, dia sudah membalasnya berbaris-baris … eh tunggu … kamu bukan teman dia ‘kan? Jangan-jangan nanti kamu ngadu sama dia lagi.”
“Tenang Bu, rahasia Ibu aman, saya juga bukan tukang ngadu,” senyum Dira meski di hatinya sedih .
“Bagus kalau begitu … dia kalau ngomong suka mendebat saya dan ga mau kalah … pernah kita bertengkar soal … mmm … tunggu saya kok lupa … oya soal warna rambut sampai soal … um … jilbab … sampai dia memutuskan untuk pergi dari rumah … kuliah ya kuliah … di luar kota … dia meninggalkan saya … tapi kadang saya merindukannya … ya rindu.”
Dira terhenyak tak menyangka. Selama ini ia pikir kalau ia pergi dari rumah maka ibu akan tenang dan akan bahagia karena tidak pernah ribut lagi dengan dirinya, ia pikir ibu tidak akan merindukannya ternyata ia salah.
“Ssstt, tapi saya ga bilang sama dia … saya simpan di hati saja,” bisik ibu.
Dira menyentuh tangan ibunya, “Bu, dalam pikiran Ibu … kira-kira dia itu siapa?’
“Entahlah … saya berusaha keras untuk mengingatnya tapi saya malah semakin tak ingat … yang saya ingat kata-katanya yang dia lontarkan pada saya kadang membuat saya sedih mendengarnya ….”
“Ya Allah,” desis Dira dengan air mata yang menetes dari ujung matanya. Ia segera mencium punggung tangan ibunya, menyesal telah menyakiti hati dan membuat ibunya bersedih.