Hanindya masih diam memerhatikan kedua adiknya itu.
“Aku bukan nuduh Kak, tapi itu kenyataannya!” tukas Dira, “ayolah Kak, jangan bohongi diri sendiri, apa Kakak pikir aku ga tau kenapa Kakak memilih ke Pangandaran dibanding kuliah di Jakarta ini?”
Wajah Hanandoko terlihat merah, “Diam kamu!”
“Itu karena Kakak ga mau ngikutin keinginan ibu yang ingin Kakak kuliah di teknik sipil dan Kakak lebih memilih buka toko souvenir di Pangandaran karena Kakak lebih senang berdagang dan hidup bebas dekat pantai bukan?” cecar Dira.
“Aku bilang diam!” sentak Hanandoko berdiri dari duduknya seraya bertolak pinggang, matanya menatap tajam pada Dira. “Hey, hey … sudah … sudah … ini malam Ramadan … orang-orang sedang tadarusan untuk ngejar malam Lailatul Qadar kalian malah berantem … sudah tenang Nan, duduk! Dan kamu Dira juga sudah, kalau mau ngomong silakan tapi jangan pake emosi,” Hanindya mengingatkan.
“Aku ga emosi Kak Hanin … aku hanya menunjukkan pada Kak Hanan kalau bukan aku doang yang pergi dari rumah karena bentrok dengan ibu,” kilah Dira. Hanandoko kembali duduk setelah diingatkan oleh kakak sulungnya itu.
“Iya, kamu memang betul Dir, aku memang ke Pangandaran karena ingin memilih jalan hidupku sendiri … aku bukan anak kecilnya ibu lagi yang segala sesuatunya harus dipilihkan oleh ibu,” akhirnya Hanandoko mengungkap alasan kepergiannya dari rumah.
Dira terdiam atas pengakuan kakak laki-lakinya itu. Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara. Hanandoko menurunkan emosinya, ia mengatur nafasnya perlahan. Teras di belakang rumah itu menjadi hening.
“Sepertinya hanya Kak Hanin yang ga pernah beda pendapat sama ibu,” celetuk Dira memecah keheningan. Hanandoko menoleh pada Hanindya.
“Ibu sepertinya selalu menyetujui segala sesuatu yang dilakukan oleh Kak Hanin,” lanjut Dira. Hanindya tertawa mendengar ucapan adik bungsunya itu.
“Iya betul … sampai Kak Hanin kerja di Semarang yang jauh diijinin sama ibu … giliran aku, mau ke Pangandaran yang deket aja pake ribut dulu sama ibu … kayaknya ibu ga pernah ngatur dan nyampurin hidup Kak Hanin deh,” tambah Hanandoko.
“Kata siapa?” senyum Hanindya seraya menyeruput teh manis melatinya.
Dira dan Hanandoko saling memandang lalu berdua bersamaan menatap Hanindya.