“Kamu menyiramnya terlalu banyak!”
Hanindya yang sedang menyirami pot-pot bunga di halaman depan terkejut mendengar kalimat seruan itu dari belakang punggungnya, ia menoleh dan melihat ibu sudah berada di teras depan rumah dengan kursi rodanya.
“Oh maaf Bu,” ucap Hanindya mengurangi siraman airnya.
“Terlalu banyak air bisa membuat bunga menjadi busuk dan mati,” jelas ibu, “kamu tau kenapa saya senang bunga?” Hanindya menggeleng. “Karena mereka lambang cinta saya … selama saya hidup, saya akan menjaga bunga-bunga itu tetap hidup seperti saya menjaga cinta saya,” lanjut ibu.
Hanindya tersenyum kemudian setelah menyelesaikan menyiram bunga-bunga, ia meletakkan teko penyiram bunga itu dan duduk di dekat ibu. “Menjaga cinta Ibu pada siapa?” pancing Hanindya membuka percakapan seraya membersihkan tangannya dengan kain lap. “Pada …” Ibu terdiam tak melanjutkan, ia ingin mengatakan nama-nama tapi ia tak mampu untuk mengingatnya.
“Pada siapa Bu?”
“Ah … saya lupa …,” ucap Ibu sembari memijit-mijit pelipisnya.
“Bu, lusa kita berlebaran, apakah ada makanan khusus yang Ibu inginkan untuk kita santap bersama?” tanya Hanindya.
Ibu menatap Hanindya mengerutkan keningnya, “Saya tak mengerti … mengapa kalian bertiga begitu baik pada saya … mengurus saya ketika Asih ga ada … memberi saya makan, membantu saya membersihkan diri, mengajak saya ngobrol, mengajak saya berbuka, mengajak saya salat berjamaah dan sekarang menawarkan saya mau makan apa untuk Lebaran … mengapa? Bahkan saya tidak mengenal kalian ….”
Ada rasa sedih di hati Hanindya, Lebaran tak lama lagi tapi ingatan ibu masih belum kembali. Hanindya menggenggam jemari Ibu, terasa hangat dan menenangkan hati, orang bijak bilang, kalau kamu sedang bersedih, genggamlah jemari ibu maka kamu akan merasa lebih baik. Hanindya mengecup jemari ibunya, berkata pelan, “Ayolah Bu, demi kami … ingatlah kami barang sejenak, kami ingin diingat Ibu meski sebentar.”
“Kamu mengatakan sesuatu?” tanya ibu mendengar Hanindya bergumam.
“Iya Bu … aku mengatakan … kami bertiga adalah anak Ibu ….”
Ibu menatap Hanindya mengerutkan keningnya. Lamat-lamat ia mendengar suara-suara dari jauh yang lama kelamaan semakin dekat dan jelas. Suara dari dua orang perempuan yang sedang bertengkar.
“Ada apa Bu?” tanya Hanindya melihat ibu yang menatapnya kosong. “Apa yang Ibu pikirkan?” tanya Hanindya lagi yang berpikir ada sesuatu dalam pikiran ibu. Apakah Ibu mengenaliku? batin Hanindya. Lalu suara itu menghilang begitu saja seperti debu halus yang ditiup angin. Ibu menggeleng, Hanindya menghela nafasnya.
“Tapi ada yang mau saya katakan,” bisik ibu.