Lebih Terang dari Cahaya

Yuditeha
Chapter #1

Satu

Hari telah siang, namun cahayanya masih redup, seolah enggan menembus tirai tebal awan yang menutupi langit. Bulan Januari memang sering kali menyajikan suasana seperti ini; seolah matahari memutuskan untuk bersembunyi lebih lama di balik awan gelap, meninggalkan bumi dalam dingin yang menggigit. Banyak orang percaya bahwa Januari adalah bulan hujan. Hujan yang turun nyaris setiap hari, membuat orang-orang terbiasa dengan suasana basah, langit yang mendung, serta angin dingin yang datang tanpa peringatan.

Marni, atau yang biasa dipanggil Mar, sedang dalam perjalanan kembali ke pondokannya. Dia baru saja bertemu dengan seorang kenalan yang dia yakini dapat membantu mewujudkan niat baiknya. Niat yang sebenarnya telah lama berkecamuk di hatinya, namun baru kali ini dia merasa begitu yakin untuk segera melaksanakannya. Hari itu terasa penting bagi Mar. Setelah sekian lama terjebak dalam kehidupan yang kelam, dia akhirnya mengambil keputusan besar: dia ingin keluar dari lembah hitam yang telah lama membelenggunya.

Ketika sore menjelang, langit yang mendung berubah menjadi hujan gerimis. Mar baru saja turun dari angkutan dan mulai berjalan menuju gang kecil yang mengarah ke pondokannya. Langkahnya baru beberapa meter memasuki gang tersebut ketika hujan yang semula hanya rintik-rintik berubah menjadi deras. Air hujan turun dengan derasnya, membuat jalanan menjadi licin dan basah. Mar segera memutuskan untuk berteduh di sebuah pos penjagaan yang kosong. Meskipun hujan menghalangi perjalanannya, Mar tidak merasa kesal atau jengkel. Sebaliknya, dia justru memandang hujan itu sebagai berkah—sebuah tanda bahwa alam merestui niat baiknya.

Di pos itu, Mar duduk di bangku kayu yang usang. Pandangannya terarah ke luar, menatap hujan yang menderas seolah tak akan berhenti dalam waktu dekat. Perlahan, dia merogoh tasnya dan meraih ponselnya, berharap bisa mengisi waktu dengan melihat beberapa pesan atau sekadar menatap layar. Namun, ketika mencoba menyalakannya, ponselnya tidak merespons. Baterainya habis. Mar menghela napas panjang, kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Kesunyian tiba-tiba menyergapnya. Hanya suara hujan yang terus mengguyur di luar sana, mengiringi kesunyian yang merasuk ke dalam hatinya.

Pikirannya mulai melayang ke masa lalu. Kenangan-kenangan kelam muncul satu per satu, seakan ingin mengingatkan Mar akan semua kesalahan dan dosa yang telah dia lakukan. Namun, Mar mencoba menepis kenangan itu. Sekarang, yang ada di pikirannya hanyalah niat baik untuk memulai hidup yang baru—hidup yang lebih bermakna, lebih wajar sebagai perempuan. Dia ingin keluar dari dunia yang telah menjebaknya selama bertahun-tahun. Sebuah dunia yang membuatnya merasa terasing dari dirinya sendiri. Dunia perlontean.

Mar tersenyum tipis saat memikirkan tekadnya yang semakin bulat. Baginya, inilah saatnya untuk berubah. Namun, tak bisa dipungkiri, ketakutan selalu menghantui dirinya. Apakah dia akan benar-benar berhasil? Bisakah dia melepaskan diri dari belenggu yang selama ini mengikatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, namun Mar mencoba mengabaikannya. Yang penting sekarang adalah niatnya sudah bulat. Dia ingin keluar, dan dia yakin bahwa ada jalan bagi mereka yang benar-benar ingin berubah.

Tak terasa, waktu berlalu dengan cepat. Mar tidak menyadari bahwa hujan yang semula deras kini telah mulai mereda. Lamunannya pecah ketika dia mendengar suara air hujan yang semakin pelan. Dengan cepat, Mar bangkit dari duduknya dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Meski gerimis tipis masih turun, dia tidak lagi peduli. Mar hanya ingin segera tiba di pondokannya sebelum malam benar-benar tiba.

Lihat selengkapnya