Ben sedang duduk di bangku dalam kamar hotelnya. Mengetikkan materi presentasi di laptop yang akan dipaparkan pada pertemuan esok hari. Mungkin karena sedang fokus, dia hanya merasa seperti mendengar suara, tapi tidak yakin dari mana asalnya. Sehingga dia memutuskan kembali menekuri laptop. Tak lama setelahnya, dia seperti mendengar jeritan. Meski samar, dia cukup yakin suara itu berasal dari seorang wanita yang juga tinggal di kamar lain di lantai yang sama. Karena penasaran, Ben meninggalkan aktivitasnya dan memilih diam untuk memastikan suara yang didengar tadi. Cukup lama Ben menajamkan pendengarannya, namun tidak ada suara, jadi dia memutuskan tak acuh. Belum sempat jarinya berada kembali di atas keyboard, terdengar suara jeritan minta tolong yang kali ini cukup keras. Ben bangkit dari bangku dan mendekat ke arah tembok. Dia merasa suara itu berasal dari kamar sebelah, yang itu berarti milik Roy, rekan kerjanya. Ben semakin penasaran, telinganya sudah menempel pada pintu yang menghubungkan kedua kamar mereka. Sejak awal Ben sengaja memesan kamar connecting agar bisa sewaktu-waktu berdiskusi dengan Roy jika diperlukan. Mereka merupakan rekan satu tim pada proyek kerja pembangunan gedung baru yang akan dipresentasikan esok hari.
Meski kurang jelas, Ben seolah mendengar sekali lagi teriakan yang kemudian berubah menjadi tangis. Merasa sudah tidak bisa menahan rasa penasaran, Ben membuka pintu dan mendapati Roy sedang berdiri sembari membuka ikat pinggang yang melingkari celananya. Ben terkejut saat pandangannya berpindah ke ranjang. Tampak kemarahan melingkupi dirinya.
“Biadab kamu, Roy!” umpat Ben. Belum sempat Roy menoleh ke arah sumber suara, Ben sudah berhasil mendaratkan satu pukulan telak ke rahang Roy. Karena tidak siap, Roy limbung ke belakang dan jatuh terduduk di dekat jendela. Ben mendekatinya untuk kembali menyusulkan beberapa tinju. Meski sempat mendapat perlawanan, pada akhirnya Roy menyerah setelah mendengar Ben mengancam akan melaporkannya ke polisi.
“Oke, pelacur itu milikmu sekarang. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi,” jawab Roy angkuh.
“Bangsat, kau!” Ben melayangkan sebuah tinju ke kepala Roy. “Enyah atau aku akan benar-benar membuatmu mampus,” lanjut Ben. Susah payah Roy bangkit. Menyambar kemeja dan beberapa barang miliknya, kemudian berlalu pergi meninggalkan Ben dan Mar di kamar.
“Kamu sudah aman sekarang,” kata Ben setelah menutup tubuh Mar dengan selimut, mengambil kutang yang menyumpal mulut Mar, serta membuka kain di kedua mata Mar.
“Tolong jangan lapor polisi, atau aku akan ikut dipenjara,” ucap Mar memohon. Meski sudah tidak menangis, suara isaknya masih terdengar. Ben sepertinya belum ingin menanggapi permintaan Mar. Dia memilih sibuk melepas tali yang masih membelenggu kedua tangan Mar.