PROLOG
Derasnya air hujan dan suara gemuruh guntur yang saling bersahutan tidak membuat langkah kedua suami istri itu terhenti. Mereka terus saja melangkah bahkan tidak memperdulikan kondisi mereka yang sudah renta. Rasa khawatir terus saja muncul dihati mereka tatkala baru saja ada sebuah pertanda yang muncul setelah puluhan tahun tidak terlihat.
“Pak...” panggil Marni, akan tetapi Kusno tidak menanggapi panggilan istrinya. Matanya terus terpancang pada rumah yang memiliki banyak kenangan didalamnya. Bagai sebuah roll film yang diputar begitu cepat, ingatan demi ingatan muncul dibenak laki-laki tua itu.
Mengusap matanya yang perih karena genangan air mata bercampur air hujan. Kusno kembali melangkah dan buru-buru membuka pintu. Namun saat dirinya membuka pintu dan melihat kedalam seketika tubuhnya terhenti...
“Kita terlambat Bu...” ucap Kusno yang langsung bersandar pada dinding sampai tubuhnya merosot.
PENINGGALAN
-PART 1-
Dinda buru-buru meninggalkan toko tempat usahanya. Beberapa kali dia berdecak tidak sabar saat motor yang dikendarainya terjebak macet. Pikirannya terus saja tertuju kepada Bu Nawang, mengingat beberapa saat lalu wanita itu menelphonenya dan meminta untuk segera pulang ke panti asuhan yang sudah menjadi tempat tinggalnya semala 20 tahun kebelakang.
“Semoga tidak terjadi apa-apa” batin Dinda, yang terus saja melajukan kendaraannya dengan kencang. Dia bahkan hampir tidak peduli dengan beberapa umpatan yang muncul dari pengendara lainnya.
Setelah 30 menit dilaluinya dengan tergesa-gesa. Kini Dinda tengah berdiri didepan bangunan yang memiliki berbagai memori didalamnya. Mengedarkan pandangan, Dinda sedikit terhenyak. “Mobil siapa itu?” ucap Dinda keheranan, saat memperhatikan mobil mewah yang tengah terparkir disudut pekarangan panti asuhan.
“Kak Dinda...” terdengar sebuah suara teriakan, sontak Dinda langsung menolehkan kepalanya, tersenyum lembut. Belum juga dia menjawab suara teriakan itu, kini dirinya tengah dipeluk oleh seorang anak laki-laki.
“Herman” ucap Dinda sambil membalas pelukan laki-laki kecil didepannya.
“Kak Dinda sudah lama tidak main ke sini” rengek Herman saat sudah melepaskan pelukannya kepada Dinda.
“Maaf ya, Kakak lagi banyak kerjaan, jadi belum sempat...” belum juga Dinda menyelesaikan ucapannya. Beberapa bocah lainnya sudah berlari dan meneriakkan nama Dinda. Suasana menjadi riuh, sesekali Dinda terkekeh dengan sikap anak-anak panti saat melihat dirinya.
“Sudah... sudah, biar Kak Dinda masuk dulu” sontak Dinda langsung menoleh kearah sumber suara, perasaan kalutnya sedikit hilang ketika melihat Bu Nawang berdiri tidak jauh dari pintu depan sambil tersenyum ramah kepadanya.
“Bu Nawang” ucap Dinda yang langsung saja memeluk pengasuhnya “Ada apa Bu?” tanya Dinda penasaran saat sudah melepas pelukannya.
“Masuk Din, biar Pak Hamdan yang menjelaskan” kata Bu Nawang sambil beranjak masuk kedalam rumah.
Dinda terdiam mematung, mencoba mengingat-ingat siapa Pak Hamdan yang Bu Nawang maksudkan. “Dinda... ayok” ucap Bu Nawang, saat mendapati Dinda yang justru terdiam didepan pintu.
Melangkahkan kakinya, mereka berjalan beriringan. Saat memasuki ruang tamu, Dinda melihat seorang laki-laki paruh baya dengan perawakan tegas tengah duduk sambil memainkan handphone yang ada ditangannya.
“Dinda?” sapa Pak Hamdan dengan senyum simpulnya. Dinda tidak menjawab, dia masih terus mencoba meningat siapa gerangan Pak Hamdan.
“Duduk Din...” pinta Bu Nawang, saat melihat Dinda yang masih saja terus melihat Pak Hamdan. Tersadar, buru-buru Dinda duduk dikursi sebelah Bu Nawang.
“Perkenalkan, saya Hamdan. Sudah lama sekali saya mencari kamu” kata Hamdan sambil mengulurkan tangan kanannya. “Saya Dinda Pak” kata Dinda yang sudah meraih tangan Pak Hamdan.
“Langsung saja kalau begitu, saya sudah menceritakan semua kepada Bu Nawang sebelum kamu datang kesini. Mungkin ini akan sedikit membingungkan. Sudah lama saya mencoba mencari keberadaanmu, karena hanya ada satu petunjuk... ini...” ucap Pak Hamdan. Kali ini dia membuka tasnya dan menyerahkan sebuah kertas foto usang.
Seketika tubuh Dinda menengang, dia terus saja melihat foto yang kini tengah dia pegang. “Bapak siapa?” ucap Dinda kembali memandang Pak Hamdan.
“Saya teman dari bapakmu, sekaligus kuasa hukum keluarga Sukmadji” ucap Hamdan dengan tatapan teduh.
Dinda tidak menanggapi, dia terus saja memandang Hamdan curiga. Batinnya benar-benar bingung. Setelah sekian lama dia tidak memikirkan tentang kedua orang tuanya, kini tiba-tiba saja hadir seorang laki-laki tidak dikenal yang mengaku sebagai teman Bapaknya. Tidakah ini semua mencugikan?
“Maaf, saya belum mengerti. Bagaimana bapak bisa mendapatkan barang ini?” tanya Dinda datar. Baginya selama ini kedua orang tuanya sudah lama mati, tidak ada yang berarti lagi baginya.
“Sudah setahun ini saya mencoba mencari keberadaanmu, hanya sebuah foto usang dan sedikit petunjuk yang tertulis disalah satu buku milik Ibumu... Yang mengatakan kalau anaknya, dia titipkan disalah satu panti asuhan di kota ini” jawab Hamdan tenang. Dia tahu kalau Dinda bukan orang bodoh, nampak sekali meskipun expresinya lunak tapi tatapannya penuh dengan selidik.
“Jika kau mau mengetahui semuanya datanglah besok ke tempat ini, karena percuma saja saya jelaskan semua. Dari expresimu kau tidak akan percaya kalau memang orang tua mu sudah mencoba menyelamatkan dirimu dengan menitipkan anaknya ditempat ini” ucap Handam sambil menyerahkan secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat.
Dinda menerima kertas itu. Sejenak dia pandangi alamat yang tertera di kertas yang baru saja ia terima. Itu hanya berjarak beberapa jam dari kota tempat dirinya tinggal saat ini. Dinda menatap Bu Nawang, meminta persetujuan. Namun Bu Nawang hanya diam, tidak memberikan petunjuk apapun.
“Kalau begitu saya permisi dulu, nomor handphone dan alamat rumah saya sudah saya berikan kepada Bu Nawang. Jika kamu butuh bantuan saya jangan sungkan untuk menghubungi saya, Din” ucap Pak Hamdan sambil beranjak dari tempat duduknya.
*****
“Belum tidur kamu Din?” sapa Bu Nawang saat mendapati Dinda tengah duduk diteras depan rumah. Menengok kearah sumber suara, Dinda tersenyum dan menggeser tubuhnya sedikit kesamping.
“Belum Bu, belum ngantuk... terimakasih” jawab Dinda sambil menerima secangkir teh dari Bu Nawang.
“Ibu tahu pasti kamu masih kepikiran kejadian tadi siang, bahkan ibu juga kaget karena selama ini tidak pernah ada yang mencari keberaanmu” ucap Bu Nawang, memandang kearah depan. Ingatan bagaimana dia pertama kali menemukan Dinda masih teringat jelas dikepalanya. Bahkan kejadian itu seperti baru saja terjadi kemarin.
“Kamu sudah besar ya Din” ucap Nawang yang sekarang sudah melihat kearah Dinda. “Apa yang harus Dinda lakukan Bu?” tanya Dinda, sekuat apapun dia mencoba untuk menahan perasaannya. Akhirnya dia hanya seorang wanita yang rindu dengan sebuah rumah.
“Lakukan apa yang memang bisa membuat perasaanmu lega, Din. Semua keputusan ada didalam dirimu. Jika memang kau siap untuk tahu apa yang terjadi dengan keluargamu pergilah. Tapi jika memang kau sudah melupakan masa lalumu. Berhentilah” ucap Bu Nawang, sambil berdiri menuju kedalam rumah.
Dinda termenung memikirkan perkataan Bu Nawang. Dulu dia selalu iri dengan teman-temannya saat mereka diantarkan ke sekolah oleh orang tua mereka. Dia selalu iri dengan teman-temannya yang selalu dicari dan dimarahi oleh orang tuanya. Tapi apa artinya semua ini sekarang? Apakah itu penting untuk Dinda?. Sudah 20 tahun lebih dia berdamai dengan kehidupannya. Kenapa dia harus mencoba mencari tahu lagi keberadaan orang yang sudah membuangnya?.