KEPINGAN MISTERI
-PART 2-
“Yah... Ayah?” panggil Dinda saat sudah mendekat kearah Bapaknya. Tidak ada jawaban. Laki-laki itu tetap saja bergeming.
Duaaak... Sontak Dinda langsung menoleh ke arah sumber suara. Jelas sekali telinganya menangkap ada benda yang jatuh. Buru-buru Dinda merapikan selimut yang dikenakan Bapaknya dan berjalan keluar kamar.
Gelap... Semua nampak tenang dan sunyi. Bahkan saat Dinda mencari sumber kegaduhan, dia tidak mendapati apapun yang janggal. Semua barang masih tersusun rapi ditempatnya.
Menghela nafas, Dinda berniat kembali kekamarnya. Dia berfikir mungkin karena terlalu lelah dan banyak pikiran yang membuat seluruh inderanya mengalami halusinasi.
Pagi sudah tiba, suara kokok ayam yang saling bersahutan membuat Dinda terbangun. Matanya menatap keatas, pikirannya kembali melayang ketika kesadaran muncul dimana Dinda berada saat ini.
Seharusnya dia merasa benci dengan Bapaknya... dengan keluarga Sukmaadji. Tapi kenapa ada dorongan untuk tetap berada disini?. Seolah rumah ini memberikan daya tarik yang kuat untuk tetap tinggal... untuk mengerti dan mencari tahu.
Sekali lagi rasa penasaran Dinda membuncah, ingin dia mencari tahu segala bentuk misteri tentang kehidupannya... Masa lalunya...
“Pagi mbok” sapa Dinda saat mendapati Mbok Marni yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.
“Pagi Non...” ujar Mbok Marni. Dinda mendecakan lidahnya “Kan sudah saya bilang Mbok, panggil saya dengan nama saja. Tanpa embel-embel non” ucap Dinda sebal. Berjalan dia Dinda langsung mencoba untuk membantu Mbok Marni.
“Sudah, biar Mbok saja. Dinda tunggu di meja... mbok bikinin teh atau kopi?” ucap Mbok Marni yang melihat Dinda sudah memakai celemek dan mencari bahan-bahan di kulkas. “Gapapa, Mbok. Di panti saya sudah biasa seperti ini, justru malah aneh kalau cuma liatin Mbok Marni masak” ujar Dinda yang tidak mengindahkan permintaan Mbok Marni.
Sejenak Mbok Marni melihat kearah Dinda. Matanya berkaca-kaca. Hingga saat Dinda menyadari dirinya tengah ditatap dan memalingkan kepalanya kearah Mbok Marni. Buru-buru wanita tua itu menunduk berpura-pura sedang melakukan sesuatu.
“Saya pengen tahu, seperti apa keluarga ini Mbok” ucap Dinda “Mbok uda lama kan kerja disini?”
“Sudah, Din. Semenjak Pak Ahmad masih kecil Simbok sudah ikut Bapak. Kakek kamu” jawab Simbok.
Belum sempat Dinda bertanya lebih. Tiba-tiba saja terdengar suara pintu yang terbuka. Menoleh, ternyata Pak Kusno yang baru saja masuk dari arah taman belakang.
“Non... Kok malah bantuin Simbok masak?” ucap Pak Kusno heran saat melihat Dinda tengah sibuk didepan kompor. “Mbok, tolong kasih tahu Pak Kusno. Kalau manggil saya itu gimana” kata Dinda sambil memonyongkan bibirnya. Dia benar-benar risih dengan panggilan yang diucapkan oleh Mbok Marni dan Pak Kusno. Melihat itu Mbok Marni tersenyum dan segera memberi tahu suaminya.
“Wah... saya ndak berani, kalau Bapak tahu bisa dimarahin saya” ujar Pak Kusno, entah itu adalah nada bercandaan atau sebuah keseriusan Dinda tidak peduli.
Dinda membalikan badannya, tatapannya lurus kearah Pak Kusno yang justru malah terlihat menunduk. Bahkan raut muka Mbok Marni juga terlihat khawatir jika Dinda meledak marah. Walau dia belum tahu sifat Dinda tapi rasa khawatir itu tiba-tiba saja muncul didalam batinnya.
“Kalau Ayah sudah bangun!!! Dan dia marah-marah.. karena anaknya tidak ingin di spesialkan. Bilang sama saya” ucap Dinda lantang.
Pak Kusno tertegun, sepersekian detik dia melihat bayangan Sukmaadji di mata Dinda. Tidak mau membuat keributan Pak Kusno segera meminta ijin untuk mengecek kondisi Ahmad.
“Emang, dia tidak pernah bangun ya Mbok?” tanya Dinda yang sudah tidak bisa menahan diri. Mbok Marni bingung saat Dinda mengatakan dia.
“Ayah maksud Dinda” kata Dinda yang langsung paham dengan kebingungan Mbok Marni.
“Bangun kok Din. Cuma diwaktu-waktu tertentu Bapak bisa tertidur lama. Bahkan dulu pernah, Bapak enggak bangun selama seminggu... Sampai Pak Hamdan mesti kasih infus ke Bapak” jawab Mbok Marni. Dinda hanya mangguk-mangguk.
Sejenak dia ingin menceritakan apa yang dialaminya, saat Bapaknya mengucapkan kalimat yang menurut Dinda sedikit aneh dan juga wanita dengan baju putih yang sudah dia lihat 3 kali dalam sehari. Namun dia urungkan, tidak mau terlalu gegabah. Toh dia juga belum terlalu kenal dengan Mbok Marni dan Pak Kusno.
*****
“Non, Bapak sudah bangun” ucap Pak Kusno saat masuk ke dapur. Badan Dinda seketika menengang, ada perasaan ingin segera menemui Bapaknya, tapi dia juga ingin segera pergi dari tempat ini. Perasaannya benar-benar tidak menentu.
“Pak Kusno sudah memberitahu Ayah, kalau Dinda sudah disini?” tanya Dinda.
“Belum Din, Bapak masih belum tahu” jawab Pak Kusno, sambil menggelengkan kepalanya.
“Biar nanti saya saja yang bilang langsung. Boleh saya minta tolong?” tanya Dinda sekali lagi. Pak Kusno hanya mengangguk. Buru-buru Dinda beranjak pergi ke kamarnya.
“Tolong belikan saya rokok ya Pak” ujar Dinda sambil menyerahkan selembar uang kepada Pak Kusno dan kembali duduk di ruang makan, yang mendapat tatapan dan mulut melongo dari Mbok Marni dan Pak Kusno. Mereka tidak tahu kalau Dinda seorang perokok.
Sudah beberapa waktu Dinda duduk termenung, sudah beberapa batang rokok pula dia hisap. Sebenarnya dia bukan seorang perokok. Tapi Dinda ingat dengan perkataan laki-laki itu. “Kalau mas lagi pusing, banyak pikiran ya larinya ke rokok” kenangnya. Seketika Dinda merasa rindu dengan laki-laki konyol yang menyebalkan itu.
“Din..” sapa Pak Kusno takut-takut. Dinda menolehkan kepalanya. “Sini Pak duduk sama saya” ujar Dinda.
“Saya enggak tahu kalau Dinda perokok” kata Pak Kusno. Mendengar itu justru Dinda tersenyum dan menggeser bungkusan rokok dan korek api kearah Pak Kusno.
“Bapak ngerokok kan?” kata Dinda yang kembali menoleh kearah taman mawar didepannya. Sungkan menolak akhirnya Pak Kusno mengambil satu batang dan membakarnya.
Lama mereka terdiam, terbenam dalam pikirannya masing-masing. “Pak Kusno suka wayangan?” tanya Dinda.
“Suka Din, dulu Pak Sukmaadji sering ngajak saya pergi liat wayangan”
“Oh Pantes, semalam saya dengar suara wayangan” kata Dinda. Sejenak pak Kusno terkesiap, tubuhnya seperti menegang.