Sosok Dari Masa lalu
-PART 3-
Dinda sudah didalam kamar. Setelah makan malam selesai, mereka semua langsung masuk kedalam kamar masing-masing.
Lama Dinda berbaring dengan posisi menatap kearah atas. Bibirnya selalu merekah tersenyum, hatinya terasa lebih ringan, mengingat kejadian sore tadi bersama Bapaknya.
Hingga dia teringat akan ucapan Bapaknya. “Apa yang dimaksud Ayah dengan melindungiku” ucap Dinda lirih, dahinya berkerut. Memikirkan kalimat aneh yang dia tangkap. Apa yang harus dilindungi? Sedang kondisi Ahmad saat ini juga tidak memungkinkan untuk berkelahi, jika ada orang yang mencoba menyakiti Dinda.
Sempat Dinda menanyakan sekali lagi kepada Ahmad, tapi lagi-lagi dia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Bahkan saat Dinda iseng bilang ingin tidur dengan Bapaknya, langsung saja Ahmad menolak dengan tegas.
Dinda terus berfikir, mencoba menggabungkan semua kejadian yang telah dilaluinya selama berada hari dirumah ini. Dari suara gamelan, sosok wanita yang belum ia ketahui identitasnya hingga tingkah aneh orang-orang yang ada disekitarnya. Seolah ada sesuatu yang memang sedang disembunyikan oleh mereka semua.
“Apa yang sebetulnya sedang mereka sembunyikan” ucap Dinda. Kepalanya mulai terasa berat, ingin rasanya menanyakan semua ini kepada Bapaknya. Terlebih Dinda juga belum mengetahui, alasan kenapa Ajeng, Ibunya sampai tega membuangnya dipanti asuhan, hingga berbohong kepada setiap orang kalau Dinda sudah meninggal.
Dinda tiba-tiba saja tersentak, dan langsung bangun dari pembaringan. Telinganya ia tajamkan, kembali dia mengengar suara wayangan. Spontan Dinda menengok kearah jam dinding, dia mendapati waktu sudah menunjukan hampir tengah malam.
Dinda terdiam, sekali lagi dia mencoba menajamkan telinganya. “Bukan, itu bukan suara dari radio” batin Dinda. Aneh sekali kalau memang itu suara radio kenapa suaranya terasa nyata dan begitu jernih.
Kali ini Dinda mencoba untuk berjalan kearah jendela, ingin memastikan kalau suara itu berasal dari luar rumah.
Saat sudah berada didepan jendela, Dinda menyibakkan tirai dan membuka sedikit, hingga telinganya ia tempelkan ke daun jendela. Tidak terdengar apapun, semua nampak sepi. Justru malah telinga kanannya mendengar suara wayangan itu berasal dari arah pintu kamarnya.
Sejenak Diam terdiam, menimbang-nimbang. Apa sebaiknya dia menyecek sekali lagi atau tidak, meski dia teringat dengan wejangan dari Bapaknya, tapi rasa penasaran itu terus saja muncul didalam hatinya.
Beberapa kali Dinda menghela nafas, memantapkan hatinya. Ia mulai berjalan kearah pintu. Suara itu semakin terdengar jelas walau masih terasa jauh. Nekad, Dinda membuka pintu kamarnya, tujuan kali ini adalah area belakang. Jika memang benar itu suara radio, berarti bisa saja berasal dari Pavilun belakang yang dihuni oleh Pak Kusno dan Mbok Marni. Dan jika benar berarti dia tidak perlu lagi memikirkan sumber suara wayangan yang sudah dua kali dia dengar.
Dinda berjalan perlahan menuju kearah dapur, semua nampak sunyi, hanya terdengar sayup-sayup suara wayangan. Bukan mendapat ketenangan justru malah atmosfir dirumah tersebut terasa lebih mencekam.
Beberapa kali bulu kuduk Dinda meremang, ingin rasanya kembali kedalam kamarnya. Tapi rasa penasarannya begitu tinggi. Tangannya kini sudah berada di handle pintu belakang rumah, perlahan Dinda membuka pintu itu, hingga...
“Wes tak tunggu, olehmu bali neng panggonan iki” (Sudah aku tunggu, dirimu kembali ketempat ini). Tubuh Dinda menegang, dia tidak langsung menoleh kearah sumber suara. Kesadarannya mulai datang, dia sama sekali tidak melihat ada seseorang saat melangkah menuju ke tempatnya saat ini.
Perlahan Dinda menolehkan kepalanya. Kini tubuhnya terpaku, bibirnya menjadi kelu. Bahkan dia merasakan kalau kelopak matanya tidak berkedip sama sekali.
Diujung ruangan, Dinda melihat ada seorang wanita tengah duduk disalah satu kursi kayu. Dia tidak bisa melihat dengan jelas, karena posisi wanita itu membelakanginya. Hanya rambut panjang hitam yang lurus tergerai dibelakang punggungnya.
Tanpa menoleh kearah Dinda, tiba-tiba saja wanita itu bangkit dan berjalan kearah dalam rumah, tersadar Dinda mencoba untuk segera mengikuti langkah wanita itu. Hingga dalam jarak beberapa meter Dinda melihat kalau ia tengah berdiri didepan kamar Bapaknya dan langsung saja membuka pintu dan masuk menghambur kedalam.
Blaaammm.... suara pintu kamar Bapaknya tertutup dengan keras sekali, seolah wanita itu dengan sengaja membanting dari dalam.
Panik, Dinda setengah berlari menyusulnya, tanpa pikir panjang dia langsung saja membuka pintu kamar Bapaknya.
Baru saja Dinda melangkah masuk, hatinya kembali mencelos. Kepanikan bertambah saat dirinya melihat banyak kelopak bunga mawar yang berserakan dilantai kamar milik Ahmad.
Berlari, Dinda langsung membuka pintu kamar mandi, tidak ada seorang pun disana. Kosong sama sekali tidak ada bekas dari wanita itu. Kembali Dinda menoleh kedalam kamar, sekarang matanya tertuju pada jendela. Segera dia berjalan kearah jendala, namun sekali lagi dirinya merasa heran. Jendela kamar tertutup rapat, bahkan kait pengunci juga masih ada ditempatnya. Mencoba untuk mendorong tapi tetap saja jendela itu bergeming tidak mau terbuka.
Dengan jantung yang berdebar, dia melihat kearah tempat tidur Bapaknya. Perlahan Dinda mulai merendahkan tubuhnya. Lututnya kini sudah bersentuhan dengan lantai ubin batu yang dingin. Sudah separo jalan Dinda membungkukkan tubuhnya untuk mengecek dibawah ranjang. Berfikir kalau wanita yang tadi ia lihat sedang bersembunyi dibawah tempat tidur.
Dug...dug...dug... Tiba-tiba saja terdengar suara dari arah almari besar di sisi ruangan yang lain. Dinda mematung, tubuhnya meremang hebat, bulu kuduknya berdiri dengan kuat.
Terus saja Dinda melihat kearah almari, sampai suara itu lenyap. Memberanikan diri, Dinda berniat untuk mengecek kedalam almari. Baru saja tangannya berada di handle pintu almari. Suara wanita itu kembali terdengar...
”Cah wadon, wes bengi wayah e turu” (Anak perempuan, sudah malam waktunya tidur) terlonjak Dinda langsung membalikan badannya. Mata Dinda membulat seketika. Kini dengan jelas dia bisa melihat. Sosok wanita dengan kulit pucat dan rambut tergerai sedang duduk disamping Bapaknya. Wajahnya datar, tatapannya terlihat kosong, dan yang paling mengerian tangan wanita itu sedang membelai lembut kepala Ahmad.
Panik, ingin sekali Dinda menerikkan nama Bapaknya agar terbangun dari tidurnya. Tapi bibir Dinda terasa kelu, badannya sama sekali tidak bisa digerakan. Perlahan wanita itu bangkit, berjalan perlahan menuju kearah Dinda. “LUNGO!!!” ( Pergi ) bentaknya.
Tersadar Dinda langsung saja berlari, tujuannya bukan kekamar. Melainkan kearah pavilun yang ditinggali Pak Kusno dan Mbok Marni.
“Pak... Pak Kusno... Mbok... Mbok Marni” ucap Dinda panik sambil terus saja mengetuk pintu paviliun. Sesekali kepalanya menoleh kearah belakang, takut kalau wanita itu mengikutinya.
“Dinda... Kamu kenapa” ucap Pak Kusno saat melihat Dinda tengah merosot didepan pintu kamarnya.
“Bu... Ibu...” Panggil Pak Kusno yang menolehkan kepalanya kedalam Paviliun.
“Opo Pak? Astaugfirulloh... kenapa ini Pak?” tanya Mbok Marni saat melihat Pak Kusno tengah jongkok didepan Dinda.
“Ambilkan minum” perintah Pak Kusno kepada Mbok Marni yang langsung masuk kedalam Paviliun, sedang ia mencoba untuk menenangkan Dinda.
“Sudah, diminum dulu, tenangkan diri kamu Din” ucap Pak Kusno, sambil menyerahkan segelas air kepada Dinda.
“Pak tolong, dikamar Bapak... tolong Pak” racau Dinda dengan badan yang masih gemetaran. Pak Kusno terdiam, bukan langsung berlari kearah kamar Ahmad tapi justru malah menatap kearah istrinya.
“Pak, itu tolongin Ayah” kata Dinda dengan suara meninggi, jengkel karena kedua orang ini justru malah terdiam dan tidak langsung pergi kekamar Bapaknya.
“Mbok, tolong temenin Dinda, biar Bapak cek kekamar Pak Ahmad” ujar Pak Kusno sambil berdiri. “T—tapi Pak?” Kata Mbok Marni. Dinda bingung melihat mereka berdua.
“Sudah temani saja Dinda dikamarnya” ucap Pak Kusno tegas.
“Dinda ikut liat ke kamar Ayah” ujar Dinda yang ingin memastikan keadaan Ayahnya. Tidak berani menolak keinginan Dinda. Akhirnya Pak Kusno mengiyakan.
Mereka bertiga kini berjalan masuk kedalam rumah. Dinda masih sedikit merasa takut. Hingga saat mereka tiba didepan kamar Ahmad. Dinda tertegun, pintu kamar Ahmad sudah tertutup rapat.
Perlahan Pak Kusno membuka pintu kamar, semua nampak normal, Ahmad masih tertidur dengan pulas. Bahkan kelopak bunga yang ada dilantai juga sudah menghilang.
“Pak Kusno? Tadi disini banyak bunga mawar” ucap Dinda keheranan.
“Sudah... malam ini kamu tidur dengan simbok. Kamu gapapa kan tidur bareng simbok?” kata Pak Kusno, entah kenapa dari nada suaranya Dinda merasa kalau ucapan Pak Kusno penuh dengan penekanan.
Dinda tidak menolak, dia hanya menganggukkan kepalanya. Segera Dinda digiring kearah kamar bersama dengan Mbok Marni.
“Sudah Din, jangan dipikirkan dulu. Malam ini Simbok ijin tidur sama Dinda ya” ucap Mbok Marni yang tengah merapikan tempat tidur milik Dinda.
“Tapi Mbok?” tanya Dinda yang masih begitu penasaran. Mbok Marni menggelengkan kepalanya, menandakan kalau dia tidak akan menjawab pertanyaan Dinda. Menyerah, akhirnya Dinda mencoba untuk tidur, setidaknya untuk malam ini dia mengikuti kemauan dari Pak Kusno dan Mbok Marni.
****
Entah Dinda tertidur atau tidak, tapi rasanya dia seperti terjaga semalaman. Kilasan-kilasan sosok wanita dan Ayahnya silih berganti masuk kedalam benaknya. Bahkan saat dia terbangun kejadian semalam rasanya seperti mimpi.
Melihat kearah samping, ternyata Mbok Marni sudah tidak ada disampingnya. Sejenak Dinda merenggangkan otot-ototnya yang kaku.
“Pagi Mbok” sapa Dinda saat mendapati Mbok Marni tengah sibuk didepan kompor.