Ikatan Terkutuk
-PART 4-
Setelah masuk kedalam kamar, Dinda langsung saja duduk dikursi. Jendela kamarnya ia buka lebar-lebar. Pandangannya menerawang jauh, pikirannya berkelana, mencerna segala sesuatu yang sudah dia alami dirumah ini. Belum lagi cerita yang ia dengar dari Bapaknya. Semua serba membingungkan.
Bisa saja Dinda tidak menggubris itu semua dan segera kembali ke Kota, namun ada dorongan dihatinya untuk memecahkan misteri yang masih menyelubungi masalalunya... Tentang keadaan Bapaknya.
“Siapa wanita itu sebenarnya? Dan Siapa yang sudah menaruh sesajen di kamar Kakek?” ucap Dinda lirih.
“Kalau memang benar wanita itu berkaitan dengan alasan kenapa Ibu membuangku ke panti, berarti memang ada orang di rumah ini yang berniat buruk dengan kami” lanjut Dinda.
Sesekali dia menghela nafas dalam-dalam, mencoba mempertimbangkan semua resiko yang ada. Dinda bukan orang yang sembrono, dia selalu penuh dengan perhitungan. Tidak mau salah salah, apalagi ini menyangkut keamanan dirinya dan Bapaknya.
“Semoga ini yang terbaik” ucap Dinda, setelah semua ia pertimbangkan matang-matang.
Dinda memutuskan untuk mencari satu persatu, dimulai dari menggeledah kamar digunakan oleh Kakek dan Neneknya selama ini. Jika memang tidak ada sesuatu yang aneh disana, tidak mungkin Pak Kusno atau Mbok Marni menaruh sesajen dibelakang cermin besar itu.
“Ya... aku akan mencoba untuk mencari tahu dari sana dulu” batin Dinda. Ditengoknya jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Ada kemungkinan semua orang sudah tidur, yang berarti dia bisa melakukan rencananya saat ini juga. Dinda tidak ingin ada yang tahu, bahkan Ahmad sekalipun.
Beranjak, Dinda menuju kearah kamar Kakek Neneknya, sempat dia berhenti didepan pintu. Entah kenapa suasana rumah ini terlihat begitu menakutkan. Mungkin siang masih ada banyak aktivitas, tapi ketika makan malam selesai dan semua orang masuk ke kamar masing-masing, seolah rumah ini menjadi sesuatu yang berbeda.
Jantung Dinda berbedar keras, dia sebenarnya merasa khawatir jika sosok hantu wanita itu muncul kembali. Memang benar tidak ada darah sama sekali yang terlihat, tapi kulitnya yang pucat, serta matanya yang benar-benar putih membuat dirinya bergidik ngeri.
Memantapkan hatinya, Dinda mulai melangkah, sesekali dia menoleh kearah dapur. Takut kalau Mbok Marni atau Pak Kusno sedang berada didalam rumah.
Sesampainya didepan kamar, Dinda membuka pintu kayu dengan perlahan dan melakangkah masuk, tubuhnya langsung berhenti. Hindungnya mengendus-endus udara disekitarnya.
“Bau dupa” ucap Dinda. Bau dupa yang ia cium jauh lebih pekat dari pada tadi siang. Ia menolehkan kepalanya, memandangi dengan seksama ruang gelap itu. Tidak ada siapapun... Dinda buru-buru menutup pintu dibelakangnya, meski beresiko tapi dia berfikir jika nanti saat sedang mencari-cari petunjuk ada pergerakan aneh bisa langsung bersembunyi.
Tidak menghidupkan lampu, dan hanya mengandalkan penerangan dari senter hp miliknya. Dinda melangkah menuju cermin besar yang ada disudut ruangan.
Kini dia sudah jongkok, badannya sedikit membungkuk. Benar dugaannya, ada yang sudah menghidupkan dupa disini. Buru-buru Dinda menggigit hpnya, tangan kirinya ia letakan dilantai, sedang tangan kanannya mencoba menarik tampah yang ada dibelakang cermin.
“Golek i opo ndug” (nyari apa, nak) terdengar suara serak lirih perempuan dari arah belakang Dinda. Kaget, sontak Dinda langsung saja berputar, hpnya terlepas dari gigitannya, dan jatuh ke lantai.
Dinda gentar, jantungnya berdebar keras sekali. Bibirnya kelu, ketakutannya benar-benar terjadi. Sosok setan wanita itu tengah duduk dipinggiran kasur milik Kakek Neneknya. “S—sopo koe?” tanya Dinda gemetaran. wanita itu tidak menjawab. Kepalanya menunduk, pandangannya terus saja kearah lantai.
Dinda mencoba memejamkan matanya, berharap kalau semua hanya halusinasinya saja. Namun saat membuka mata justru malah sekarang dia melihat kalau wanita itu tengah berdiri, spontan Dinda langsung meringsut mundur dengan keadaan duduk.
Wanita itu mulai bergerak, bukan berjalan menggunakan kedua kakinya selayaknya manusia, namun ia melayang. Walau tidak menembus benda padat yang ada disekitarnya tetap saja Dinda merasa shock berat.
Waktu terasa begitu lama, wanita itu terus saja bergerak. Hingga dia tiba didepan pintu kamar, Bruaaakk... sekali lagi Dinda terlonjak, tidak ada angin dan bahkan wanita itu tidak menyentuh handle pintu. Tetapi daun pintu kamar Kakek Neneknya tiba-tiba saja terbuka dengan keras. Lalu sosok itu pergi dan kembali pintu kayu itu menutup dengan keras.
“Astaghfirulloh” ucap Dinda kaget, tubuhnya gemetaran. Tidak menyangka kalau setan bisa melakukan hal seperti itu. Selama ini dia hanya mendengar kalau hantu hanya menakut-nakuti dengan bentuk rupa mereka yang mengerikan.
Sesaat Dinda terdiam, sesekali dia menutup matanya. Mencoba mengatur nafas dan menenangkan dirinya. Saat setelah kakinya bisa kembali bergerak, segera dia beranjak.
Dinda memutuskan untuk segera pergi dari kamar itu. Batinnya masih terguncang, jauh lebih baik saat ini berada didalam kamarnya. Memikirkan kembali bagaimana caranya agar bisa mendapatkan petunjuk tanpa harus berinteraksi dengan wanita itu.
Namun baru saja Dinda membuka pintu kamar, keterkejutannya tidak berhenti sampai disitu saja. Dinda berpikir kalau dia sudah pergi dan ternyata itu salah.
Wanita itu masih berdiri tidak jauh dari pintu kamar Kakek Neneknya, seolah sedang menunggu Dinda untuk mengikutinya.
Dinda tidak berani mendekat, padahal itu satu-satu jalan agar dia bisa kembali ke kamarnya. Tubuhnya kembali mematung, pilihannya cuma dua kembali ke dalam kamar Kakek Neneknya atau berjalan keluar rumah.
Baru saja Dinda berniat berjalan kearah luar, sosok itu tiba-tiba saja berpaling. Dalam keremangan, Dinda dengan jelas melihat wajah wanita itu, matanya berwarna putih, kulitnya begitu pucat dan expresinya terlihat datar.
Mereka kini saling tatap, tubuh Dinda sudah lemas bahkan dia sama sekali tidak bisa menggerakan kakinya. Hingga wanita itu tersenyum, senyum yang sangat mengerikan. Bibirnya tertarik hingga sampai keujung tulang pipinya mendekati telinga.
“Astaghfirulloh... Astaghfirulloh...” ucap Dinda, kembali sosok itu berjalan, kini dia melangkah menuju kamar Bapaknya.
Tanpa tahu apa yang terjadi Dinda segera berjalan mengikuti wanita itu, seolah ada dorongan yang tidak bisa ia kendalikan untuk mengikuti wanita itu.
Pintu kamar Ahmad dari jarak beberapa meter sudah terlihat terbuka, berjalan cepat Dinda segera menghambur kedalam.
Sosok wanita itu tengah berdiri menatap Ahmad, “Wong lanang iki wes gawe perkoro, yen koe ora pengen dadi koyo dek ne. Ndang rampung no opo sek uwes di mulai” (laki-laki ini sudah membuat perkara, jika kamu tidak mau jadi seperti dia. Segera selesaikan apa yang sudah dimulai) ucap wanita itu sambil menunjuk kearah Ahmad.
“Opo maksudmu?” (apa maksudmu) ucap Dinda panik.
Tidak ada jawaban, sepersekian detik wanita itu itu kembali menoleh kearah Dinda, dengan senyum yang mengerikan. Dinda berkedip, mencoba menjernihkan pikirannya. Dan saat matanya terbuka. Sosok wanita itu sudah lenyap, hanya tersisa bau bunga mawar yang begitu kuat.
“Ojo anakku, wes aku wae... jupuk o aku, lungo ndug... lungo...” (jangan anakku, sudah aku saja... ambil saja aku, pergi nak... pergi)
Mendengar suara Ahmad, Dinda buru-buru mendekat. Dia pandangi wajah Bapaknya itu, terlihat sekali dia sedang tersiksa walau dalam tidurnya. Air mata Dinda kembali menggenang dimatanya.
Dinda mematung, kelopak matanya berkedip beberapa kali dengan cepat. Bukan untuk memulihkan kesadaran tapi karena sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja muncul didalam hatinya.
“Lakukan sekarang, dia tidak akan bangun” ucap seseorang dalam benak Dinda. Batinnya berkecamuk, ada dorongan kuat untuk mengecek kedalam brankas milik Bapaknya.
“Sekarang lakukan” ucap suara itu lagi. Tanpa pikir panjang. Dinda langsung berpaling menghadap kearah almari dan langsung menuju kearahanya. Sesekali dia menengok kearah Ahmad, memastikan kalau Bapaknya masih tertidur pulas.
Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, Dinda pelan-pelan menggeser almari besar dihadapannya. Kini dia sudah sudah jongkok, kata sandi sudah dia masukan. Segera Dinda mencari-cari barang yang bisa membawanya memecahkan misteri masalalunya.
Awalnya tidak ada sesuatu yang aneh didalam brankas itu, hanya ada berkas-berkas dan sertifikat kepemilikan serta tumpukan uang. Hingga diarea paling belakang, tertutup tumpukan uang. Dia mendapati ada satu buku, buku usang bersampul kulit.
Tidak menunggu lama, Dinda langsung mengambilnya dan segera menutup brankas. Kepalanya kembali menoleh kearah Ahmad, namun alangkah kagetnya dia. Sosok wanita itu muncul lagi.... dia sudah berada disisi Ahmad dan terus saja membela kepala laki-laki itu.
Dinda benar-benar menguatkan mentalnya, tidak mungkin meninggalkan kamar Bapaknya dengan kondisi brankas terbuka seperti ini. Dengan tangan gemetar, Dinda menutup brankas dan menggeser almari.
Sebelum melangkah keluar, sekali lagi Dinda menolehkan kepalanya kearah Bapaknya. Tapi sial, wanita itu masih terus memandangi Dinda dengan senyum mengerikannya. Ketakutan Dinda buru-buru beranjak dan berjalan menujuk kamarnya.
*****
Saat ini Dinda berada disalah satu cafe tidak jauh dari rumah Kakek Neneknya. Dia sengaja pergi, tidak ingin membaca buku itu dirumah.
Semalam dia sudah melihat sekilas, benar apa yang dia duga. Buku bersampul kulit ini merupakan sebuah catatan. Tidak ada nama, hanya sebuah petunjuk tanda tangan di bagian bawah pada setiap tulisan. Dinda meyakini buku ini milik ibunya.
Buku tulisan tangan itu tidak banyak menceritakan sebuah kejadian. Hanya kutipan-kutipan yang hampir semuanya kalimatnya penuh dengan makna dan misteri didalamnya.
Disudut cafe, Dinda termenung, kepalanya menatap buku yang ada sudah tergeletak dimeja. Dahinya berkerut, mencoba memahami apa maksud dari kalimat yang dituliskan oleh Ibunya dilembar pertama.