RATMI
-PART 5-
Mata Dinda membulat seketika, buru-buru dia bangkit. “Mbok temani saya sebentar” ucap Dinda yang langsung berjalan kearah rumah. Mbok Marni yang tidak paham dengan maksud Dinda hanya bisa mengikuti perempuan itu.
Kini mereka sudah kembali dari dalam rumah. Yang Mbok Marni tahu, Dinda hanya sebentar didalam kamar dan langsung saja mengghambur keluar. Tidak mengucapkan sepatah katapun.
“Pak Kusno, apa tahu tentang ini?” ucap Dinda sambil menarik buku yang dia letakan dikantung dalam jaketnya.
Sejenak Pak Kusno mengamati benda apa yang sedang ditaruh oleh Dinda di meja. Saat dia melihat sampul buku yang sudah usang. Matanya membulat, bahkan Mbok Marni juga terlihat gusar.
“Dari mana kamu mendapatkan benda ini?” tanya Pak Kusno keheranan.
“Ditempat Ayah, sengaja Dinda mencari-cari petunjuk soal apa yang terjadi dirumah ini. Tentang masalalu Dinda” ucap Dinda.
Mereka semua diam, Pak Kusno sedang membolak-balikan halaman yang ada dibuku itu.
“Apa buku itu milik Ibu?” tanya Dinda
Pak Kusno menggeleng, “Tulisan ini bukan milik Ajeng. Ini milik Sukmaadji” ucap Pak Kusno, yang masih saja membaca isi dari buku itu.
“Disana ada tulisan yang menyebutkan tentang lebur sukma, apa itu lebur sukma?” tanya Dinda yang masih haus akan sebuah kebenaran.
Pak Kusno menutup buku itu, dan menyerahkan kepada Mbok Marni yang sedari tadi ikut nimbrung membaca bersama suaminya.
“Lebur sukma adalah ritual yang dilakukan untuk menghilangkan hawa keberadaan dari seseorang. Itu dimaksudkan agar orang yang melakukan ritual itu tidak diketahui keberadaannya oleh para lelembut” jawab Pak Kusno.
“Bagaimana caranya?” tanya Dinda,
Pak Kusno tersenyum, Dinda benar-benar mirip dengan Ajeng. Bahkan naluri keingintahuannya bisa hampir sama dengan putrinya.
“Sebelum aku mengambilmu dari kamar, Mbok Marni sengaja pulang beberapa hari sebelumnya. Beralasan orang tuanya sedang sakit. Dirumah keluarga Mbok Marni kami menyembunyikanmu. Dan disanalah kami melakukan ritual Lebur Sukma. Dengan membuat seolah-olah kamu sudah meninggal. Mengkafanimu dan juga mendoakanmu selayaknya orang yang telah berpulang” jelas Pak Kusno.
“Dan Pak Kusno mengabadikan itu semua serta mengirimkannya kepada Ibu? Agar seolah-olah aku sudah meninggal? kenapa Ayah tidak diberi tahu?” tanya Dinda memeberondong, hatinya begitu pilu mengingat Ayahnya yang sama sekali tidak diberi tahu apapun. Dia paham bagaimana rasanya hidup dengan sebuah misteri.
“Ayahmu orang yang sembrono, nyatanya dia sendiri yang hampir saja membuat Sengkolo bebas berkeliaran” tukas Pak Kusno.
“Maksudnya?” tanya Dinda keheranan.
“Kamu sudah lihat kan cermin besar yang ada dikamar Sukmaadji? Dari situlah kemunculan Sengkolo, Pernah sekali Ahmad berfikiran kalau Sukmaadji dalang dari semua ini. Lantas dia dengan garangnya membawa palu ingin menghancurkan cermin tua itu. Jika wanita itu tidak tempatkan disini. Mungkin kalian semua sudah meninggal” ujar Pak Kusno.
Dinda menghela nafas, “Siapa sosok wanita itu?” ucap Dinda sambil menunjuk kearah pohon mangga yang ada diseberang rumah.
“Kamu masih bisa melihatnya?” ucap Pak Kusno heran, karena Dinda yang masih bisa melihat sosok wanita itu.
Dinda mengganggukan kepalanya, “Dia yang sudah memberitahu Dinda untuk mencari buku itu, dan sudah beberapa waktu ini Dinda melihat dia selalu mengelus-elus kepala Ayah” ucap Dinda.
Pak Kusno terkejud tengan pernyataan Dinda, tidak menyangka Dinda sudah berlaku sejauh itu. “Dia adalah Ratmi, sosok yang mendiami Lembah Pati. Aku dan Sukmaadji berhasil membujuknya untuk melindungi keluarga ini” ujar Pak Kusno, yang sekarang terlihat begitu lelah.
Dinda memejamkan matanya, mencoba menerima semua informasi yang sungguh diluar nalarnya.
“Apakah Ayah bisa sembuh? Kalau memang itu gangguan gaib seperti yang Pak Kusno bilang” tanya Dinda. Secercah harapan muncul didalam batinnya. Berharap ada cara untuk bisa menyembuhkan penyakit yang sedang diderita oleh Bapaknya.
Pak Kusno nampak kebingungan, seperti ada yang tengah dia perdebatkan didalam dirinya. “Pak?” tanya Dinda sekali lagi.
“Bapak tidak tahu, kita pikirkan lagi nanti. Sekarang lebih baik kamu kembali ke kamar” ucap Pak Kusno sambil melihat kearah jam tangannya.
Dinda nampak kecewa, sekarang dia sudah mengetahui misteri kenapa ibunya sampai tega menaruhnya di panti asuhan. Namun masalah tidak berhenti sampai disitu, justru sekarang Dinda ingin membuat Ahmad bisa bergerak seperti sedia kala.
*****
Selepas kembali kekamarnya, Dinda tidak langsung tidur. Dia berbaring menatap langit-langit. Memikirkan cerita yang disampaikan oleh Pak Kusno. Baginya masih ada beberapa bagian yang terlihat aneh.
“Kalau Ratmi memang sedang menjaga Ayah, kenapa dia meminta untuk segera menyelesaikan apa yang sudah dimulai” pikir Dinda.
Pikirannya terus bergelut, menyambungkan semua kejadian yang menimpanya dan juga cerita yang sudah disampaikan oleh Pak Kusno.
“Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Ratmi, dan kalau memang Ayah yang menyimpan ini dibrankasnya. Berarti dia seharusnya juga sudah tahu atau setidaknya dia sudah memperkirakan apa yang sebenarnya sudah terjadi” batin Dinda bingung.
Kepalanya sungguh terasa berat, sesekali dia menutup matanya, mencoba agar bisa terlelap. Pikirnya setelah dia mengetahui alasan kenapa Ibunya sampai hati membuangnya di panti, semua akan selesai. Tapi sekarang justru harus dihadapkan dengan masalah diluar nalarnya. Lelah memikirkan semua masalah yang ada, tanpa sadar Dinda tertidur.
“Nduk, bangun” Dinda menggeliat, dia mendengar ada suara yang sedang mencoba untuk membangunkannya.
“Nduk bangun, nduk” sekali lagi suara itu hinggap ditelinga Dinda. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya, pandangannya masih terasa kabur. Namun jelas didepannya kini nampak ada sosok laki-laki yang tengah berdiri.
“Eyang?” ucap Dinda spontan, meski dia belum pernah bertemu dengan Sukmaadji tapi seolah dia sudah mengenali siapa laki-laki yang ada didepannya.
Sosok itu tersenyum, nampak sekali bahwa Sukmaadji terlihat gagah dengan pakaian beskap jawa yang tengah ia gunakan. “Dingapuro yo ndug, wes gawe uripmu nelongso. Aku durung iso gawe iketan getih karo lelembut kae ucul. Sak iki tak pasrah ke neng awakmu ya ndug” (Maaf ya nak, sudah membuat hidupnya nelangsa, aku belum bisa membuat ikatan darah dengan lelembut itu lepas. Sekarang aku pasrahkan kepadamu ya Ndug) ucapnya sambil berjalan menuju kearah Dinda.
Kini ia duduk dipinggiran kasur, Dinda tidak menjawab ucapan Sukmaadji. Matanya masih terus terpancang kearah sosok yang menurutnya begitu rupawan.
“Lelakon nglebur sukmamu wes rusak amergo lelakumu karo bocah lanang kae. Iki kabeh salah e Eyang, kudune ono sek ngawasi awakmu” (Lelaku lebur sukmamu sudah rusak karena perilakumu dengan anak laki-laki itu. Ini semua salah Eyang, seharusnya ada yang mengawasimu) kembali Sukmaadji berkata, wajahnya terlihat sendu penuh dengan kesedihan.
Dinda tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh Kakeknya, bahkan rasanya dia malah tidak bisa mengucapkan apapun. Dinda hanya bisa menatap Sukmaadji yang tengah duduk disamping ranjang miliknya.
“Lelembut kae wes ngerti yen koe ijeh urip. Sak iki Eyang titip bapakmu yo. Ojo sampek keblinger koyo Eyangmu iki” ( Lelembut itu sudah tau kalau kamu masih hidup. Sekarang Eyang titip Bapakmu ya. Jangan sampai salah jalan seperti Eyangmu iki) ucap Sukmaadji lirih.
Pandangan Dinda seketika kabur, sepersekian detik seolah semua berubah dengan cepat. “Astaghfirulloh” ucap Dinda saat mendapati dia terbangun dari mimpinya.
Perasaannya tidak menentu, kepingan-kepingan ingatan mimpinya muncul begitu cepat didalam ingatannya. Dirinya ketakutan, selain mimpi yang barusan ia alami, suara wayangan itu juga mulai terdengar kembali.
Meski terdengar lirih, tapi tetap saja suara itu mengganggu gendang telingannya. Buru-buru Dinda bangkit. Tanpa menunggu kesadarannya pulih, ia langsung bergerak cepat kearah meja kamarnya. Menuliskan setiap detail mimpi yang baru saja ia alami.
Suara wayangan itu semakin terasa kencang, seolah sedang ada parade yang tengah mendekati kamarnya. Ketakutan menjalari setiap jengkal tubuh Dinda, namun ada hal lain yang juga ikut masuk keadalam kekhawatirannya. Dinda khawatir dengan keadaan Ahmad.
“Rasah digugu, rasah menyat” (Tidak usah diperhatikan, tidak usah pergi) sontak Dinda terperanjat hebat. Kepalanya menoleh seketika kearah pintu kamarnya.
Sosok Ratmi saat ini tengah berdiri mematung disana. “Demit kae lagi golek i awakmu, sak iki dekne ngerti yen koe ijeh urip. Cilakane sak iki ora muk sakedar pengen duweni awak e Bapakmu. Tapi demit kae pengen ngrabeni awakmu” (Demit itu sedang mencarimu, sekarang dia tahu kamu masih hidup. Cilakanya sekarang dia tidak hanya menginginkan Bapakmu. Tapi juga pengen menikahimu) ucap Ratmi dengan suara lirih.
Dinda tersentak, suara wayangan itu semakin kencang terdengar ditelinganya. Dia takut dengan sosok Ratmi, tapi rasa penasaran yang muncul dihatinya juga tidak bisa ia bendung.
“Lanangan kae ijeh iso urip mergo aku. Yen sak iki koe karep Bapakmu mari, balek no aku neng panggonanku. Lembah Pati” (Laki-laki itu bisa masih hidup karena aku. Kalau sekarang kamu kepingin Bapakmu sembuh, kembalikan aku ke tempat asalku. Lembah Pati) kata Ratmi seolah tahu apa yang sedang Dinda pikirkan.
Dalam sekejap mata, sosok Ratmi tiba-tiba saja menghilang. Sedang Dinda yang masih shock kembali terhenyak di bangku yang tadi ia duduki. Suara wayangan yang tadi ia dengar sayup-sayup mulai terdengar menjauh.
*****
“Mbok, Pak Kusno kemana?” ucap Dinda saat dirinya tengah masuk ke dapur dan mendapati Mbok Marni sedang menyiapkan makanan.
“Kenapa ndug? Lagi ngurusin taman disamping” jawab Mbok Marni penasaran. Nampak sekali raut wajah Dinda begitu cemas.