Lebur Sukma

Netrakala
Chapter #7

Petaka Awal

Petaka Awal

-PART 7-

 

Sosok Ratmi tidak mejawab panggilan Dinda, ia masih duduk di pinggiran kasur dengan kepala tertunduk ke bawah.

           “Ratmi?” ulang Dinda, sambil mendekat ke arah nya. Pak Kusno dan Mbok Marni tetap berdiri di tempat, hanya pandangannya yang terus tertuju pada Dinda.

           “Opo sek mbok karepke?” (Apa yang kamu inginkan?) tanya Ratmi parau, disertai senandung lirih dari nya.

           “Tulung, pie carane ben iso ucul seko Sengkolo?” (Tolong, bagaimana caranya agar bisa lepas dari Sengkolo?) jawab Dinda.

           Ratmi bergeming, tak menjawab pertanyaan Dinda, justru kembali melanjutkan senandungnya, yang membuat bulu kuduk berdiri.

           Dinda yang kebingungan, menoleh ke arah Pak Kusno, ia sengaja memberikan isyarat minta tolong pada laki-laki tua itu.

           Melihat tatapan Dinda, Pak Kusno segera mendekati Ratmi. “Opo pengenmu?” tanya Pak Kusno.

           Ratmi menghentikan senandungnya, perlahan dia mendongak ke arah Pak Kusno. Dinda mundur beberapa langkah saat melihat ekspresi wajah Ratmi dengan jelas.

Dinda memberanikan diri untuk menatap bola mata berwarna putih itu, seketika jantungnya berdebar kencang, seakan-akan ada sesuatu yang mengerikan di sana.

           “Ratmi, tulung... kei ngerti pie carane iso ucul seko demit kae” tegas Pak Kusno.

           Ratmi masih menatap Pak Kusno, perlahan seringainya mengembang, membuat Dinda memejamkan mata. Ia tahu persis bagaimana raut wajah Ratmi saat menyeringai.

           “Ora ono, janji tetep janji, kajaba koe ngobong demit kae. Nanging yen kui kelakon, nyowo mu sing dadi totohane” (Tidak ada, janji tetap janji, kecuali kamu membakar demit itu. Tetapi jika itu terjadi, nyawamu yang jadi taruhannya) jawab Ratmi.

           Pak Kusno menghela napas, matanya menatap lurus ke arah Ratmi. “Pie carane?” (Bagaimana caranya?) tanya Pak Kusno.

           “Lembah Pati, neng kono koe bakal ngerti carane ngobong demit kae” (Lembah Pati, di sana kamu akan tau caranya membakar demit itu), jelas Ratmi yang seketika menghilang.

           Setelah kepergian Ratmi, suasana tidak kunjung berubah, Dinda masih belum menemukan cara untuk menghadapi Sengkolo.

           “Lembah Pati?” tanya Dinda memastikan

           “Iya Din, tempat di mana keluarga ini bersekutu dengan Sengkolo bermula” ucap Pak Kusno.

           Dinda mencoba mengingat sesuatu, “Bukannya dulu Eyang juga meminta Pak Kusno untuk membantunya ke Lembah Pati?” tanya Dinda.

           “Benar, dan tidak ada yang kami dapatkan selain membawa Ratmi ke rumah ini” ujar Pak Kusno.

           “Karena?” Dinda bertanya penasaran, otaknya bekerja keras mencoba menggabungkan seluruh kepingan peristiwa yang ia alami.

           “Karena Sukmaadji bersikeras mempertahankan Ahmad. Sudah kubilang, perjanjian yang dilakukan oleh leluhurmu dengan Sengkolo sudah menjadi ikatan darah, tidak akan mudah untuk melepaskannya” jawab Pak Kusno marah.

           “Tapi... Jika memang Sengkolo bisa dibelenggu dalam cermin, seharusnya hal itu juga bisa dilakukan untuk kedua kalinya kan?” tanya Dinda,

           “Tidak semudah itu nduk, nyatanya sekarang harus ada harga yang dibayarkan. Apa kamu pikir kematian Ajeng dan kedua Eyangmu itu kematian biasa?” timpal Mbok Marni.

           “Maksudnya?” tanya Dinda tidak mengerti.

           Mbok Marni berjalan mendekati Dinda, kemudian menggenggam jemari tangan cucu perempuannya itu

           “Ajeng, Sukmaadji dan istrinya meninggal demi menyelamatkan kalian berdua. Semua ritual yang digunakan untuk menghalau Sengkolo selalu disertai imbalan yang dipertaruhkan” ucap Mbok Marni.

           Dinda menghela napas panjang, dia melepaskan tangan Mbok Marni dan berjalan menuju jendela kamarnya. Dipandangi nya temaram malam berselimut kabut, matanya terpejam, memikirkan semua ucapan Mbok Marni.

           “Di mana Lembah Pati ini berada?” tanya Dinda menatap Pak Kusno.

           “Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan Din, tapi setelah kamu tahu atau bahkan sudah ada di sana, apa yang akan kau lakukan?” tanya Pak Kusno

           Dinda bergeming, semua yang dikatakan kakeknya benar, apa yang akan dia lakukan saat sudah sampai di Lembah Pati, bahkan dia pun tidak mengetahui apa sejatinya Lembah Pati tersebut.

           “Jangan gegabah, aku pernah ke sana dengan Sukmaadji, itu bukan tempat rekreasi yang nyaman untuk kau kunjungi. Sengkolo hanya salah satu dari mereka, masih banyak sosok lelembut yang jauh lebih ganas dari Sengkolo” ujar Pak Kusno menjelaskan.

           “Lalu apa yang harus kita lakukan, Kek?” tanya Dinda kembali. Pikirannya buntu, apa yang ia hadapi saat ini benar-benar jauh dari jangkauan pemikirannya sebagai manusia.

           “Biar aku yang pergi ke sana” jawab Pak Kusno datar.

           “T—tapi pak” kata Mbok Marni penuh keraguan, dia masih ingat bagaimana keadaan Pak Kusno saat kembali dari Lembah Pati.

           “Sudah Bu, doakan saja semua baik-baik saja. Jauh lebih baik aku yang pergi daripada salah satu dari kalian” kata Pak Kusno tegas.

           Kreeeekk... terdengar suara pintu yang dibuka dengan pelan. Sontak mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara.

           Pelan tapi pasti, mereka melihat kepala Ahmad melongok dari luar, wajahnya tersenyum memperlihatkan giginya.

           “Ayah...” kata Dinda yang langsung berusaha untuk berjalan mendekati Ahmad, namun langkahnya dihentikan oleh Pak Kusno.

           “Din, Ayahmu lumpuh, tidak mungkin dia bisa berjalan keluar dari kamarnya” ucap Pak Kusno sambil menahan Dinda.

           Dinda tersadar, dia kembali menatap ke arah pintu. Dilihatnya Ahmad masih tersenyum menyeringai, beberapa saat mereka saling menatap satu sama lain.

           Bruaaak... Dinda terlonjak, dia tidak menyadari kalau Pak Kusno sudah ada di dekat pintu dan langsung membantingnya tertutup.

           Dok...dok...dok... “Din, buka pintunya... kenapa dikunci” terdengar Ahmad yang terus saja menggedor pintu kamar Dinda.

           “Biarkan, itu bukan Ahmad” kata Pak Kusno, masih terus menatap ke arah pintu.

           “Dinda kira Sengkolo sudah keluar dari tubuh Ayah” kata Dinda histeris, menatap Pak Kusno dan Mbok Marni bergantian.

           “Sudah Din, tenangkan dirimu” ucap Mbok Marni. “Bagaimana ini Pak?” lanjut Mbok Marni menatap Pak Kusno meminta jawaban.

           “Malam ini jangan ada yang keluar dari kamar, biarkan saja Ahmad melakukan apapun yang dia suka. Aku khawatir kalau Sengkolo berniat melukai kita semua menggunakan tubuh Ahmad” jawab Pak Kusno.

           “Mbok...” kata Dinda, namun kalimatnya tenggelam oleh suara teriakan Ahmad.

           “Din, Buka... kamu jangan percaya dengan dua orang itu” teriak Ahmad, sambil menggedor pintu kamar Dinda.

           Duk...Duk...Duk... suara benturan yang di timbulkan oleh Ahmad semakin keras. “Nduk, buka nduk. Tolong Ayah... Buka, nduk” seketika suara Ahmad menjadi sendu. Namun Pak Kusno berkeras tidak akan membiarkan Dinda keluar kamar.

           “Dia bukan anakmu” teriak Pak Kusno dari dalam kamar yang membuat Mbok Marni dan Dinda keheranan.

           “Pak, kamu ini kenapa?” tanya Mbok Marni kebingungan.

           “Aku jengkel Bu” (Saya kesal, Bu) jawab Pak Kusno.

           “Ya kamu itu aneh. Sudah tahu itu bukan Ahmad, masih juga kesal” kata Mbok Marni sambil menggeleng. Sedangkan Dinda hanya bisa menghela napas dan berjalan ke ranjangnya.

           Cukup lama teriakan Ahmad terdengar dari depan kamar, suara yang awalnya hanya gedoran dan panggilan kepada Dinda, semakin lama menjadi tidak terkendali.

           “Haha... tak enteni malem Seloso kliwon. Bapak e dadi ingonanku, anak e dadi bojoku” (Hahaha... Aku tunggu malam Selasa kliwon. Bapaknya jadi peliharaanku, anaknya jadi istriku), teriakan Ahmad yang mengancam dari luar kamar.

           Dinda hanya bisa meringkuk ketakutan, malam ini saja dia sudah dihadapkan dengan sosok mengerikan, bagaimana esok saat Pak Kusno sudah pergi ke Lembah Pati.

           *****

           Pagi menjelang, Dinda masih ada di bawah selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Semalaman mereka tidak bisa tidur, pintu kamar Dinda tak henti digedor oleh Ahmad & teriakan yang mengerikan menyertainya.

           Dinda mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengumpulkan seluruh kesadarannya. Kemudian dia bangkit, tanpa peduli dengan kepalanya yang masih terasa pening.

           Dia mengedarkan pandangan, tak mendapati Pak Kusno dan Mbok Marni di kamarnya. Bahkan sesajen yang kemarin mereka gunakan untuk memanggil Ratmi juga sudah bersih tak bersisa.

           Segera Dinda kembali merebahkan tubuhnya, menatap ke langit-langit kamar, mengingat-ingat setiap kejadian yang semalam telah dia alami. Rasanya tak ingin berajak dari tempat tidur yang nyaman ini, bercengkerama dengan orang-orang terkasih atau dengan Adit yang selau mampu membuatnya tertawa lepas.

           Kini semua terasa amat jauh, sudah beberapa hari ini dia memang sengaja tidak menghidupkan ponselnya. Dia bertekad, permasalahan ini harus sudah selesai sebelum bertemu kembali dengan Adit. Bukan tanpa alasan, dia hanya tidak ingin orang-orang di sekelilingnya berkorban lebih banyak,  tak ingin lagi siapapun terseret dalam lingkaran perasalahannya, termasuk Adit.

           “Ckkk... kenapa jadi sepelik ini” ucap Dinda mengusap wajahnya dengan kasar.

           Teringat bahwa Pak Kusno akan pergi ke Lembah Pati, Dinda segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lima belas menit kemudian, dia menuju dapur namun tak ia dapati Mbok Marni di sana.

           Saat melongok ke dalam kamar Ahmad pun, dia tidak mendapati siapapun. Dinda bergidik ngeri, takut jika semua orang sudah pergi meninggalkannya seorang diri di rumah ini. Dia segera beranjak ke belakang rumah, menuju paviliun.

           Tok...tok...tok... “Mbok, Mbok Marni” panggil Dinda sambil terus mengetuk pintu paviliun. Cukup lama ia mengetuk, sepertinya tidak ada seorang pun di sana.

Dinda mengedarkan pandangannya, seketika rasa takut menjalari dirinya, padahal mentari sudah bersinar terang.

           “Din...” seru seseorang dari kejauhan, sontak Dinda menoleh ke arah sumber suara. Hatinya terasa lega saat melihat Mbok Marni menenteng tas belanja yang berisi sayur-mayur.

           “Mbok, kirain Dinda ditinggal sendirian di sini,” kata Dinda sedikit merajuk.

           “Ya ndak mungkin to nduk, mosok Simbok ninggalin cucu satu-satunya. Tadi simbok keluar sebentar, belanja sayuran untuk beberapa hari ke depan. Kalau kakekmu sudah pergi sejak subuh tadi” jelas Mbok Marni.

           “Pergi ke mana?” tanya Dinda.

           “Loh ya ke Lembah Pati to, Cah Ayu” ujar Mbok Marni.

           Dinda hampir lupa dengan keputusan yang sudah mereka buat semalam karena kepanikan yang ia rasakan baru saja. Bahkan Dinda juga sama sekali tidak ingat dengan keadaan Ayahnya yang saat ini masih belum dia ketahui.

           “Kondisi Ayah, gimana Mbok?” tanya Dinda penasaran.

           “Tadi sebelum pergi, Pak Kusno mencoba untuk melihat keadaan  di luar, tak ada siapapun. Lalu mencoba melihat ke dalam kamar Ahmad, tidak ada juga. Tak lama, terdengar keras suara bantingan pintu, ternyata demit itu membawa Ahmad ke kamar Sukmaadji,” jelas Mbok Marni mengiring Dinda menuju dapur.

           Dinda diam, perlahan duduk di kursi dapur. Beberapa kali ia menghela nafas dalam-dalam, seakan sedang meratapi sesuatu.

           “Bagaimana kalau kejadian semalam terulang lagi, Mbok?” tanya Dinda saat mbok Marni meletakkan secangkir teh di depannya.

           “Itu juga yang simbok pikirkan, mau tidak mau kita harus meminta tolong Pak Hamdan. Awalnya kakekmu tidak setuju, tapi tidak mungkin kita berdua ada di sini sedangkan dia masih berada di Lembah Pati, yang mungkin saja membutuhkan waktu dalam beberapa hari” jelas Mbok Marni.

           Dinda mengangguk setuju, kejadian semalam benar-benar membuat dirinya sadar jika bahaya memang sedang mengincarnya saat ini.

           “Ya sudah nanti biar Dinda bilang sama Pak Hamdan. Sekarang Simbok mau temani Dinda melihat kondisi Ayah?” tanya Dinda, dia masih merasa takut untuk bertemu dengan Ahmad. Takut jika sosok Sengkolo masih ada di dalam tubuh ayahnya.

           “Din, Kakekmu berpesan, untuk tidak memberitahu Ahmad apa yang sudah terjadi semalam” kata Mbok Marni ketika berjalan ke kamar Sukmaadji.

           Dinda menghentikan langkahnya, menoleh  ke arah Mbok Marni, “Kenapa Mbok?” tanya Dinda penasaran.

           “Pak Kusno takut, kalau ternyata Sengkolo masih ada di dalam tubuh ayahmu. Jauh lebih baik jika apa yang sedang kita lakukan tidak diketahui Ahmad” jelas Mbok Marni.

           Dinda merasa ada yang janggal, sejenak dia merasa tak setuju dengan keputusan tersebut. Apa dengan tidak memberi tahu Ahmad juga membuat Sengkolo tidak tahu dengan rencana yang akan atau sedang mereka lakukan?

           Sekali lagi Dinda hanya mengangguk, kemudian meraih tangan Mbok Marni, dan segera berjalan ke kamar Sukmaadji.

           Pintu kamar itu tertutup rapat, mereka tak serta-merta masuk, “Mbok, kalau Ayah masih kesurupan, kita langsung lari ya, Mbok” ajak Dinda.

           “Enggak, kita pukul kepalanya sekuat tenaga, Nduk” timpal Mbok Marni.

           “Mbok punya dendam ya sama Ayah?” balas Dinda yang kini menatap neneknya keheranan.

           “Ya sedikit. Tapi maksudnya kalau nanti dia meracau atau ngamuk, dan kita tidak sempat lari kan lebih baik dia pingsan seharian to Din” jawab Mbok Marni lugas.

           “Ya kalau cuma pingsan, kalau langsung mati gimana, Mbok? Bukannya berakhir bahagia, justru masuk penjara” kata Dinda.

           Dinda segera membuka pintu kamar Sukmaadji, sekilas pandangannya tertuju ke cermin tua yang ada di sudut ruangan.

           “Akhirnya...” ucap Ahmad, yang membuat Dinda dan Mbok Marni melompat karena kaget.

           “Kenapa saya bisa di sini, Bu?” tanya Ahmad, “Seingat saya, semalam kita masih ada di taman belakang” lanjut Ahmad mencoba mencari jawaban dari kedua wanita itu.

Lihat selengkapnya