Lebur Sukma

Netrakala
Chapter #8

Kehadiran

Kehadiran

-PART 8-

 

Tangan Dinda sudah berada di hendel pintu, kepalanya terasa pening. Sungguh ingin ia rebahkan tubuhnya, segera beristirahat dan sejenak melupakan peristiwa yang baru saja dilihatnya.

“Astaga” celetuk Dinda kaget

Mbok Marni yang berada di belakangnya seketika melongok ke dalam kamar saat mendapati cucunya itu mematung.

Jantung Mbok Marni berdegup cepat, matanya membulat sempurna tatkala melihat pemandangan di hadapannya.

Ternyata kamar Dinda sudah penuh dengan kelopak bunga mawar yang berserak di lantai, di sekeliling tempat tidurnya.

“Mbok...” panggil Dinda lirih dan gemetaran, genggaman tangannya pada Mbok Marni semakin kuat, dia ketakutan. Bagaimana mungkin di dalam kamarnya yang tertutup rapat saat ditinggal pergi, bisa ada kelopak bunga mawar sebanyak itu.

“Jangan jauh-jauh dari Simbok, Nduk” perintah Mbok Marni, mengiringi langkahnya masuk ke dalam kamar Dinda.

 Dinda mengikutinya, mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Tidak ada perubahan, semua masih sama. Hanya kelopak bunga mawar yang berserakan dan semerbak wanginya yang memenuhi ruangan.

Mbok Marni terus melangkah. Dinda mengira bahwa mereka akan membersihkan kelopak bunga mawar itu, ternyata justru mengarah ke kamar mandi.

Kreeek... Perlahan Mbok Marni membuka pintu, mengamati seluruh sudut ruangan. Tak ada apa pun, tak ada siapa pun, lantainya pun masih tetap kering.

Duaaangg... Mereka terperanjat, pintu kamar tertutup dengan keras, seolah ada yang sengaja membanting daun pintu itu dengan kencang.

Hhuhuuu...Huuuu..huuhuu..

Sekali lagi mereka dikejutkan oleh sebuah suara. Terdengar suara tangisan, rasa takut pun menyelimuti batin Dinda. Jauh di sudut lain ruangan itu, terlihat seorang wanita yang meringkuk, mendekap lutut dengan kedua tangannya.

“R...Ratmi” panggil Dinda lirih

Huuhhuu...hhhuuu...uuu...

Sosok itu terus menangis, membuat bulu kuduknya berdiri, belum pernah ia dengar tangisan sepilu itu. Entah bagaimana, Dinda seolah terhipnotis, dipaksa untuk terus melangkah perlahan mendekatinya.

“Ratmi...” panggil Dinda, sosok itu bergeming, tangisnya terdengar sangat memilukan. Sesekali ia mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

“Hati-hati, nduk” Mbok Marni mengingatkan Dinda ketika sudah dekat dengan sosok demit itu.

Dinda tak menggubris, ia terus melangkah, nalurinya merasakan jika Ratmi tidak berbahaya.

Kini jarak mereka hanya dua meter, sosok Ratmi semakin terlihat jelas, dengan kulit yang begitu pucat, rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya dan menjuntai hingga ke lantai.

“Ono opo?” (Ada apa?) tanya Dinda disertai gerakan badannya yang sedikit condong ke arah Ratmi, berharap sosok itu memahami kalimat dengan bahasa jawa yg ia sampaikan

Tangis Ratmi tak kunjung mereda, tidak pula menjawab pertanyaan Dinda. Hingga saat jarak mereka tersisa satu meter, Ratmi tiba-tiba menengadahkan kepalanya dengan cepat.

Hal itu membuat Dinda terlonjak kaget dan terduduk di lantai. Sepersekian detik pandangan mata mereka beradu, kemudian Dinda mencoba bergerak ke belakang, menjauhkan diri dari Ratmi. Bukan hanya perasaan takut yang menguasainya saat ini, tapi perasaan tidak nyaman pun turut serta menyelimuti batinnya.

“Lungo! Rembulane wis katon” (Pergi! Bulannya sudah terlihat) perintah Ratmi parau. Dinda terus berusaha untuk menjauh darinya.

Sosok Ratmi yang ada di hadapannya saat ini begitu menyeramkan, mata yang biasanya berwarna putih bersih kini berbalut dengan darah. Bibir yang biasanya menyeringai seram, kini merintih pilu penuh derita.

“Uripmu wis ora ketulung maneh. Lungo, Nduk, lungo. Ojo koyo awakku.” (Hidupmu sudah tidak tertolong lagi. Pergi, Nduk, pergi. Jangan seperti aku.) pungkas Ratmi yang menatap Dinda begitu lekat seolah penuh harap.

Deg. Dinda terkesiap. Ada sesuatu yang ia rasakan di dalam batinnya, suatu perasaan yang tidak sanggup dipahami oleh akal sehatnya.

Dinda menatap sosok itu dengan segala perasaan yang membuat dadanya nyeri dan sesak, membuatnya begitu ingin memeluk Ratmi agar mampu mengartikan perasaan apa yang sesungguhnya sedang ia rasakan.

Baru saja dia berniat melakukannya, Mbok Marni sudah mendekap tubuhnya dengan erat, membelai rambutnya dan menutup mata Dinda dengan telapak tangannya.

Sedu sedan tangis Dinda tak terbendung lagi. Perasaan sakit yang menusuk batin dan membuat dadanya sesak tak sanggup ia maknai sendiri.

“Nduk, sadar” pinta Mbok Marni yang masih mendekapnya erat.

“Sakit, Mbok. Sakit” Dinda meracau memegangi dadanya.

“Istighfar. Istighfar, Nduk,” Mbok Marni berusaha menenangkan cucunya

“Ratmi, Mbok" jawab Dinda terisak

“Ratmi kenapa?” tanya Mbok Marni, yang tahu bahwa Dinda sedang dalam pengaruh makhluk gaib itu. Sudah sejak jauh hari suaminya memberitahu jika kapan dan di mana pun, Dinda bisa saja berinteraksi dengan 'mereka'.

“Ratmi korban dari keluarga ini, dia menjadi salah satu tumbal yang dipersembahkan untuk Sengkolo” jawab Dinda tergagap.

Mbok Marni tersentak, selama ini ia sendiri tak mengetahui tentang itu. “Bagaimana kamu bisa tahu nduk?” tanya Mbok Marni penasaran.

Dinda tidak menjawab, ia terus menggelengkan kepala berusaha menepis setiap perasaan yang menyerang batin dan pikirannya secara tiba-tiba. Seolah-olah Ratmi mengajaknya berkomunikasi melalui batin dan berbagi perasaan serta kejadian yang dialaminya kepada Dinda.

“Ap..Apakah hidup Dinda akan berakhir seperti Ratmi?” ujar Dinda dengan tatapan kosong.

Dia tidak menyangka jika keluarga kakeknya sudah bertindak sejauh itu. Awalnya Dinda berpikir jika tumbal yang diserahkan hanya berasal dari garis keturunan Sukmaadji, ternyata tidak.

“Nduk, ingat, masih ada Tuhan, kita selesaikan segala sesuatu di dunia ini dengan campur tangan-Nya” tegas Mbok Marni menguatkan Dinda.

Dinda masih termenung, tatapannya kosong, kepanikan menghampiri Mbok Marni. Dia terus menggerakkan tubuh Dinda, bibirnya tak henti melafalkan dzikir dan doa, hingga cucunya itu tersentak kemudian memeluknya sangat erat.

Dinda kembali melirik ke sudut ruangan, tempat di mana Ratmi meringkuk, namun sosoknya telah menghilang tanpa jejak.

“Sudah, lebih baik sekarang kita istirahat dulu. Semoga esok pagi Kakekmu sudah kembali dengan membawa kabar baik” ujar Mbok Marni yang sedang membantu Dinda berdiri.

Sebenarnya Mbok Marni pun merasa cemas dan ketakutan tetapi dengan kondisi saat ini, dia harus tetap bersikap tenang.

*****

Sudah beberapa jam Dinda berbaring, Mbok Marni yang berada di sisinya sudah terlelap.

Ingin sekali Dinda melakukan apa yang diminta oleh Mbok Marni untuk segera beristirahat, tapi pikirannnya seolah tak bisa diajak kompromi, matanya tetap terjaga, menatap langit-langit kamar.

Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 malam, suasana rumah itu sungguh sunyi. Bahkan suara serangga yang biasa terdengar pun ikut membisu.

“Bagaimana jika Pak Kusno kembali tanpa mendapat jawaban?” tanya Dinda pada dirinya sendiri, banyak pertanyaan berputar di dalam kepalanya. Memikirkan nasibnya yang sungguh berada di luar kendalinya itu membuat kepalanya pening.

 Sementara itu di ruangan yang lain...

Hamdan tengah berbaring, lengannya masih terasa nyeri. Sesekali dia menyentuh bekas sayatan yang ditorehkan Ahmad.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Mad?” kata Hamdan menerawang. Dia masih belum mampu mencerna, bagaimana mungkin ada makhluk gaib yang bisa menguasai fisik manusia seperti itu.

Pikiran Hamdan terus beradu, untuk saat ini tidak mungkin dia meninggalkan dua perempuan itu di rumah ini. Dia sudah berhutang budi pada keluarga Sukmaadji, jika terjadi sesuatu dengan mereka, sama saja dia mengkhianati keluarga ini.

Kemudian Hamdan bangkit, mengambil ponselnya dan segera mengetik pesan singkat untuk dikirim ke seseorang di seberang sana, berharap jika terjadi sesuatu dengannya masih ada orang yang bisa ia harapkan untuk menolong mereka semua di sini.

Hamdan terdiam, seketika tubuhnya kaku, ia menajamkan pendengarannya, “Wayangan?” ucap Hamdan keheranan.

Dia melangkah mendekati pintu, ia dekatkan telinganya ke daun pintu, sayup-sayup terdengar suara dalang yang sedang memainkan wayang.

“Apakah suara ini yang dimaksud oleh Dinda?” kata Hamdan bertanya-tanya.

Hamdan ragu, apakah dia harus membuktikan sendiri semua ucapan dari anak sahabatnya itu atau tidak. Baginya semua ini sama sekali tidak masuk di akal.

Hamdan memejam, napasnya memburu, dia bulatkan tekadnya untuk mencari tahu secara langsung, apa yang sebenarnya terjadi pada Ahmad sore tadi, mungkin memang sama sekali tak ada kaitannya dengan hal gaib.

Dia menelisik seluruh sudut kamar, berusaha menemukan benda yang bisa digunakan sebagai pelindung diri, jika tiba-tiba Ahmad mengamuk lagi.

Ternyata nihil, Hamdan tak menemukan satu pun yang dicari, terpaksa ia harus beranjak dengan tangan kosong.

Pintu kamar ia buka perlahan, suasana begitu sunyi, bahkan suara serangga malam pun tak terdengar.

Hamdan berjingkat, memperlambat langkahnya menuju ke sumber suara, rasa penasaran betul-betul menghantuinya.

Ketika Hamdan ada di ruang keluarga, tiba-tiba “Arep menyang ngendi?” (Mau kemana?) terdengar suara tanya dalam kegelapan.

Seketika langkahnya terhenti, kepalanya menoleh, di ujung lorong yang mengarah ke kamar Sukmaadji, terlihat siluet seseorang sedang berdiri menyandar pada dinding.

Bayangan itu mulai bergerak, mendekati Hamdan yang masih mematung di tengah ruang keluarga.

“M—mad?” panggil Hamdan, tak ada sahutan, laki-laki itu terus melangkah ke arahnya.

Hamdan masih terpaku, terhipnotis pada sosok Ahmad, hingga saat cahaya dari arah luar menerpa tubuh temannya itu, ia tersentak dan mundur beberapa langkah.

Hamdan menyadari kalau Ahmad tengah menggenggam sesuatu yang berkilat di tangannya. “Wis tak omongi rasah nyampuri urusan iki nanging isih ra manut. Apa sing mbok goleki?” (Sudah ku beritahu untuk tidak ikut campur urusan ini tapi masih tidak patuh! Apa yang sedang kau cari?) bentak sosok yang ada di tubuh Ahmad kesal.

“Sapa kowe?” (Siapa kamu?) tanya Hamdan.

Ahmad berhenti melangkah, bibirnya menyeringai seram. “Matur nuwun wis nggawa bocah wadon iku mulih menyang panggonan iki” (Terima kasih telah membawa anak perempuan itu pulang ke tempat ini), sahut Ahmad penuh kemenangan.

Lihat selengkapnya