Lembah Pati
-PART 9-
Sama halnya seperti malam kemarin, Dinda dan Mbok Marni terjaga. Baru setelah azan subuh berkumandang mereka bergegas keluar kamar untuk mengambil keperluan yang akan dipakai olehnya.
“Mbok pelan-pelan” ucap Dinda lirih saat menggeser meja yang menghalangi pintu.
“Sebenarnya Din, dari semalam Simbok mau tanya sama kamu” kata Mbok Marni.
“Kenapa Mbok?” tanya Dinda
“Bukannya kalau dedemit itu bisa nembus dinding ya? Kenapa mesti kita tutupi pintu dan jendela kamar dengan meja dan almari?” tanya Mbok Marni kebingungan.
Dinda menghela napas. “Kalau Sengkolo merasuki Ayah, apa dia bisa menembus dinding mbok? Lebih baik berjaga-jaga, dari pada ada yang terluka lagi” jelas Dinda
Mbok Marni menganggukkan kepala, dia baru menyadari kalau ucapan Dinda ada benarnya. Lantas dia kembali membantu cucunya untuk menggeser meja.
“Pelan-pelan Mbok, jangan sampai Ayah tahu kalau Simbok mau pergi” ucap Dinda memperingatkan, sambil membuka pintu kamarnya.
Dinda melongokkan kepalanya keluar kamar. suasana di ruang keluarga masih sama seperti semalam, banyak barang yang berserakan di lantai. Bahkan, Dinda melihat ada noda darah yang mengering pada serpihan porselen.
Dirasa aman, Dinda meminta Mbok Marni untuk mengikutinya. Mereka berjalan dengan berjingkat, takut keberadaannya di ketahui oleh Ahmad.
“Terus Din” kata Mbok Marni, saat Dinda berhenti dan memperhatikan dapur yang berantakan.
Dinda mengangguk, dia langsung membuka pintu kaca yang menghubungkan dapur dengan taman belakang.
Segera mereka berlari ke arah paviliun, sesampainya disana Dinda sedikit panik. Kepalanya tak henti menoleh ke arah Mbok Marni dan ke pintu dapur rumahnya.
“Mbok, cepetan” ucap Dinda panik, saat melihat Mbok Marni kesulitan untuk membuka pintu.
“Sebentar” senggalnya.
Butuh beberapa waktu bagi Mbok Marni untuk bisa membuka pintu tua itu. “Nah, ayo Din” ucapnya yang langsung masuk ke dalam kamar.
Dinda yang belum pernah masuk ke ruangan ini segera mengedarkan pandangan. Semua tampak bersih dan wangi. Meski tidak terlalu besar, namun sepertinya Mbok Marni dan Pak Kusno merawat tempat istirahat mereka dengan baik.
“Ini Ibu Mbok?” tanya Dinda, saat mendapati foto wanita muda tengah tersenyum ke arah kamera.
Perempuan itu mirip sekali dengan Dinda. Rambutnya yang panjang bergelombang, bibirnya yang tipis, serta warna kulit kecokelatan. Mungkin jika disejajarkan tingginya pun tidak jauh berbeda.
“Iya, itu Ajeng sebelum menikah dengan Ahmad” ucap Mbok Marni dari arah almari pakaian.
“Din” panggil Mbok Marni
Dinda menoleh, dilihatnya Mbok Marni sudah duduk di pinggiran ranjang. “Kenapa Mbok?” tanya Dinda.
Beberapa saat Mbok Marni diam, menatap Dinda lekat-lekat. Kemudian dia bergerak dan memeluk cucunya dengan erat, tangis wanita itu pecah.
“Maaf nduk, maaf” ucap Mbok Marni berulang kali. Merasa bersalah karena dirinya tidak mampu menjaga Dinda dengan baik.
“Mbok, dengarkan Dinda!!! Makhluk itu tidak akan melukai Dinda. Justru, kalau Simbok tidak pergi, dia yang akan melukai Simbok” kata Dinda, menatap mata manik-manik milik Mbok Marni.
Mbok Marni sesenggukan, kepalanya terus mengangguk. Butuh beberapa waktu bagi Dinda untuk menyakinkan Neneknya itu. Hingga saat sudah tenang, Mbok Marni beranjak menuju ke arah almarinya.
“Ambil ini” ucap Mbok Marni, sambil menyerahkan kotak kayu seukuran telapak tangan.
“Apa ini Mbok?” tanya Dinda,
“Bukalah” jawabnya.
Dinda menerima kotak itu, bentuknya unik dengan banyak ukiran di sisinya. “Ajeng?” ucap Dinda saat melihat nama yang tertoreh di samping penutup kotak.
“Itu milik ibumu, sekarang jadi milikmu. Dahulu Ajeng menitipkan kepada Simbok sebelum dia meninggal” ucap Mbok Marni dengan suara bergetar.
Dinda membuka kotak kayu itu, di dalamnya ada dua benda. “Kalung dan pisau lipat?” tanya Dinda keheranan.
“Kalung itu milik ibumu sedang pisau itu milik Kakekmu” ucap Mbok Marni.
Dinda memperhatikan kalung milik Ibunya, begitu cantik dengan bandul besi yang unik. Setelah puas memandangi kalung itu, dia langsung memakainya. Kemudian, mengambil pisau lipat milik Kakeknya.
Diangkatnya pisau itu setinggi mata, bentuknya unik. Di bagian pegangannya juga banyak ukiran, lalu saat Dinda mencoba membuka lipatannya, mata pisau itu juga terlihat tajam.
“Gunakan jika dalam keadaan terdesak, bawa kemana pun kamu pergi, nduk” ucap Mbok Marni.
Dinda mengangguk, lantas dia mengantongi pisau tersebut. “Simbok hati-hati, sampaikan salam Dinda untuk Kakek”
Sekali lagi Mbok Marni memeluk Dinda, “Kamu yang harus menjaga diri, hiduplah sampai kami pulang” kata Mbok Marni.
“Sudah Mbok, matahari sudah hampir muncul. Sebaiknya Simbok pergi sekarang” pinta Dinda yang langsung melangkah menuju pintu.
“Simbok berangkat” ucapnya dan langsung melangkah cepat meninggalkan rumah.
Dinda berdiri termenung ditempatnya, melihat punggung Mbok Marni yang keluar dari pekarangan rumah. Terbesit ingin mengikuti wanita itu, namun Dinda tahu kemana pun dia pergi, Sengkolo bisa dengan mudah menemukannya.
Selepas beberapa saat, ia kembali berjalan ke arah rumah. Ketika melewati kebun mawar yang selama ini di rawat oleh Pak Kusno, Dinda kembali terhenti. Dilihatnya lekat-lekat taman itu.
“Kenapa layu semua?” ucap Dinda lirih, saat mendapati semua tanaman mawar yang ada di sana sudah mati.
Pikiran Dinda tersapu angin. Hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak, ia teringat dengan Pak Kusno. Apakah Kakeknya itu sudah tahu bagaimana cara membakar Sengkolo?
Tersadar dari lamunan, Dinda segera beranjak. Niatannya tadi ingin mencari keberadaan Pak Hamdan, semoga laki-laki itu baik-baik saja. Ia mempercepat langkahnya, saat sudah berada di dalam rumah, Dinda langsung mengecek satu persatu kamar, terkecuali kamar milik Ahmad dan Sukmaadji.
Dia yakin kalau Pak Hamdan tidak akan berada di kamar itu, toh terlalu berisiko bagi Dinda jika dia nekat bertemu Ahmad sepagi ini.
Hingga saat Dinda membuka salah satu kamar tamu, tubuhnya terhenti. Dia melihat Ayahnya sedang tertidur di samping Pak Hamdan dengan posisi terduduk.
Perlahan ia masuk ke dalam kamar, langkahnya ia pelankan, sebisa mungkin tidak membuat suara. Tujuannya hanya satu, memastikan kalau Pak Hamdan baik-baik saja. Setelah itu, dia akan kembali ke kamar dan menunggu sampai matahari benar-benar muncul dari pembaringan.
Saat sudah sampai di pinggiran ranjang, Dinda melihat kalau Pak Hamdan sudah diobati. Disamping tempat tidurnya juga ada beberapa peralatan medis.
Ada kelegaan yang timbul di hati Dinda, setidaknya laki-laki itu masih hidup. Setelah memastikan semua baik-baik saja, dia berniat untuk kembali ke kamar. Namun, saat hampir mencapai pintu...
“Din” panggil Ahmad dari arah belakang Dinda.
Dinda menoleh, jantungnya berdebar, tidak berani menatap mata Ayahnya. Sejujurnya dia belum siap untuk berinteraksi dengan Ahmad, jika perkataan Sengkolo benar, maka yang Dinda lihat saat ini hanya mayat hidup yang sedang di kendalikan oleh iblis.
“Kamu kenapa, nduk?” tanya Ahmad bangkit dari kursi.
Dinda terkesiap, dia memundurkan tubuhnya beberapa langkah ke belakang. “Nduk, sebenarnya ada apa? Kenapa rumah berantakan?” tanya Ahmad penasaran.
Dinda menggeleng, “Lungo” (Pergi).
Ahmad kebingungan, dia tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi. Saat terbangun, rumah sudah kacau balau dengan banyak barang yang berserakan di lantai. Awalnya dia mengira ada perampok, karena mendapati Dinda dan Mbok Marni memblokade kamar.
Bahkan saat dia memeriksa ruangan lain, justru malah menemukan Hamdan yang terkapar dengan banyak luka di tubuhnya.
Ahmad terus melangkah mendekati Dinda, berharap anaknya mau memberikan penjelasan. Namun, justru Dinda terlihat ketakutan dan terus melangkah mundur.
Merasa jengkel dengan perilaku anaknya yang aneh, Ahmad menarik lengan Dinda dan langsung memeluknya dengan erat.
Kaget dengan perlakuan Ahmad, Dinda memberontak dengan hebat, “Opo pengenmu, ora sudi aku dadi bojomu” (Apa maumu, tidak sudi aku jadi istrimu) jerit Dinda.
“Nduk, sadar, sadar” ucap Ahmad semakin mengeratkan pelukannya.
Dinda terisak, dia benar-benar ketakutan dengan manusia yang ada di depannya. Dia tidak bisa membedakan mana Ahmad yang asli, dan mana yang dirasuki Sengkolo.
“Nduk, kamu kenapa? ini Ayah” ucap Ahmad sambil menangkupkan kedua tangannya ke pipi Dinda.
Dinda terus membertontak, bahkan tenaganya jauh lebih kuat. Ahmad yang kebingungan dengan kelakuan anaknya mulai tidak bisa mengendalikan emosi.
“Nduk, ada apa” teriak Ahmad kencang.
Seketika Dinda berhenti, matanya menatap Ahmad lekat-lekat. “Benar ini Ayah?” tanya Dinda memastikan.
“Apa maksudmu? Tolong, jangan buat Ayah bingung” jawab Ahmad.
Dinda tidak menjawab pertanyaan Ahmad, di kepalanya masih banyak hal yang ingin ia ketahui, kejadian semalam membuatnya sadar kalau Sengkolo memiliki tipu daya yang mematikan.
“Sejak kapan Ayah bisa berjalan?” tanya Dinda.
“Ayah sendiri juga tidak tahu, semalam saat terbangun tiba-tiba saja kaki Ayah sudah bisa digerakan” ucap Ahmad.
Dinda tidak langsung percaya dengan ucapan Ayahnya. “Buktikan kalau ini Ayah” ucap Dinda mengeluarkan pisau lipatnya dan mengacungkan kepada Ahmad.
Ahmad mengerjap, mundur beberapa langkah menjauhi Dinda. “Apa yang kamu lakukan, nduk?” tanya Ahmad kaget.
Lama mereka berdua beradu pandang. “Tolong, jelaskan apa yang sudah terjadi” pinta Ahmad.
Dinda masih menodongkan pisaunya ke arah Ahmad, dia punya alasan untuk tidak mempercayai siapapun saat ini.
“Beberapa malam ini Ayah dirasuki oleh Sengkolo. Ayah mengamuk, membuat rumah berantakan, Ayah yang membuat Pak Hamdan jadi seperti itu” kata Dinda parau, sambil menunjuk ke arah Hamdan.
Ahmad menggeleng, dia tidak mengerti. Ingatan terakhir yang dia ingat saat mereka berempat masih berada di taman belakang ketika memanggil Ratmi.
“Apa yang sudah Ayah lakukan dengan Pak Hamdan?” tanya Dinda lantang.
“Maksudmu?” kata Ahmad kebingungan.
“Kenapa Ratmi tidak menjaga Ayah lagi? Apa yang sudah Ayah lakukan bersama Hamdan?” tanya Dinda sekali lagi. Dia sudah tidak tahan untuk menyembunyikan ini semua dari Ahmad.
Ahmad termenung, tatapannya menjadi sendu. “Nduk, Ayah tidak tahu kalau dedemit wanita itu ternyata menjaga Ayah” ratap Ahmad.
“Sekarang sudah tahu kan? Kenapa Sengkolo bisa merasuki Ayah? Karena kebodohan Ayah sendiri dan orang itu” ucap Dinda dengan suara meninggi.
“Jadi karena itu semalam kamu dan Mbok Marni mengurung diri di kamar?” tanya Ahmad
Dinda mengangguk, matanya terus menatap Ahmad. Dia tidak tahu, sampai kapan Sengkolo membiarkan Ayahnya bisa bergerak bebas.
“Mbok Marni kemana?” tanya Ahmad setelah lama diam.
Dinda menggeleng, “Ayah tidak perlu tahu dimana Mbok Marni. Lebih baik sekarang Ayah ke kamar, biar Dinda yang merawat Pak Hamdan. Jangan sampai melukai orang lain lagi” kata Dinda