Lebur Sukma

Netrakala
Chapter #10

Kekacauan

KEKACAUAN

-PART 10-


Pak Kusno segera berdiri, kepanikan hinggap di batinnya. Magrib sebentar lagi datang, tetapi dia masih belum menemukan gua yang di maksud.

           “Bajingan kau Sukmaadji” umpat Pak Kusno, sambil membuang puntung rokok yang dipeganginya ke tanah, lalu menginjaknya dengan kasar. Rasa marah pada Sukmaadji tiba-tiba saja muncul di hatinya. Jika saja keluarga itu tidak melakukan ritual sesat pasti semua ini tidak terjadi. 

           “Apa yang harus kulakukan?” geram Pak Kusno sambil mengusap wajahnya. Dia tidak peduli dengan nyawanya, tapi bagaimana dengan Dinda? Tidak mungkin dia menyerahkan darah dagingnya sendiri kepada dedemit yang derajatnya tak lebih tinggi dari manusia.

           Khi...khi...khi...

           Terdengar suara cekikikan, seolah sedang menertawakan kemarahan Pak Kusno. Mendengar itu, ia menoleh ke arah sumber suara. Amarahnya kembali bangkit, diambilnya kerikil yang ada di bawah kakinya, kemudian dia lempar ke semak-semak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

           “Metuu” (Keluar) ucapnya keras.

           Namun, tidak ada yang keluar, bahkan suara erangan pun tidak ada. Cukup lama Pak Kusno memandangi semak-semak itu, merasa dedemit yang mengganggunya sudah pergi. Dia memutuskan untuk kembali berjalan.

           Kali ini di setiap langkahnya ia selingi dengan zikir, berharap tidak ada gangguan yang menghambat perjalanannya lagi.

“Kus...” ucap suara tepat di belakangnya.

           Pak Kusno tidak menggubris, dia tetap berjalan ke arah depan. “Kusno” sekali suara itu memanggil namanya.

           “Kusno” untuk ketiga kalinya suara itu muncul, jauh lebih keras dari pada sebelumnya. Merasa di permainkan, Pak Kusno menolehkan kepalanya kebelakang, berniat melempar apapun ke arah dedemit yang mengganggunya.

           Namun sekali lagi, dia tidak mendapati seorangpun disana. Justru setelah itu, muncul suara-suara lain yang berdengung kencang di telinga laki-laki tua itu.

           Kepala Pak Kusno mulai terasa pusing. Semua suara itu bercampur menjadi satu. Ada yang mengarahkannya ke arah selatan, utara, barat dan timur. Bahkan ada juga yang terus memanggil namanya dan meminta untuk pulang.

           Pak Kusno menutup mata. Tangannya ia taruh di kedua telinga, berhadap bisa mengurangi suara-suara yang membingungkan itu.

           “Tetegke niatan mu, Kus” (Luruskan niatmu, Kus). Seketika Pak Kusno membuka mata, dia mengenali suara itu.

           “Adji?” ucap Kusno lirih, pandangannya menoleh ke segala arah, mencari sosok Sukmaadji. Akan tetapi keadaan masih tetap sama, tidak ada siapa pun disana, kecuali dirinya dan rimbunan pohon.  

           Pak Kusno menghela nafas, dia benar-benar sedang dipermainkan oleh penghuni alas ini. Belum sempat dia berpikir lebih jauh, muncul suara lain tepat di sisi kanannya.

Sreeeekkk...duk...duk...duk

 

 

Terdengar suara langkah kaki yang sedang menginjak ranting dan dedaunan. Pak Kusno geram sekali, dia sama sekali tidak takut dengan dedemit penunggu alas ini.  

           “Metu” (Keluar) teriak Pak Kusno, suaranya bergaung ke segela arah. Namun, tetap saja tidak ada satu pun dari mereka yang keluar. Lama Pak Kusno menggu, hingga...

           “Mbah...” terdengar suara tepat di samping Pak Kusno. Dia terlonjak hebat, sampai-sampai tubuhnya jatuh di atas tanah.

           “Khi...khii...khii...” tawa sosok itu, saat melihat Pak Kusno terjengkang.

“Kampret” umpat Pak Kusno memegangi dadanya yang terasa ngilu.

           “Mbah, ayo dolanan” (Mbah, ayo main) ucap sosok itu dengan senyum mengerikan.

           Pak Kusno menelan ludah, tepat di depannya ada sosok anak laki-laki. Kondisinya sungguh memprihatinkan, pakaiannya compang camping berwarna kecokelatan seperti memiliki noda kusam tepat di tengah dadanya. Kulit bocah itu sepucat mayat, matanya sendu, dari lubang hidung dan telinganya keluar darah segar.

           Sepersekitan detik, Pak Kusno diam, terhipnotis dengan sosok yang dia lihat. “Wes meh magrib, muleh kono, digolek i simbok mu engko” (Sudah mau magrib, pulang sana. Dicariin simbok mu nanti) kata Pak Kusno mencoba mengusir dedemit yang ada didepannya.

           Bukan malah pergi, anak laki-laki itu justru tersenyum, membuat bulu kuduk Pak Kusno berdiri kuat. Bibir bocah itu tertarik hingga di ujung pipi, kemudian dalam sekejap senyum itu menghilang.

           “Simbah arep nengdi, aku melu Simbah yo” (Simbah mau kemana? aku ikut Simbah ya) ucap bocah itu sambil melompat lompat.

           “Lembah Pati” ucap Pak Kusno singkat,

           Seketika wajah bocah itu menjadi ketakutan, “Hiii... Akeh dedemit, medeni... Hiiii medeni” (hiii... Banyak dedemit, menakutkan... Hiii menakutkan) ucap bocah itu sambil geleng-geleng kepala.

           Pak Kusno tidak menggubris. Setelah tenang, dia kembali beranjak, berniat meneruskan perjalanan.  Beberapa kali dia menemukan percabangan jalan, “Sial” ucap Pak Kusno panik, karena waktu yang sudah semakin mepet.

           “Ora mrono... dalan e sisih kiwo” (Tidak kesitu... jalannya di sisi kiri) ucap suara anak kecil tepat di belakangnya.

           Pak Kusno kembali menoleh, ternyata sedari tadi bocah itu terus mengikutinya. Namun, karena suara langkahnya tidak menimbulkan suara, jadi Pak Kusno tidak mengetahui hal tersebut.

Tidak menanggapi arahan bocah itu, justru Pak Kusno memilih arah kanan. Dia berfikir bawah dedemit itu sedang mengelabuhinya.  

           Semakin lama berjalan masuk ke dalam, semak-semak kian rimbun. Bahkan dia hampir kesulitan berjalan menembusnya.

           “Dikandani ngeyel Mbah. Khi...khi..khi...” (Dikasih tau ngeyel Mbah. Khi...khi...khiii) ucap sosok anak laki-laki dari arah pohon tidak jauh dari tempat Pak Kusno berdiri.

           “Opo to pengenmu?” (apa maumu?) tanya Pak Kusno yang sudah mulai jengah, sambil melihat ke arah sosok bocah yang mengintip malu-malu dari balik batang pohon.

           Tidak menjawab, bocah itu menggelengkan kepalanya dan tertawa cekikian. Kemudian dia menunjuk ke arah berlawanan dengan jalan yang di tuju oleh Pak Kusno.

           Sejenak, Pak Kusno melihat ke depan kemudian ke arah yang di tunjuk oleh dedemit itu. Memang benar, semak di depannya semakin rimbun, tidak mungkin dia bisa melewati jalan itu.

           Memantapkan hati, Pak Kusno melangkah mengikuti arah yang dituju oleh anak laki-laki itu. Jika memang itu tipu muslihat, dia sudah pasrah sepenuhnya kepada Tuhan.

           10 menit berjalan, Pak Kusno masih melalui semak-semak yang rimbun. “Yah, setidaknya ada yang menemaniku” batin Pak Kusno saat menyadari kalau demit bocah itu masih mengikutinya.  

           “Dedemit e diobong, bocahe slamet, dedemit e diobong bocahe slamet. Khi...khi..khi” (dedemitnya dibakar, anaknya selamat, dedemitnya dibakar, anaknya selamat. Khi...khi...khi) ucap bocah itu berulang.

           

 

Pak Kusno mencoba mendengar apa yang di ucapakan bocah itu. Saat sudah mendengar dengan jelas dia semakin mempercepat langkahnya, ia tahu maksud dari kalimat yang diucapkan oleh dedemit itu.

           Tepat saat dia keluar dari rimbunan semak, hatinya terlonjak bahagia. Beberapa puluh meter di depannya dia melihat pohon bambu kembar.

           “Lee, kae panggonan e?” (Nak, itu tempatnya?) tanya Pak Kusno kepada sosok bocah itu.

           Si Bocah mengangguk, namun expresinya terlihat ketakutan. Perasaan Pak Kusno mengatakan ada sesuatu yang berbahaya di depan sana.

           “Ulo gede, heeeessssss” (Ular besar, heeeeesss) ucap bocah itu sambil mendesis-desiskan lidahnya yang penuh dengan darah.

           “Yowes, muleh kono. Suwun wes ngancani” (Yawes, pulang sana. Terima kasih sudah menemani) ucap Pak Kusno.

           Namun, alangkah kagetnya dia. Tiba-tiba saja bocah itu bergerak dan memeluk kakinya. Seketika Pak Kusno merasakan ada sensasi dingin yang menempel di area tubuh bawahnya.

           Setelah beberapa saat demit itu melepaskan pelukannya dan mundur satu langkah. Kemudian tangannya terangkat, melambai-lambai meminta Pak Kusno untuk membungkuk,

“Aku ra iso muleh” (aku tidak bisa pulang) ucap bocah itu lirih tepat di telinga Pak Kusno.

           Tanpa tahu apa yang terjadi, seketika pandangannya mengabur. Rasa mual yang hebat muncul di dasar perutnya. Saking tidak tahan dengan rasa sakit yang timbul, Pak Kusno sampai harus menutup mata dan menggelengkan kepala.

           Lambat laun rasa mual mulai menghilang. Perlahan Pak Kusno membuka matanya. Namun, betapa terkejudnya dia, saat ini dirinya tengah berdiri di pintu masuk sebuah gua.

           Di arahkan pandangannya ke segala sisi, mencoba memastikan kalau tempat ini adalah gua yang dia cari. Benar saya, tepat beberapa meter di depannya Pak Kusno melihat ada sebuah batu besar berbentuk memanjang.

           Pak Kusno melangkah mendekat, gua ini dulu yang pernah dia sambangi dengan Sukmaadji. Dia masih ingat dengan batu memanjang itu, seolah seperti sebuah altar pemujaan.

           Gua itu tidak terlalu luas, mungkin ukurannya hanya 5x7 meter. Suasana di tempat itu sangat lembab, bau amis dan kotoran kelelawar bercampur menjadi satu.

           Pak Kusno berjalan lebih mendekat lagi, saat melihat di atas batu tubuhnya sedikit menegang. Ada sesajen di sana, seketika kepalanya menoleh kesegala arah, mencari manusia yang mungkin ada di tempat itu.

           

Karena tidak mendapati siapapun, kembali Pak Kusno mendekati sesajen. Badannya ia bungkukkan dan mengamati. Ada bunga-bunga di atas tampah, dupa, kemenyan, kopi hitam, cawan berisi cairan hitam kental, serta kepala kerbau. Hati Pak Kusno mencelos, dia tahu fungsi dari sesajen itu.

           Ketika Pak Kusno akan mencari tahu lebih banyak, terdengar suara percakapan dari arah luar. Sontak dia memalingkan kepala.

Takut jika orang itu mengetahui keberadaannya, ia segera bersembunyi di bagian sisi gua yang gelap.

           Setelah beberapa saat, Pak Kusno melihat ada beberapa orang masuk ke dalam. Seorang pria dan wanita menggandeng satu orang anak kecil.

Mata Pak Kusno membulat, jantungnya berdebar kencang. “Tidak mungkin” ucap Pak Kusno sambil mencubit pipinya. Namun, tidak ada rasa sakit yang muncul. Kesadaran merasuki batinnya, saat ini dia sedang tidak berada di dimensi manusia.

Hati Pak Kusno mulai diliputi rasa penasaran, memperhatikan orang-orang itu dalam diam. Sepintas ia melihat anak kecil itu enggan untuk masuk ke dalam gua. Namun, sepertinya kedua orang dewasa itu bisa membujuknya, karena beberapa saat kemudian mereka masuk bersamaan.

           Pak Kusno masih memperhatikan, mereka terus berjalan sampai ke depan batu. Entah apa yang di janjikan, bocah itu hanya menurut dengan semua yang diperintahkan oleh kedua orang dewasa itu.

           “Diuculi disik ya Le, klambine” (Dilepas dulu ya Nak, bajunya) ucap si Ibu. Bocah itu hanya mengangguk, tatapannya kosong, tidak melihat kearah orang tuanya. Tanpa banyak bertanya, satu persatu pakaian yang dia pakai dilepaskan dibantu oleh si Ibu. Sedangkan Ayahnya membereskan sesajen dan ditaruhnya di depan batu memanjang.

           

“Sak iki, terturon neng duwur kene ya. Le. Ora sue, muk sedelet terus awak dewe muleh” (Sekarang, tiduran di atas sini ya, Nak. Tidak lama, cuma sebentar terus kita pulang) ucap si Ibu sambil menepuk-nepuk batu di depannya.

           Bocah itu mengangguk, naik ke atas batu dan mulai merebahkan dirinya. Pak Kusno yang mengetahui niatan dua orang dewasa itu merasa geram. Ingin sekali memukuli orang-orang itu, tangannya terkepal kuat, amarahnya tertahan di dalam hati.

           Kemudian setelah si bocah terlentang di atas batu, kedua orang itu duduk dihadapannya. Si laki-laki mulai menghidupkan kemenyan dan dupa, sedang si wanita bersimpuh dengan kepala menunduk ke bawah.

           Kretak kretak kretak... terdengar bunyi aneh dari sisi gua lainnya. Sontak Pak Kusno memalingkan kepalanya ke arah sumber suara. Reflek ia memundurkan langkahnya, mencoba lebih menyembunyikan diri.

           Benar saja, beberapa saat kemudian dia melihat dengan jelas, ada mahkluk bungkuk, dengan kepala hampir botak yang menyisakan beberapa helai rambut. Kulitnya pucat kehijauan, dengan taring yang mencuat dari bibirnya.

           “Sengkolo?” ucap Pak Kusno lirih.

           Sosok itu terus berjalan pelan, menuju kearah anak yang tertidur di atas batu. Sedang si laki-laki dan perempuan dewasa itu masih terus bersimpuh di depannya.

           Ingin rasanya Pak Kusno meneriakkan peringatan, mencoba menghalangi apa yang akan dilakukan oleh mereka. Namun, seolah suaranya tertahan di tenggorokan. Tidak ada yang bisa di lakukan oleh laki-laki tua itu.

Lihat selengkapnya