Lebur Sukma

Netrakala
Chapter #11

Bertahan

Bertahan

-PART 11-


           Sementara itu di Kediaman Sukmaadji...

           Setelah Dinda berdiri, dia merasakan ada yang sedang memperhatikannya. Ditengok ke sekitar, namun ia takmendapati siapa pun.

           Dinda kembali melangkah, mencoba menghiraukan perasaannya. Hingga saat menoleh ke arah kamar Ahmad, dia melihat laki-laki itu tengah berdiri memperhatikannya dari balik jendela.

           Awalnya Dinda mengira kalau Ahmad sedang membutuhkan sesuatu. Namun, ketika berada di jarak yang sudah dekat, ia menyadari ada yang aneh, sorot mata Ayahnya terlihat begitu tajam dan tidak manusiawi.  

           Dinda berhenti. Dia menatap Ahmad lekat-lekat, khawatir jika orang yang ia pandangi saat ini tengah di kendalikan oleh dedemit itu. Cukup lama mereka saling pandang. Hingga, tiba-tiba saja Ahmad tersenyum menyeringai dan melangkah menjauh dari jendela. Reflex Dinda menyentuh kantung celananya, memastikan kalau pisau lipat dari Mbok Marni masih berada di sana.

           Dinda menunggu, kalau-kalau Ahmad keluar rumah dan menyambanginya. Namun setelah beberapa saat, laki-laki itu takkunjung menampakkan batang hidungnya.

           Seketika ada yang jatuh di dasar perut Dinda, kecurigaannya timbul sejalan dengan embusan angin yang cukup kuat. Buru-buru dia melangkah, setengah berlari menujuk ke arah dapur.

           “Arrgg, ayoo lah” ucap Dinda panik, saat mencoba membuka pintu dapur yang sudah terkunci.

Dinda ingat kalau sewaktu keluar rumah sama sekali tidak mengunci pintu tersebut, lantas kenapa sekarang ada yang menguncinya. Sedangkan dia juga tidak melihat keberadaan Ahmad di sekitar dapur.

Merasa percuma, Dinda segera berjalan memutar. Saat melewati kamar Ahmad, kekhawatirannya makin menjadi. Dia melihat pintu kamar itu sudah terbuka lebar.

           “Sial” ucap Dinda panik, dan langsung mencoba membuka jendela kamar Ayahnya. Sekali lagi, usahanya sia-sia daun jendela tetap bergeming di tempatnya.

           Dinda kembali berlari menuju ke arah depan, melewati begitu saja jendela kamarnya. Percuma membukanya, masih ada lemari yang menghalangi dari dalam.

           Sesampainya di teras, Dinda segera menuju ke arah pintu depan. Berulang kali dia mencoba menaik turunkan hendel dengan keras. Namun, upayanya tidak berguna sama sekali, pintu itu tetap bergeming takmau terbuka.

“Yah... Ayah” panggil Dinda,

           Duk... dukk.. duukkk...

“Yahh... Ayah” panggil Dinda sambil terus mengetuk pintu dengan keras. Tetapi tidak ada sahutan dari Ahmad.

           Dinda sudah hampir menangis, dia berjalan lemas dan duduk di pinggiran teras. Batinnya benar-benar khawatir jika Ahmad kembali di rasuki oleh Sengkolo dan melukai Hamdan.

           Ceklek... Kreeeekkk...

Pintu terbuka, Dinda langsung menengok ke arah sumber suara. Tepat beberapa meter di depannya, Ahmad berdiri dengan sorot mata khawatir.

           “Kenapa teriak-teriak, nduk?” tanya Ahmad sambil mencoba mendekati Dinda.

           Namun, Dinda justru bergerak mundur dan menggelengkan kepala. Seolah melihat Ahmad sebagai sebuah ancaman.

           “Tolong, masuk ke kamar. Biar Dinda kunci dari luar. Nanti setelah Pak Kusno dan Mbok Marni sudah pulang, Dinda janji akan mengeluarkan Ayah dan menjelaskan semuanya” kata Dinda memohon.

           “T—tapi, nduk” protes Ahmad.

           Dinda tetap menggeleng, “Kalau Ayah yang tidak mau masuk ke dalam kamar biar Dinda bawa Pak Hamdan ke kamar Dinda” kata Dinda

           Ahmad diam, paham dengan maksud anaknya itu. Pikirannya beradu. Jika dia membiarkan Dinda merawat Hamdan di kamarnya, otomatis dia tidak akan bisa mengecek kondisi keduanya.

           Tetapi jika dia membiarkan Dinda berkeliaran sendirian, dia juga takut kalau sosok Sengkolo akan melukai anak perempuannya.

           Tanpa menjawab ucapan Dinda, Ahmad segera berbalik dan berjalan menuju ke arah kamarnya. Hatinya benar-benar merasa takkaruan. Amarahnya bangkit, ingin sekali dia bertemu dengan dedemit itu dan menghajarnya.

           Dinda menghela napas panjang, segera dia berdiri dan masuk ke dalam rumah. Taklupa menutup pintu depan, tanpa menguncinya.

           Ketika sudah sampai di depan kamar Hamdan, Dinda langsung menghambur ke dalam. “Haaah” erangnya lega, saat mendapati kondisi kamar itu tidak berubah sama sekali.

           Segera dia berjalan mendekat ke arah ranjang, di lihatnya dengan saksama kondisi Hamdan. Meski Dinda bukan seorang dokter, tetapi dia sudah terbiasa merawat orang sakit saat berada di Panti Asuhan sehingga tahu apa yang harus dilakukan.

           Setelah beberapa saat mengecek kondisi Hamdan. Dinda menemukan selembar kertas yang ditaruh di atas nakas.

           “Kondisi Stabil”

           Dinda membaca pesan itu, senyumnya merekah. Dia tahu tulisan itu milik Ahmad, setidaknya Ayahnya masih sedikit berguna.

           *****

           Malam kembali datang sedari sore hujan turun dengan lebat. Suara gemuruh guntur saling bersahutan, membuat suasana di kediaman Sukmaadji menjadi lebih mencekam daripada malam-malam sebelumnya.

           Saat ini Dinda tengah duduk meringkuk di atas kasurnya. Untuk pertama kali setelah semua kejadian di rumah Sukmaadji berlansung, dia akan melewati malam tanpa kehadiran Mbok Marni.

           Rasa cemas, khawatir, dan ketakutan bercampur menjadi satu. Dinda berharap, malam segera beranjak dan kedua orang yang dia nantikan muncul di hadapannya.

           Dukk...dukk...dukkk

           “Metuuu, metu nduk, opo koe ra karep ketemu karo aku?” (Keluar, keluar nduk, apa kamu tidak mau bertemu dengan ku?) terdengar suara Ahmad setengah teriak dari arah luar kamarnya.

           Dinda tidak menggubris, dia makin mengeratkan pelukan tangan di kakinya. Wajahnya ia benamkan di antara lutut dan dadanya.

           Isak tangis mulai terdengar lirih, dia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi. Seberapa pun dia mencoba untuk kuat, batinnya tetap merasa ketakutan.

           “Koe kuat nduk, ojo kalah karo dedemit kae” (Kamu kuat Nak, jangan kalah sama dedemit itu) terdengar ucapan lirih dari sudut ruangan.

           Dinda mendongak, dia mendapati Ratmi sedang berdiri di sudut ruangan. “Aku kudu pie?” (Aku harus bagaimana?) tanya Dinda, berharap sosok wanita itu akan menjawabnya.

           Entah kenapa saat ini Dinda merasa dekat dengan sosok itu, dia begitu penasaran bagaimana Ratmi bisa sampai datang ke tempat ini.

           Ratmi tidak menjawab, namun tangannya terangkat menunjuk ke arah cermin yang ada di kamar Dinda.

           “Cermin?” tanya Dinda kebingungan.

           Ratmi mengangguk, “Pecah no pengilon sek ana neng omah iki, kecuali sek neng kamar e Sukmaadji lan Ahmad” (Pecahkan semua cermin yang ada di rumah ini, kecuali yan ada di kamar Sukmaadji dan Ahmad) ucap Ratmi lirih.

           Dukk...dukk...dukkk

           Suara benturan dari arah pintu terdengar makin keras. Sengkolo yang merasuki Ahmad terus saja meneriakkan namanya dan meminta untuk membuka pintu.

           “PERCUMA NDUK, RASAH NURUTI DEDEMIT WEDOK KUI” (Percuma Nduk, jangan turuti dedemit perempuan itu) teriak Ahmad yang sedang dirasuki oleh Sengkolo.

Dinda diam, menatap ke arah Ratmi dan pintu bergantian. Tanpa menunggu lama, dia langsung beranjak dari kasurnya. Mengambil kursi dan melemparkannya ke arah cermin.

Pyaaaarrr....

 “Yoh, yen koe arep main-main karo aku” (Baik, kalau kamu mau main-main dengan ku) ucap Sengkolo dengan suara Ahmad, tepat ketika Dinda berhasil memecahkan cermin yang ada di kamarnya.

Suara ketukan hilang, Dinda mendengar langkah kaki menjauh. Dinda berpaling, dan segera melangkah menuju ke arah Ratmi. Tidak ada rasa takut di dalam hatinya, justru dia merasa kalau sosok dedemit perempuan itu menjadi satu-satunya temannya saat ini.

“Ngopo koe nulungi aku? sopo koe sakbenere?” (Kenapa kamu menolongku? Siapa kamu sebenarnya?) tanya Dinda saat sudah dekat dengan Ratmi.

Ratmi mengangkat wajahnya, membuat Dinda seketika menahan napas. Dia belum terbiasa melihat mata putih dan senyum mengerikan yang tercetak dari wajah Ratmi.

“Kabeh wes ana titi wancine. Yen Sengkolo iso diobong. Sukmaku iso ucul seko panggonan iki” (Semua sudah ada waktunya. Jika Sengkolo bisa dibakar. Sukmaku bisa lepas dari tempat ini) ucap Ratmi.

“Pie carane?” (Bagaimana caranya?) sambar Dinda.

“Kui urusan e Kusno” (Itu urusannya Kusno) balas Ratmi yang langsung menghilang dalam sekedipan mata.

Dinda tersentak, saat melihat Ratmi yang tiba-tiba saja menghilang dari pandangannya. Buru-buru dia mengedarkan pandangannya ke semua sudut ruang. Namun, dia tidak mendapati sosok itu, sepertinya Ratmi memang sudah pergi.

Lantas Dinda kembali berjalan ke arah kasurnya, berpikir keras. “Kenapa Ratmi memintanya memecahkan semua cermin, kecuali yang ada di kamar Sukmaadji dan Ahmad?” tanya Dinda kepada dirinya sendiri.

 Lama Dinda berfikir, namun takmenemukan satupun jawaban. Hingga terdengar suara benturan yang cukup keras. Seketika pikiran Dinda kembali ke tempatnya.

Sekarang bukan soal kenapa dia harus memecahkan cermin yang ada di rumah ini. Tetapi bagaimana caranya? Sedang Sengkolo tengah berkeliaran bebas di rumah ini.

Dinda segera beranjak menuju ke arah pintu kamarnya. Jika hitungannya tidak salah, ada 5 cermin di rumah ini. 1 sudah ia pecahkan berarti tinggal 2 lagi yaitu di kamar yang di tempati Hamdan dan satu kamar lainnya.

Sebelum keluar kamar, Dinda mengecek terlebih dahulu pisau lipat pemberian Mbok Marni. Setelah yakin pisau itu masih aman di kantung celananya, baru dia berani membuka pintu kamarnya.

Krrrieeekkkk...

Dinda melongokan kepalanya ke arah luar, memastikan keadaan. Saat sudah yakin tidak ada sosok Ahmad di sekitarnya, buru-buru dia melangkahkan kakinya.

Dinda bergidik, entah kenapa suasana rumah ini terasa begitu mencekam. Di tambah rintik hujan menjadikan tempat ini seperti sarang hantu yang tidak layak ditempati oleh manusia.

Kali ini Dinda berjalan dalam keremangan, dia memang tidak berniat menyalakan lampu atau senter. Tujuannya adalah kamar tamu yang tidak dihuni, dan itu harus melewati kamar Ahmad.

Dengan berjingkat, Dinda melangkah pelan. Sesekali dia menolehkan kepalanya ke belakang. Memastikan kalau tidak ada yang mengikutinya.

 Baru selangkah Dinda memasuki ruang tengah, dia langsung melesat ke samping. Dalam keremangan ia melihat Ahmad baru saja keluar dari kamar Hamdan.

Dinda terus memperhatikan langkah Ahmad. Ada sesuatu yang sedang dibawa oleh laki-laki itu. Saat sinar lampu menerangi siluet Ayahnya, seketika Dinda menarik napas kasar.

Tubuhnya melemas. Benda yang di bawa oleh Ahmad ternyata adalah kepala Hamdan. Dinda menggeleng kuat, mulutnya ia tekan dengan telapak tangannya. Takut suara tangisannya terdengar oleh Ahmad.

Dinda terus menajamkan telinganya, namun sayup suara langkah kaki Ahmad mulai menghilang. Dengan jantung berdebar, ia mencoba mengintip ke arah ruang tengah.

Naas bagi Dinda, ternyata Ahmad masih berdiri diam memandang ke arah tempatnya bersembunyi. Dinda kembali menarik kepalanya.

Dukkkk... gludaaakkk...

Sebuah benda terjatuh tepat di sisi Dinda dan menggelinding pelan. Dinda mengerang hebat, air matanya menetes deras. Persis di depannya dia melihat kepala Hamdan tergeletak penuh darah dengan mata melotot.

Dinda memejamkan mata, dia tidak kuat dengan pamandangan itu. Suara langkah kaki Ahmad makin mendekat. Namun, Dinda sudah tidak punya tenaga, badannya lemas seketika. Kakinya gemetaran tidak kuat menopang tubuhnya.

Tinggal 2 meter lagi laki-laki itu sampai di tempatnya bersembunyi, Dinda terus berdoa dalam hati berharap Ahmad tidak mengetahui keberadaannya.

Tap...tap...tap

Suara langkah kaki itu makin dekat. Dinda memejamkan matanya rapat-rapat, tidak mau memikirkan apa yang akan terjadi.

Namun, setelah beberapa saat. Langkah kaki itu terus berjalan melewatinya. Sontak Dinda membuka mata, terlihat dalam keremangan Ahmad berjalan menjauh darinya.

Dinda mengerang lega, sekuat tenaga dia berusaha untuk berdiri. Mencoba untuk mencari tempat yang lebih aman dan segera kembali ke kamarnya.

Sesekali dia melirik ke arah kepala Hamdan. Namun justru pemandangan di depannya membuat kepala Dinda terasa begitu sakit, dia tidak kuat dengan dengan apa yan dia lihat.

Lihat selengkapnya