Ledakan Maut

Titin Widyawati
Chapter #1

Hadiah

Semuanya bermula pada malam ini—

Kalau saja aku boleh menawarkan takdir, aku tidak ingin terlahir dari spermaPanuntun. Pantaskah aku membenci sementara hidupku sudah diasuh selama 24 tahun? Lalu kini aku hidup seorang diri, dalam gelap yang menyesatkan.

Malam ini masih lekat dalam ingatan. Aku yang baru pulang kerja dari pabrik tekstil selonjoran di kamar. Memijat lutut yang terasa pegal. Di depanku teronggak laptop yang menampilkan film Kungfu Panda. Otak jenuhku butuh refreshing, meski detik ini malam minggu, tetapi aku mengurung diri di dalam kamar. Tidur lebih nyaman ketimbang bergerilya di bawah ratapan gerimis di luar sana.

'Kemarin adalah sejarah, besok adalah misteri, hari ini adalah hadiah.'Obrolan kartun itu terus menggema di gendang telinga.

Kupikir hari ini memang hadiah. Gerimis yang Tuhan berikan kepada bumi bisa kujadikan alasan sebagai penolakan ajakan Wulan—perempuan berumur dua tahun lebih muda dariku yang merengek menyuruhku bersama keluarga untuk segera datang ke rumahnya.

Jelas bukan sekadar datang, harus membawa keberanian untuk melamarnya. Aku belum siap bicara di depan orang tuanya. Aku berjanji pada Wulan, akan menikahinya di hari ulang tahunnya sebagai kado spesial yang tidak akan dilupakan.

'Sungguhkah tidak malam ini, Di?' tanya Wulan yang disampaikan melalui pesan.

'Minggu depan ya, aku akan datang ke rumahmu bersama keluargaku. Malam ini Ayah dan Ibu sedang dalam perjalanan, belum tiba di rumah, barangkali gerimis membuat mereka berteduh di emper jalan. Akhir pekan, Ayah dan Ibuku biasa memudakan usia dengan bersikap seolah-olah belum menikah.'

'Hmm … kalau kau berbohong, kita tidak akan menikah, Di?'

'Ya Tuhan, Sayangku. Di luar sungguh gerimis, kan? Coba kau tengok lewat jendela kamar, kelihatan indah dan manis.'

'Kita bisa menciptakan momen romantis di bawah gerimis.'

Semenjak dekat dengan Wulan, aku menjadi pria yang banyak kata, atau terkadang bingung kalimat apa yang harus kukirim kepada makhluk bernama perempuan itu. Ia rumit dan sulit mengerti situasi, terkadang juga merepotkan. Apakah jatuh cinta seribet itu? Sekali pun demikian sulit bagiku menolak rengekan Wulan. Hanya pada malam ini, aku sungguh tidak ingin keluar. Tubuh dan kakiku sedang tidak mau diajak kompromi.

Dan itu adalah pesan-pesan termanis di tahun ini, pesan terakhir yang akan menjadi sejarah dalam ingatan. Aku merasa diberi kejutan oleh takdir. Memang benar kata Master Oogway, '... Yesterday is history …' namun, bagaimana tentang hari ini? Apakah itu merupakan hadiah?

Suatu hal yang tidak kusangka terjadi, ia merupakan tragedi mengerikan penuh ketakutan. Tetiba dari rumah lantai dua terdengar ledakan dahsyat yang membuat telinga siapa pun nyaris retak. Jantungku seketika mau lompat bersama dengan terpentalnya aku keluar rumah. Aku ikut hambur dengan dinding yang terlempar jauh, merasakan gerimis tipis meski sedang tidak ingin, melihat debu-debu bangunan rusak berhamburan serupa isi kasur kuno—kapuk berterbangan di ambang udara. Sesaat detik serupa kehilangan tenaga untuk berputar.

Ketahuilah, di hari penuh kejutan itu aku berakhir di selokan yang menjadi pembuangan limbah dapur warga. Lantas dengan mata kepalaku, kusaksikan penerang jalan, juga penerang rumah-rumah padam dalam waktu bersamaan. Tanah-tanah dan jalan aspal retak. Genting-genting berterbangan serupa segerombol burung yang mati tertembak bersamaan, jatuh terkulai di tanah. Aku melihat rumahku hancur lebur. Disusul rumah tetanggaku, lantai keduanya berlubang, sementara sebelahnya hancur kemudian disusul suara gemeretak puing-puing roboh. Nasib sama menimpa rumah di belakang bangkai rumahku, kaca-kaca jendela pecah, terlempar ke penjuru arah.

Lihat selengkapnya