Ledakan Maut

Titin Widyawati
Chapter #2

Bohong

Entah kapan Tim Sar datang, aku baru melihat mereka hilir-mudik mencari korban yang tertimpa reruntuhan setelah aku sadar. Kata Pak Sobar, aku pingsan dan digotong dari selokan ke beranda masjid. Benar, tadi kepalaku memang amat pusing. Apa yang kusaksikan kupikir semuanya adalah mimpi belaka, rupanya itu kenyataan—kenyataan bahwa Ayahku meninggal karena ledakan.


"Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?"tanyaku dengan suara lirih.


Dengung mobil ambulans silih bergantian datang dan pergi. Mereka mengangkut satu-persatu korban, termasuk diriku. Aku dinaikkan ke atas bangsal lalu didorong masuk ke dalam mobil bersama Pak Sobar. Tidak ada yang lain, seolah-olah aku tidak memiliki keluarga.


Rupanya semua itu bukan mimpi. Aku merasa sedang terjebak dalam dunia paling kelam seorang diri.


"Bagaimana dengan Ayah dan Ibuku, Pak?"


Pak Sobar menggeleng, ia menggenggam tanganku yang lecet kuat-kuat. Terasa panas dan perih, akan tetapi lebih menyakitkan ketakutan kehilangan keluargaku.


"Jasad Ayahmu baru ditemukan kepala dan tubuhnya, dua kakinya masih dalam pencarian."


Kabar mengerikan, jadi benar tubuh koyak yang terlempar ke halaman masjid itu memang tubuh Ayah.


"Ru…di? Kani…na?"Suaraku bergetar. Aku tak kuasa membendung peluh yang menderas di sudut mata.


Sekarang aku sadar, kehilangan harta bukan apa-apa, lebih mengerikan ditinggal orang tua ke alam yang berbeda. Aku bahkan belum membawa mereka ke rumah Wulan. Bagaimana dengan janjiku pekan depan? Aku telah menyiapkan mahar, cincin tunangan, kalung liontin yang kubeli dengan jerih payah menabung selama lima bulan, lalu semua barang penuh makna itu dalam hitungan sekejab lebur bersama nyawa Ayah.


"Kanina dan Rudi …,"ucap Pak Sobar sambil menundukkan kepala. Suaranya tetiba serak, ada kelu yang ditahan, ada hal berat yang sebenarnya tidak ingin dikatakan. "Mereka juga meninggal, separuh tubuhnya sedang dievakuasi oleh Tim Sar."


"Enggak, mereka masih hidup, Pak. Mereka sedang mengerjakan PR di lantai dua bersama Ibu dan Ayah,"ucapku menolak percaya.


Tadi sewaktu pulang aku langsung masuk ke kamar, karena memang tempat tidurku ada di lantai satu. Aku sempat naik sebentar memastikan aktivitas keluargaku, Kanina dan Rudi sedang membuka buku pelajaran, kepala mereka tertunduk di bawah siraman sinar lampu belajar. Sementara Ibu sedang membaca novel terjemahan. Ayah, aku tidak melihat sosoknya. Semenjak di PHK, ia memang agak aneh, sering pergi sampai larut tanpa kabar kecuali katanya main ke rumah teman membahas bisnis. Jika ditanya bisnis apa, jawabannya hanya perihal untung.


"Dipastikan untung tidak rugi!"kata Ayah sebelum tragedi ledakan beberapa waktu lalu.


Lihat selengkapnya