Ledakan Maut

Titin Widyawati
Chapter #3

Pemakaman

Aku ditunggui Wulan semalaman. Ia setia di sisi, membersamai kemalanganku. Aku dipenuhi rasa bersalah, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan selain berterus terang.


"Lan … aku tidak bermaksud membohongimu, aku hanya tidak ingin kamu kecewa, aku sangat lelah. Kalau tahu kejadian ini akan terjadi, aku pasti memilih datang ke rumahmu,"ungkapku, entah didengar atau tidak. Wulan menempatkan kepala di sisi bangsal, sementara dua kelopak mata itu terpejam. Isaknya yang dahsyat menciptakan lelah tidak tanggung-tanggung.


Pak Sobar membuka gorden pembatas ruang inapku dengan ruang sebelah. Ia tadi malam tidak menjagaku, diriku dititipkan kepada Wulan sebab ia pulang untuk mencari korban dan menolong para warga. Pagi harinya ketika burung-burung liar berterbangan di langit menuju dunia timur, lalu kendaraan dan mesin mulai bergemuruh, dia kembali datang, membawa raut sekusut tikar pandan berusia puluhan tahun.


"Bagaimana kondisimu?"


Jelas sakit, kaki kananku lemah karena terkena reruntuhan, dokter mengatakan patah tulang, ia dibalut perban dan diberi gips. Kening ku juga dibalut perban. Perutku juga terkena serpihan kaca. Hanya lengan yang terlihat baik-baik saja karena mengalami luka babras, bercak darahnya sudah dibersihkan dan diobati. Tubuhku pada detik itu terasa lunglai, tidak bertenaga, bahkan aku enggan menghirup napas.


"Baik."Aku menjawab demikian karena tidak ingin mengecewakan dokter yang telah berupaya mengobatiku.


"Bagaimana nasib jasad Ayah dan kedua adikku?"


"Warga akan menguburkan hari ini,"


"Kaki Ayah apa sudah ketemu?"


Pak Sobar memberi jawaban dengan gelengan kepala.


"Tidak. Menunggu sampai ketemu akan terlalu lama, kondisi tubuh ayahmu harus segera dimakamkan."


"Haaa … Kenapa Tuhan memberiku hidup?"


Aku meremas pegangan bed kuat-kuat. Wulan yang tadinya lelap mendadak membelalakkan mata.


Lihat selengkapnya