Cairan infus terus menetes serupa hujan pagi itu. Dinding-dinding kaca di balkon rumah sakit basah penuh embun. Aku dirawat di ruang paling pojok, membuatku bisa langsung menyaksikan mendung yang berkabung. Alam seakan sedang ikut meratapi dukaku.
Setelah dari pemakaman aku lebih banyak diam. Bahkan Wulan pun bungkam. Aku sudah menyuruhnya pulang, sayang ia ingin menetap. Aku ingin sendiri, tetapi sulit bagiku untuk menyuruh Wulan pergi. Lagi-lagi terdengar suara hentakan kaki menuju bangsal rawatku. Aku sedang malas bertemu dengan Pak Sobar atau siapa pun itu, termasuk calon mertuaku sendiri. Mereka datang meski kesedihanku tak memberi undangan.
Bu Rati—Ibunya Wulan meletakkan keranjang buah di atas nakas kecil sebagai oleh-oleh. Aku bahkan malas memakan apa pun.
Pak Andri, mendekati tiang infus, menepuk bahu putrinya yang duduk di sebelah tiang.
"Kenapa semalam tidak pulang?"tuntut Pak Andri, sambil menatap sangsi bola mataku, padahal yang diajak bicara adalah Wulan. Seolah-oleh hendak protes, mengapa aku tidak mengantarnya pulang seperti hari-hari yang telah berlalu—bisa juga memesankan ojek online.
"Pa, aku tidak mungkin membiarkan Dedi di rumah sakit sendirian. Ia sedang susah, ia butuh teman yang mendukungnya!"
"Sudah, Pa. Jangan memperkeruh suasana. Terpenting Wulan baik-baik saja,"
"Anakku langsung kabur dari rumah begitu ledakan itu terjadi. Sebagai orang tua tentu kami begitu panik, dan kami tidak menyangka jika tragedi maut itu berasal dari rumahmu, Dedi."
Pak Andri membuatku merasa tersudut. Aku bingung harus membalas apa, faktanya memang ledakan itu berpusat di rumahku.
"Bagaimana kondisimu, Di?"tanya Bu Ratih memberi simpati. Ia maju beberapa langkah, mendekatiku, menggenggam lengan kananku yang tidak tertusuk jarum infus. "Bertahanlah. Semuanya akan baik-baik saja."Kemudian suaranya tetiba serak.
"Percayalah kami ada untukmu."Wulan menambahi.
Dunia terasa berhenti dalam pandanganku. Aku seorang pria, tetapi tidak kuat menahan air mata meski sudah kupaksa untuk tidak muntah. Begitu cengeng sampai merembas di sudut mata. Aku malu, malu karena tidak bisa tegar. Kalau bisa ingin kumasukkan lagi air perih itu ke dalam mata. Aku tidak ingin menangis, sebab menangis terlalu menyakitkan. Bagaimana ada seorang pria yang berani membuat perempuan menangis? Tangisan hal gila yang pernah kurasakan. Seumur-umur baru kali ini aku menangis tragis. Tidak histeris, tetapi begitu mengerikan.
"Enggak, mulai hari ini kita akan memutus hubungan."Pak Andri berbicara dengan serius. "Saya tidak ingin menyeret anak saya terjun ke lubang hitam. Saya tidak ingin dia hidup menderita bersama anaknya tukang peracik obat petasan!"ucap Pak Andri jelas. Keterangan yang membuat jantungku sekarat. .
Aku bahkan tidak tahu bahwa diriku adalah anak putra peracik obat terlarang tersebut.
"Panuntun membuat saya kecewa, dia membuat banyak orang terluka dan rugi!"lanjut Pak Andri muntab.
"Papa, pahami situasi. Jangan membuat semuanya menjadi lebih pedih. Ayahnya Dedi baru saja dimakamkan, pantaskah Papa bicara demikian kepada orang yang baru saja meninggal?"
Pada akhirnya, restu hubunganku dengan Wulan menguap serupa embun di waktu esok.
"Pa, jangan bertindak gegabah! Dedi masih shok atas insiden semalam. Kita bisa membicarakannya lain waktu,"kata Bu Ratih.
Ia baru saja berkata bahwa akan selalu ada untukku, kupikir kalimatnya hanya omong-kosong belaka.