Pak Sobar datang tengah malam ketika pasien di sebelah sudah saling siulkan dengkur. Katanya jam besuk sudah habis sejak lama, tetapi memaksa masuk karena akan menunggu pasien, bukan membesuk. Beruntung petugas kesehatan memberi ijin, setidaknya hal itu mengurangi kesunyian. Kehadiran Pak Sobar serupa benih-benih harapan selepas orang tua Wulan tidak mau menganggapku sebagai calon menantunya lagi. Sayangnya akan lebih baik jika aku tetap sendirian dalam sepi.
"Ibumu sudah ditemukan," kata Pak Sobar perlahan.
"Bagaimana? Ibu masih hidup kan?"
Pak Sobar diam sejenak, menetralisir embusan oksigen. Kulihat dadanya naik turun, mungkin kelelahan naik tangga sebab ia takut menekan tombol lift. Aku dirawat di lantai tiga, ada lift dan eskalator yang bisa digunakan untuk mobilisasi para pembesuk dan pasien. Sayangnya, Pak Sobar terlalu sabar memilih jalur manual dengan dalih ketinggalan zaman.
"Dia ditemukan dengan wajah tertutup buku novel, buku itu menyelamatkan wajahnya dari batu bata, Dedi."
Kabar yang melegakan, setidaknya ia tidak berakhir mengenaskan serupa nasib Rudi. Faktanya keluargaku orang tidak aneh-aneh yang memiliki kebiasaan baik, suka membaca, minimal di akhir pekan. Dan semua kebiasaan itu dimulai dari Ayah. Rasanya mustahil jika Ayah melakukan perbuatan untuk melenyapkan nyawa orang-orang yang ia cintai hanya karena PHK. Kupastikan semua itu berita bohong.
"Ibu masih hidup kan, Pak?" tanyaku mengulangi kalimat sebelumnya.
Pak Sobar menghela napas panjang sebelum berkata, "Dua kakinya putus, lepas dari tubuhnya, Dedi. Tetapi Ibumu masih hidup, sudah mendapat penanganan medis, dia dirawat di ruang ICU karena koma."
Entah itu disebut harapan atau justru penderitaan. Ibuku setengah hidup. Kalau dia sadar lalu tahu dua kakinya mati, apa yang akan terjadi? Lalu Ibu telan penderitaan bertahun-tahun bahwa kekasihnya meledak secara tragis, dua anaknya juga meninggal dalam insiden pahit itu. Ibu orang pertama yang akan tersiksa setelah diriku.
Berdosakah jika aku berdoa, sebaiknya Ibu mati saja?
"Tidurlah, aku akan bermalam di sini."Pak Sobar menggenggam tangan kananku kemudian duduk di kursi plastik yang disediakan pihak rumah sakit.
Aku meluangkan diri dalam gelap untuk menangis sejadi-jadinya. Nasibku begitu buruk.
"Pak … harusnya aku datang ke rumah Wulan, memberikan mahar dan cincin tunangan, maka keluargaku akan tetap hidup," kisahku penuh sesal bertubi-tubi.
"Rumah Wulan?" Pak Sobar bertanya.
"Aku janji akan segera melamar Wulan, sebelum tragedi ledakan itu terjadi, Wulan mengirimiku pesan, meminta dilamar malam itu juga, tetapi aku berbohong, aku bilang Ayah dan Ibuku sedang dalam perjalanan, padahal mereka di rumah. Kalau saja aku mengajak mereka pergi, mungkin ada peluang Ibuku tidak koma dan keluargaku masih bisa tersenyum, Pak."
"Jangan sesali hal yang sudah terjadi, orang tua ini akan selalu mempercayaimu!" kata Pak Sobar dengan sungguh-sungguh.