Akhirnya aku kembali ke rumah. Tempat terindah yang telah lama kutinggalkan. Tanah di mana para traveler dari berbagai belahan dunia berlomba-lomba ingin mengunjunginya. Iya, inilah rumahku sekarang.
Bali.
Namaku Berlian. Delapan belas tahun yang lalu aku lahir di pulau ini. Namun hanya berselang empat tahun berikutnya kami sekeluarga; aku, ayah, dan ibu, serta kakek pindah ke tempat yang bagiku antah-berantah. Pertemanan Ibu dengan Anette membawa mereka untuk bersepakat membuka usaha restoran di sebuah kota kecil Flekkefjord, Norwegia. Mendengar nama kota itu seolah sesuatu yang sangat mustahil bagi kami untuk mencapainya. Namun keputusan kami, terutama ibu sudah dibuat.
Awalnya hanya ibu dan aku yang berangkat ke sana. Setelah merasa yakin dengan usaha restoran yang dirintisnya, Ibu kemudian mengabari ayah dan kakek untuk ikut menyusul. Selanjutnya selama tiga belas tahun kami jatuh bangun membesarkan restoran bersama Tante Anette.
Usaha restoran kami menunjukkan trend yang positif sehingga tidak ada tanda kalau kami akan kembali ke Bali dalam waktu dekat ini. Namun semuanya berubah beberapa minggu yang lalu ketika Kakek menyampaikan niatnya untuk kembali ke Bali. Keinginan yang tak dapat kami bendung. Rencana awalnya adalah hanya kakek sendirilah yang kembali, tetapi ada perasaan unik yang menggelitikku. Bukan perasaan rindu, tetapi ada rasa ingin tahu dan semangat bertualang yang kurasakan begitu menyebut nama Pulau Bali. Untungnya usiaku ssudh di atas dua belas tahun, jadi bepergian antarnegara bisa menjadi sedikit lebih leluasa.
Niatku untuk ikut bersama Kakek tidak terlalu disukai ayah dan ibu. Namun aku berjanji, jika aku tidak betah di sini maka aku akan segera kembali ke Flekkefjord.
*****
Kakek adalah seorang backpacker sejati. Tidak banyak barang yang ia bawa. Hanya sebuah tas beroda ukuran sedang sudah cukup untuk menampung semua kebutuhannya. Tasnya malahan tidak sesak, sebab dia masih bisa menyelipkan sebuah buku yang dia beli di bandara sebelum kami berangkat.
Setibanya di Bandara Ngurah Rai, kami berjalan kaki keluar mencari tempat beristirahat sejenak. Setelah beberapa saat kami temukan sebuah tempat ngopi kecil di antara himpitan butik dan restoran. Kakek memesan secangkir kopi hitam kesukaannya, sementara aku hanya cappuccino.
Hari sudah beranjak sore. Matahari tenggelam pertama yang kami lihat setibanya di Bali benar-benar indah. Tenggelam pelan di antara gedung dan pepohonan yang sangat jarang dijumpai. Dikepung udara panas tak jauh dari lingkar luar bandara.
“Bali tidaklah sama dengan apa yang sudah kamu baca ataupun kamu tonton di Youtube,” kata Kakek ketika kopinya tinggal setengah. “Ada banyak hal yang tidak diungkap dengan benar di sana. Belum terungkap, barangkali.”