Kakek berusaha tenang, sementara sopir kami tubuhnya mematung di belakang kemudi. Pandangannya lurus ke depan. Dalam siluet terlihat tangannya yang berotot mencengkeram kemudi kuat-kuat.
“Tenangkan diri, Pak. Coba nyalakan mobilnya sekali lagi,” pinta Kakek.
Si sopir mengikuti, namun tak ada reaksi apa pun. Kakek mengarahkan pendar kecil dari handphonenya ke dekat lubang kunci mobil. Bersama si sopir keduanya seketika berseru kaget.
“Ah, itu bukan kunci mobilnya!”
Aku pun ikut mendongakkan badan ke depan dan mendapati sebuah kunci keperakan yang sudah tua menancap di lubang kunci.
“Saya, saya tidak melakukannya. Saya tidak menggantinya. Bagaimana mungkin saya justru menjebak kita di sini? Sungguh, bukan saya.”
“Kita sama-sama panik. Kadang dalam kepanikan kita melakukan hal-hal secara acak,” sekali lagi Kakek menenangkan.
Setelah memasukkan kunci yang tepat, mobil kembali menyala seperti sebelumnya. Kemudian melaju menaiki jalan curam di depan kami. Di tengah deru kendaraan aku menoleh ke belakang. Tanah lapang seolah tersedot menjauh.
Namun perhatianku mulai beralih pada sebuah pijar kebiruan yang tampak samar-samar di atas pohon tempat kami berhenti sebelumnya. Kupastikan itu bukanlah bulan purnama karena terlihat begitu menyatu terayun-ayun di dahan pohon. Iya, pijar kebiruan itu terlihat bergoyang-goyang di antara dedaunan. Saat kami berhenti di bawahnya tentu tidak bisa melihatnya karena berada tepat di atas mobil kami.