Setelah Haruhiro dan kawan-kawannya berkeliaran menjual hasil buruan hari ini dan membagi ratakan uangnya, mereka iseng-iseng berdiskusi tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Sebuah suara keras berdentang dengan dahsyat di pasar Atalante.
“Apakah itu...” alis Haruhiro mengerut. “Lonceng jam enam? Tapi itu berbunyi tujuh kali, dan orang-orang lain juga panik...”
“Apa?! Apa?! Apa yang terjadi?!” rambut berantakan Marco terhembus ke depan dan belakang saat dia menegakkan kepalanya.
“Mm?” Vina berkedip-kedip, sembari menarik rambut twin-tailnya yang dikepang. “Apa yang terjadi?”
Alice mendekat ke Vina. “Sepertinya suatu... keadaan darurat?”
Barto mengelus belakang helmnya, dia terlihat cemas dan gelisah.
“Ini tidak mungkin...” Lusi sedikit membungkuk ke depan, dengan mata menciut. “Serangan musuh?”
“Huh?” Haruhiro memiringkan kepalanya. Dia paham apa arti kata tersebut, tapi tidak mengerti dengan apa yang ia maksud. “Serangan musuh?”
Sebuah jeritan menusuk ke udara entah datang darimana. Kedengarannya agak jauh.
Lubang hidung Marco melebar. “Oy! Oy! Oy!” Teriaknya. “Whoa! Whoa! Whoa!”
Mengapa dia bertingkah seceroboh itu? Apa karena kebodohannya?
“Lusi, apa yang kau maksud dengan ‘musuh’?” tanya Haruhiro.
“Mungkin Orc.” Jawabnya pendek.
Orc? Ia penasaran, karena jarang mendengar kata tersebut.
“Lari!” jerit seseorang.
“Orc!” jerit yang lainnya.
“Itu Orc!”
“Ada orc di sini!”
“Kita diserang!”
“Oh?” Vina menaruh jari telunjuk di dagunya. “Aku tidak tahu kalau okras bisa menyerang.”
Langsung saja Haruhiro membalas, “Bukan, bukan okras, tapi ORC!”
Orang-orang di pasar yang tercerai berai tiba-tiba langsung berubah menjadi aliran padat tubuh manusia, dan langsung menelan Haruhiro serta kawan-kawannya. Aliran pembeli yang syok membawanya pergi, dan dia tahu bahwa mustahil untuk berjalan melawan arus yang mendorongnya.
“Apa---!” Marco mencoba melawan kerumunan tersebut, tapi dia juga merasa ini mustahil. “Apa-apaan iniiiii!”
“Whoa!” mata Barto terlihat berputar kebingungan. Orang sebesar Barto kesulitan gara-gara terserempet sikut dan lutut berbulu.
“To-Topiku!” Alice berteriak saat topi penyihir lepas dari kepalanya.
Haruhiro menjulurkan tangan, lantas memeganginya. Kemudian semuanya berjalan menurun. Karena tertarik bersama dengan orang di belakangnya, dia langsung terpisah dari kawan-kawannya.
“Haru!” seru Vina.
“HARU!” suara Lusi.
Ujung kepala Barto lah yang satu-satunya bisa dia lihat sekarang, dan hampir tak terlihat. Tapi berjalan kembali ke sana adalah hal mustahil.
“Te-teman-teman!” Haruhiro melambaikan tangannya, tapi sayang. Dia sudah kehilangan Barto. “Jaga diri kalian, semuanya!”
Walau dia mengatakan itu pada mereka, Haruhiro sadar bahwa dirinyalah yang seharusnya paling berhati-hati. Jika dia mencoba menerobos kerumunan ini, dia malah akan terinjak-injak. Dia bahkan bisa mati. Mati seperti itu... jangan, tidak boleh. Jadi untuk sekarang, dia tak punya pilihan lain kecuali pasrah terseret arus.
Sebuah serangan... atau begitulah yang Lusi katakan. Serangan musuh? Orc. Apa itu orc? Haruhiro merasa pernah mendengar kata tersebut sebelumnya entah dimana.
Apapun itu Orc, ini bukanlah hal yang biasa di Atalante. Invasi. Jadi kita sedang diserang? Atalante sedang diserang oleh orc atau apalah itu? Dan semuanya hanya melarikan diri? Tapi ke mana?
Ini adalah sebuah kota, semuanya tinggal di sini. Lagipula Atalante dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan tebal, itu artinya tempat ini cukup aman. Mungkin. Kayaknya sih aman. Atau setidaknya itulah yang Haruhiro pikirkan. Tempat yang seharusnya jadi tempat teraman, diserang. Apa ini artinya... mungkinkah....
ini benar-benar buruk?
Meja-meja pedagang yang berjajar di jalanan terjungkir, dagangan mereka tercecer dan hampir rusak di injak-injak. Sungguh mubazir, pikir Haruhiro. Beberapa kios bahkan ada yang rusak, dan yang lain bahkan sudah rata dengan tanah. Pemiliknya pasti bakal marah...
Tunggu, ini bukan saatnya memikirkan hal seperti itu!
Suatu jeritan menyedihkan terdengar dari arah yang orang-orang tuju. “Mereka di sini! Musuhnya di sini! Lari! LARI! Ke arah lain! Lari!”
Tiba-tiba arus kerumunan tersebut mulai bergerak ke arah sebaliknya. Tapi berbalik arah itu adalah hal yang mustahil dilakukan dalam keadaan seperti ini. Sementara orang yang di depan kebingungan, orang yang di belakang tetap bergerak maju. Dan Haruhiro yang tidak cukup beruntung, terjebak tepat di tengah-tengah peralihannya. Dia sadar bahwa dia terdesak dan tak dapat bergerak.
“Tidak---Tidak bisa bernafas! Jangan dorong!” dia megap-megap.
Dia bakal terjepit hingga mati. Mati seperti ini... kau bercanda kan! Entah bagaimana caranya, Haruhiro akhirnya berhasil menerobos dan menghindar dari kerumunan orang, sampai dia mencapai kios pedagang yang masih berdiri. Dia merundup melalui tirai hitam yang berfungsi sebagai jalan masuk.
“Ugh, menjijikkan...” hidungnya berontak karena bau menyengat yang diciumnya.
Dan bukan hanya baunya yang terasa aneh, barang-barang yang berjejer di counter dan lemari juga, terisi oleh binatang, sisa-sisa hewan, tulang, taring, bulu, dan bahkan asesoris yang terbuat dari itu semua ada di sini.
“Sebelah sini...”
Suara yang muncul tiba-tiba membuatnya terkejut dan mendengking. Saat dia lihat, seorang nenek tua keriput berbaju hitam memanggilnya di balik counter. Jelas di mata Haruhiro bahwa nenek tersebut sungguh gelap.
“Ayo sini!” nenek tua tersebut menyuruh Haruhiro yang tidak menjawabnya.
Dengan malu-malu, Haruhiro nyeplos. “Ehh, ini tokomu, Nek?”
“Kurang ajar! Aku bukan nenek tua! Panggil aku nona muda!”
“Um... Nona...” Haruhiro membenarkan ucapannya saat perempuan tersebut tersenyum.
“Gitu dong...”
“Tapi kau bukan seorang... maksudku, kau tidak terlihat seperti...”
“Hey, kalau kau mau jadi orang yang jujur, jangan setengah-setengah!”
Itu karena perempuan ini sungguh mencurigakan dari awal, pikir Haruhiro, tapi tak ia katakan.
Perempuan tua itu mengangkat bahunya. “Aku Madam Babaa.”
“Ma’am itu kependekan dari madam!” ceplos Haruhiro.
Perempuan tua itu mendengus. “Ya gitulah, orang-jujur.”
“...Makasih. Kurasa.”
“Jangan mulai kurang ajar kepadaku, bocah!” dia berhenti. “Lupakan. Mari mulai lagi. Namaku Madam Babaa, seorang Spellcrafter, dan seperti yang kau lihat, aku adalah pemilik toko ini. Apa kau anggota pasukan relawan?”
“Yeah, memang kenapa?” balas Haruhiro, dia mencoba sebisanya untuk mengalihkan pandangan dan tidak menghembuskan nafas melalui hidungnya.
Tirai pintu mencegahnya untuk melihat apapun yang sedang terjadi di luar. Akan tetapi, Haruhiro masih bisa mendengar sedikit keributan dari luar sana. Penyerbuannya masih berlangsung, atau kira-kira seperti itu.
“Sebuah invasi? Sungguh?” dia berbisik pada dirinya sendiri.
“Orc? Oh yah. Hal itu terjadi beberapa kali.” Madam Babaa menunjuk dengan tangan kiri. “Kau bukanlah seorang pemula, kan?”
“Kurasa,” ucap Haruhiro. “Aku belum lama bekerja sebagai pasukan Red MooN.”
“Sudah kuduga. Apa kau seorang perjaka?”