LEGEND OF HARUHIRO Arc 2 : Semuanya Berharga, Tak ada yang Tergantikan

Jinx pro
Chapter #3

Chapter 3 - Hukum Inersia Tanpa Kelembaman

“Wah! Wah-wah-wah! Apa-apaan?!” Marco menggerutu dibalik helmnya, punggungnya menekan keras ke sebuah dinding rapuh.

Marco tidak sendirian. Haruhiro dan yang lain juga menjaga dirinya tetap sejajar dengan tembok, untuk berusaha menyembunyikan diri mereka.

“Ada yang tahu apa yang terjadi di sini?” Haruhiro menengok ke samping, menatap ke arah Lusi.

Lusi memberikan sedikit gelengan. “Aku juga tidak tahu.”

“Di sana ada banyak sekali gobbi,” bisik Vina.

Barto mendengus yang menandakan bahwa dia mengerti. Sekujur tubuhnya bergetar saat mencoba untuk meringkukkan tubuhnya sekecil-kecilnya.

Alice menutup matanya dan terlihat sedang berdoa, tongkatnya ia pegang erat di dadanya.

“...Kita tidak bisa, kita tidak bisa... tidak mungkin kita bisa...”

Alice benar. Jika ada satu kalimat yang bisa menggambarkan keadaan saat ini, adalah “Kita tidak bisa.”

Mereka berada di Kota Tua Damroww yang sama seperti biasanya, tapi kali ini bukan goblin berpencar yang mereka temui, tapi kerumunan Goblin yang tersusun rapi dalam kelompok. Sesuatu terasa berbeda sesaat mereka tiba di sini, tidak, bahkan sebelum mereka datang, semuanya terasa berbeda.

Tempat ini penuh dengan goblin. Mereka bergerombol sangat banyak, dan mereka terlihat telah tersusun dalam suatu kelompok. Mungkin mereka juga berpatroli seperti biasa.

“Patroli...” bisik Haruhiro, menggertakkan giginya.

Apakah ini mungkin? Apa ini benar-benar terjadi? Para goblin sekarang bergerombol dan ini sangat berbeda dari yang Haruhiro dan lainnya buru tiap harinya. Untuk pemula, mereka punya perlengkapan yang bagus. Dan jikalau goblin biasanya terlihat malas dan bosan, yang satu ini terlihat aktif dan siaga.

Haruhiro mengira mereka mungkin berasal dari Pusat Kota Damroww. Goblin yang berada di Pusat Kota terkadang datang ke Kota Tua, tapi goblin-goblin itu selalu terlilhat... marah. Serta, murung. Bahkan hobgoblin dan tuannya yang berarmor piringan ketakutan di hadapan mereka.

Tapi para goblin yang berkumpul di sini sangat bersemangat dan bergairah. Mereka kelihatannya berada di sini untuk suatu alasan. Haruhiro tidak terkejut jika mereka ada di sini karena sebuah perintah.

“Hmm,” keluh Marco. Itulah dia, mencoba untuk terlihat keren atau semacamnya. Tapi dia tidak keren sama sekali. “Sepertinya kita keterusan. Kita membuat diri kita menjadi pusat perhatian di sini...”

Tidak ada yang mau memberikannya respons yang menyenangkan, termasuk Haruhiro. Dia tidak punya energi untuk dihabiskan pada hal sepele semacam itu. Tapi kini terlalu berbahaya untuk berburu di sini. Walaupun mereka telah jauh-jauh datang ke sini, mereka kini berhadapan dengan prospek yang mengecewakan, yaitu kembali ke Atalante tanpa hasil sepeser pun.

Sudah tidak ada harapan lain. Dengan keadaan yang mereka hadapi saat ini, tidak ada pilihan selain kembali. Kecuali... saat dia memikirkannya, Haruhiro menyadari bahwa dia melihat situasi saat ini sebagai suatu kesempatan untuk mengubah jalur mereka. Mungkin Haruhiro terpaksa untuk mengambil keputusan ini, atau mungkin telah terbawa oleh aliran pikirannya, tapi ini masihlah sebuah kesempatan yang bagus.

“Hai semuanya,” Haruhiro membuka percakapan. “Bagaimana kalau kita mencoba memeriksa Tambang Siren? Mungkin sedikit menyimpang dari jalur, tapi tempat itu masih satu arah. Kita tinggal berjalan mengitari Damroww dan terus berjalan ke Barat Daya.”

Marco kegirangan. Vina, Alice, Barto, dan Lusi tidak menolak keputusannya, jadi mereka langsung berangkat. Tambang Siren... Tempat itu sekitar dua setengah mil jauhnya di sebelah Barat Daya Damroww, tapi karena Haruhiro dan yang lain belum pernah pergi ke sana, perjalanan memakan waktu hampir dua jam walaupun mereka mengambil jalur yang paling cepat.

Tempat itu terlihat sama seperti gunung biasa. Dahulu kala, ketika Kerajaan manusia Aravakia masih menguasai daerah depan, mereka mengeluarkan banyak biaya untuk membangun tambang ini. Setelah itu, saat Wright King dan sekutunya memukul mundur manusia dari area itu, faksi Kobold Boshuu mengambil alih dan menetap di sana. Saat ini, Tambang Siren dikuasai sepenuhnya oleh para kobold.

Party Haruhiro bisa melihat jalan menuju ke tambang dari kaki gunung. Pintu masuknya berbentuk persegi dan seperti-lorong, dan di setiap sisinya dibangun dengan bongkahan kayu. Haruhiro dan kawan-kawannya berjalan mengikuti sungai kecil yang mengalir dari gunung dan menemui seekor beruang yang berjalan dengan santai.

Haruhiro ragu beruang itu akan menyerang mereka, binatang liar biasanya berhati-hati karena terkadang mereka cukup pengecut. Lagi pula, tidak ada yang ingin mencoba peruntungan, jadi mereka menjaga jarak cukup jauh dengan beruang itu.

Mereka melanjutkan naik ke atas gunung, mengikuti jejak binatang ke sebuah area perhutanan. Agak masuk sedikit, mereka melihat dua makhluk berbulu, humanoid dengan kepala seperti anjing. Masing-masing berpakaian ringan, memakai armor, dan bersenjatakan pedang berkarat.

[Humanoid adalah makhluk yang memiliki penampilan atau ciri menyerupai manusia, tetapi bukan manusia.]

Tidak ada seorang pun yang ingin mengalami kesulitan. Tentu saja bukan kedua makhluk itu, yang muncul dari bayang-bayang pepohonan terlihat tenang. Jelas terlihat mereka tidak mengira akan menemui seseorang di sini. Makhluk itu dan Party Haruhiro saling bertatap-tatapan, keduanya terdiam untuk beberapa detik.

“Kobold!” seru Lusi.

Terkejut, tanpa sadar Haruhiro mengeluarkan teriakan dan secara insting merangkak ke belakang.

“Barto, ayo!” ucap Marco, mengayunkan pedangnya ke arah kobold yang berada di kanan.

“I-iya!” Barto, yang reaksinya sedikit tertinggal dari Marco, mendekat ke kobold di sebelah kirinya.

Haruhiro menepuk dadanya, kholem! Tidak. Tunggu. Bukan kholem, kalem! Tenanglah! Kampret. Dia sama sekali tidak tenang.

“Alice, Lusi, tetaplah di belakang untuk saat ini!” Haruhiro memerintah. “Vina, ayo bantu Marco dan Barto!”

Vina menjawab dengan sesuatu yang tak bisa Haruhiro mengerti, tapi dia tetap mengikuti di belakangnya, sehingga menempatkan diri mereka di posisi depan. Sampai sekarang, Marco menyerang membabi buta ke arah kobold itu, melesatkan tiap serangannya dengan sebuah teriakkan.

Barto menggerutu kesusahan saat dia mengangkat dan mengayunkan pedang raksasa di atas kepala, tapi dia sama sekali tak bisa mengenai kobold incarannya.

“Vina, bantu Barto!” ucap Haruhiro.

Lihat selengkapnya