Seekor ikan melompat tinggi seakan ingin mencapai awan, membuat seorang gadis rupawan tergelak karenanya. Sepasang mata hitam yang dipayungi bulu mata lentik itu pun berbinar riang dan membuat sepasang kaki jenjang yang dibalut oleh rok berbahan kulit domba itu tanpa sadar melangkah untuk menikmati sejuknya air sungai di dekat Ascalon.
"Atargatis!"
Sayang, seruan seseorang menghentikan niat sang gadis. Wajah ayu itu mencebik kesal. Dia menoleh dan menemukan seorang pemuda, yang sedikit lebih tua darinya, sedang berdiri tidak jauh darinya.
Tampan? Entahlah. Janggut lebat cokelat menutupi hampir seluruh wajah sang penggembala. Pria itu bersedekap dengan ekspresi gusar saat seekor kerbau miliknya malah membuang wajah dan lebih memilih untuk merumput.
"Apa?" tanya Atargatis sambil memonyongkan bibir. "Aku enggak masuk ke sungai kok."
"Enggak karena aku tegur, 'kan?!"
Kilat khawatir terlihat jelas dari binar mata Hadad. Dia berjalan cepat menuju gadis itu dan menarik lengannya untuk menjauh dari tepi. "Kebiasaan, sedikit ditinggal pasti ke sini terus."
"Aku hanya bosan," ucap Atargatis dengan nada manja. "Apa salahnya menyapa sahabat? Ayah sedang ke kota, sepi sekali sendirian di sana."
Sayangnya, Hadad sudah kebal dengan tingkah Atargatis kala sedang merajuk. Ekspresi pemuda itu pun sebeku batu saat mengklarifikasi ucapan si gadis tetangga, yang kini terpaksa menjadi tanggung jawabnya. "Ikan bukanlah teman. Kalau kamu kesepian, kamu bisa bergaul dengan gadis lainnya. Tadi sepertinya mereka sedang sibuk membuat tembikar."
"Mereka adalah teman," ucap Atargatis bersikeras. "Mereka me--"
"Menyelamatkanmu dari sungai, sebelum burung mengadopsimu hingga menetas." Hadad melanjutkan ucapan Atargatis dengan nada malas. Pemuda itu, bahkan terang-terangan memutar bola mata sebelum menarik sang gadis agar ikut berjalan semakin menjauhi sungai sambil mengeluh, "Dan, kenapa harus aku yang menjagamu agar kamu tidak tenggelam di sana?"
Jengkel? Tentu saja. Siapa yang tidak kesal bila dianggap aneh oleh orang sekitar, terutama ucapan itu berasal dari satu-satunya orang yang menjadi sahabat karibnya sedari kecil.
Sebuah cubitan pun melayang, membuat pemuda itu memekik sakit dan melepaskan genggamannya. Dia menggosok lengan kala Atargatis menjulurkan lidah dan berkata dengan puas. "Rasakan."
Sayangnya, Hadad bukan pemuda yang bersedia dikalahkan oleh seorang perempuan. Laki-laki itu menyipitkan mata sebelum menjulurkan tangan untuk menangkap si gadis nakal.
Mata Atargatis melebar. Dia pun menggelak dengan memiringkan tubuh.
"Meleset," cemooh Atargatis sebelum memutar tubuh dan melarikan diri.
"He! Tunggu!" Hadad segera mengejar.