Legenda Negeri Bharata

Putu Felisia
Chapter #2

Prolog - Sungai

Ada suatu masa ketika sungai di antara Yamuna dan Sutlej mulai mengering. Sungai yang mengalir selama berabad-abad ini semakin sekarat. Air sungai semakin dangkal, menyisakan genangan-genangan. Perlahan-lahan, genangan itu berubah menjadi lumpur yang pekat.

Sungai itu adalah Sungai Saraswati.

Dengan mengeringnya sungai, nyawa Dewi Saraswati pun kini di ujung tanduk. Sedikit lagi, Saraswati akan mencapai akhir hidup ... meninggalkan dunia fana untuk pergi ke swargaloka.

Berita ini kemudian didengar oleh Gangga, saudari Saraswati. Gangga adalah dewi sungai di wilayah Hindustan. Dengan khawatir, Gangga mengunjungi Saraswati ke barat Rajashtan. Gangga ingin melihat keadaan saudarinya. Terlebih, kegelisahan masih mengusik hati Gangga. Dia ingin mengutarakan dilemanya kepada Saraswati.

Baru saja, Dewa Wisnu memanggil Gangga. Sang dewa telah mengisyaratkan akan lahirnya seorang awatara[1]. Sri Krisna. Awatara itu akan datang membawa penghukuman dalam sebuah perang luar biasa. Perang ini konon akan lebih hebat dari peperangan di Alengka. Rama melawan Rahwana. Dharma melawan adharma. Peperangan ini akan kembali terulang dalam versi lebih dashyat.

“Dewa Dharma, Dewa Bayu, Dewa Indra, Dewa kembar Aswin telah menyatakan kesediaan mengutus putra-putra terbaik mereka,” kata Dewa Wisnu, “Dewa Surya sedang mempertimbangkan. Namun, kurasa, dia akan bergabung, mau tidak mau. Kewajiban adalah kewajiban. Mungkin, ini akan menjadi akhir dari satu masa.”

Penghukuman besar di akhir masa. Itu adalah kata-kata lain dari kiamat.

Kata kiamat sudah membuat Gangga merinding. Apa yang membuat para dewa memutuskan ini adalah akhir masa? Sebenarnya, Gangga tak sanggup harus menjadi bagian dari perang yang akan membawa semesta dalam kehancuran. Namun, Dewa Wisnu benar. Kewajiban adalah kewajiban. Hal ini menuntut kepatuhan mutlak.

Sayangnya, sebagai dewi yang masih hidup membaur di dunia manusia, Gangga merasa terusik. Kejahatan memang harus dibasmi. Akan tetapi, tak semua manusia memiliki hati yang jahat. Apakah para dewa boleh semena-mena memusnahkan tanpa menimbang kebaikan hati?

Kegundahan antara kewajiban dan rasa kasihan masih mengusik hati Gangga. Dia  merasa amat bersedih. Ketika dia sampai di Sungai Saraswati, air mukanya terlihat amat muram.

Setelah memberi salam, Gangga memandang Saraswati. Rambut saudarinya kian memutih dengan kulit yang kian mengeriput. Itu adalah keadaan yang sama ketika para dewa akan mangkat lalu kembali ke Sang Pencipta.

 “Kakak,” Gangga berkata sambil menahan tangis, “Mengapa kakak memutuskan akan pergi sekarang?”

“Adikku,” jawab Saraswati, “Aku telah menjalankan beberapa masa di sini. Telah banyak kusaksikan kisah-kisah kehidupan. Demikian juga, telah banyak kularungkan jiwa-jiwa mereka yang abunya dituangkan ke atas sungaiku.”

Saraswati mendesah. Dia mengingat beberapa bencana dan peperangan yang timbul lalu menghilang. Tahun demi tahun berlalu. Dari ribuan menjadi ratusan, demikian usia manusia semakin pendek. Sama seperti pengetahuan mereka yang mendangkal. Peradaban mungkin semakin maju. Namun, nurani dan kebijaksanaan justru merosot. Ini hal yang sangat ironis.

Saraswati tahu, kini adalah batas akhirnya. Beberapa kali, dia melihat para dewa berkumpul di Indraloka. Tak mungkin ada keramaian seperti itu jika tidak ada sebuah rencana besar terhadap semesta.

“Aku baru diminta untuk menjelma sebagai manusia, Kak,” Gangga akhirnya menceritakan kekhawatirannya, “Delapan Wasu telah dikutuk oleh Resi Washita. Mereka meminta tolong, agar aku bersedia melahirkan mereka, lalu membebaskan mereka di atas sungaiku.”

Lihat selengkapnya