Kata Gangga, aku terlahir dari nada-nada terakhir yang dinyanyikan Saraswati. Dia bercerita, kalau saat itu, Saraswati telah sampai di akhir usia. Dewi purba nan murni itu menua dan terus menua. Genangan dan lumpur pekat mengering ... terus mengering, hingga akhirnya berubah menjadi debu-debu gersang.
Sayang sekali, aku tak memiliki keberuntungan untuk bertemu langsung dengan ibuku. Yang aku tahu, sebelum ibu kembali ke swargaloka, ibu menitipkanku pada Gangga. Selain berpesan agar Gangga menjagaku, dia memberi sebuah batu tulis dan kapur. Di atas batu itu tertulis satu pesan terakhir Saraswati:
Gunakan batu ini untuk bicara. Jangan pernah mengeluarkan suara dari mulutmu.
Suaraku memang terkunci. Gangga menjelaskan kalau kekuatan dewata yang aku miliki ada pada suara. Sekali aku mengeluarkannya, maka kekuatan dewata itu akan musnah dan aku akan berubah menjadi manusia biasa.
“Dia melahirkanmu dari nyanyian. Kau memiliki kekuatan dewata darinya. Kau bisa mendengar suara hati manusia, merasakan perasaan mereka. Namun, manusia berbeda dengan dewa. Yang bisa kaulakukan hanya mengamati,” Kata Gangga setiap kali mengulangi kisah itu, “Kau tak bernama. Karena nama, hanya akan mengikatmu. Ingat-ingatlah ini, anakku… setiap kali kau memendam keinginan dan perasaan pribadi, maka engkau akan semakin fana.”
Apa tujuan aku dilahirkan, Bu? tulisku saat Gangga selesai menjelaskan.
Gangga menggeleng pelan, “Kau tidak dilahirkan untuk mengangkat senjata, tapi, kau dilahirkan untuk bertempur melawan kekerasan hati.”