Di puncak tertinggi menara istana kekaisaran Kaili, sang kaisar naga, Ao Yu Long, berdiri tegak. Tangannya bertumpu pada pedang es legendaris miliknya yang tertancap kokoh di lantai batu menara.
Mata phoenixnya yang menghipnotis, menyipit tajam. Menatap ribuan pasukan yang bercampur dengan pemberontak dan rakyat. Denting pedang beradu, desau panah dan tombak serta teriakan dan pekikan di bawah menara sama sekali tidak membuatnya bergerak.
Ao Yu Long, sang pemilik pedang es, bukanlah kaisar yang kejam. Meski hampir tidak pernah berwajah ramah dan selalu muram, dia adalah kaisar yang menghargai nyawa rakyatnya.
Saat ini dia dapat dengan mudah memukul mundur atau bahkan memusnahkan para pemberontak dengan tebasan pedang esnya. Namun dia tidak segera melakukannya.
Di bawah sana, bukan hanya ada pemberontak, tapi juga ada rakyat dan pasukannya. Pedangnya tidak akan bisa membedakan musuh atau lawan.
Sekali dia menebaskan pedang berwarna biru cemerlang itu, maka hancurlah semua benda, bernyawa atau pun tidak. Dia tidak menghendaki itu terjadi.
Baginya tahta memang sesuatu yang penting dan harus diperjuangkan. Namun nyawa manusia lebih penting di atas tahta atau apa pun juga.
Dia bisa merebut kembali tahtanya jika hari ini dia memang harus kehilangan. Namun nyawa manusia, sekali hilang tidak akan pernah kembali lagi. Dia tidak punya kekuatan untuk itu. Dia hanya bisa menghancurkan tanpa bisa mengembalikannya.
Dipejamkannya mata hijau gioknya dengan erat. Tangannya semakin kuat menggenggam pedang esnya yang sepertinya sudah tidak sabar lagi untuk beraksi.
Suara-suara di bawah sana terdengar jelas di telinganya. Jerit tangis wanita dan anak-anak yang berhamburan menyelamatkan diri.
Derap kaki kuda yang mengitari arena pertempuran. Pekik para pemberontak yang menginginkannya turun tahta dan jerit kesakitan para korban perang. Semua itu berdengung, silih berganti memekakkan telinganya.
Tidak dipungkiri, bimbang mulai menggoda benaknya. Ada keinginan untuk menghentikan semua ini dengan kekuatan yang ia miliki.
Perlahan tangannya mulai bergerak. Pedangnya mulai bergetar, merespon hati sang pemilik yang dipenuhi kebimbangan. Pedang es itu mulai berdengung, seakan-akan mengajaknya untuk segera turun ke arena perang.
Ao Yu Long menjejakkan kakinya ke lantai menara dan pedang es pun berkelebat di tangannya. Mata phoeniknya terbuka dan menatap tajam setiap sudut arena pertempuran di bawah sana. Tangannya mulai bersiap menebaskan pedang esnya.