Bocah pengemis yang menggigil itu menatap kakaknya dengan mata merah. Keduanya yatim-piatu, dan dari bayi mereka telah tinggal di panti asuhan yang saat ini sudah bubar karena kekurangan dana.
Tidak banyak pakaian di rumah bobrok ini, hanya ada empat pasang yang semuanya dipungut dari tempat sampah. Salah satu dari empat pakaian yang mereka miliki sudah benar-benar tidak bisa digunakan. Mereka menggunakan dua pakaian sekarang, yang basah diguyur air hujan, sehingga praktis pakaian yang ada di tangan bocah pengemis yang sedikit lebih tinggi merupakan pakaian terakhir yang mereka miliki.
Meskipun bocah pengemis yang berlinang air mata masih kecil dan belum mengerti tentang dunia, tetapi ia adalah bocah yang cerdas dengan hati yang baik. Melihat pakaian jelek dan usang yang berada di tangan kakaknya, ia tidak segera mengambilnya. Ia tahu bahwa jika ia menggunakan pakaian itu, maka kakaknya terpaksa menggunakan pakaian basah yang dipakainya saat ini karena tidak ada pakaian lain.
"Cepat, keringkan rambutnya." Bocah pengemis yang sedikit lebih tinggi dengan paksa memberikan pakaian ditangannya pada adiknya, dan membantunya untuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.
Sekarang hari sudah malam dan hujan diluar sangat deras dengan angin kencang yang terasa sangat dingin. Jika ia tidak segera mengganti pakaian dan mengeringkan rambutnya, maka ia akan demam keesokan harinya. Itu bukanlah hal yang ingin dilihat oleh bocah pengemis yang sedikit lebih tinggi.
"Tapi, Kak. Ini pakaian mu. Jika kamu memberikannya padaku, kamu akan menggunakan apa?" Bocah pengemis itu mendongak, menatap wajah orang di depannya.
Bocah pengemis yang sedikit lebih pendek bernama Liam, ia terlihat imut dengan kulit putih dan mata besar yang cerah. Tahun ini ia berusia 7 tahun. Mungkin karena kurangnya makanan bergizi yang didapat, perawakannya tidak terlihat seperti bocah berusia 7 tahun, ia terlihat sedikit lebih kurus dari rata-rata anak seusianya.
Sementara bocah di depannya yang sedikit lebih tinggi darinya bernama Andhanu, ia tampak agak dewasa di usianya yang baru menginjak 9 tahun. Kedewasaan yang dimilikinya tidak berasal dari penampilannya, tetapi lebih dari tempramen dan sorot matanya yang teguh.
Sepasang mata birunya sangat indah seperti lautan tanpa ujung, jernih dan dalam. Rambutnya yang panjang segelap malam, dan kulitnya yang berwarna gandum sehat memberitahu bahwa ia sering terkena sinar matahari.
"Jangan terlalu dipikirkan. Cepat ganti pakaian mu atau aku akan marah. Aku akan pergi ke belakang dan menyalakan api untuk menghangatkan kita." Bocah pengemis bernama Andhanu menjawab sambil tersenyum sebelum berbalik dan menghilang dibalik dinding kayu.
Kakaknya telah memperingatkannya, meskipun ia tidak mau untuk memakai pakaian terakhir milik kakaknya, namun ia lebih takut dengan kemarahan kakak laki-lakinya itu. Setelah termenung untuk waktu yang singkat, bocah itu segera melepas pakaiannya yang basah dan menggelap tubuhnya sebelum menggunakan pakaian kering.
Bagian belakang rumah adalah sebuah dapur yang cukup besar, namun tidak ada peralatan memasak yang lengkap dan bersih; sebaliknya hanya ada tumpukan kayu dan rumput kering di salah satu sudut ruangan.
Andhanu membawa tumpukan kayu dan rumput kering ke tengah ruangan, memasukkannya ke dalam cekungan tanah yang sengaja digali olehnya. Warna tanah di dalam cekungan berwarna abu-abu kehitaman yang berasal dari sisa pembakaran arang, itu membuktikan bawah ia pernah menyalakan api di sana sebelumnya.
Segenggam rumput kering di letakkan di dasar cekungan sebelum kemudian di timpa oleh tumpukan kayu yang disusun mengerucut ke atas, dua batu hitam diambil di samping cekungan dan digosok dengan kuat hingga menghasilkan percikan api.
"Kak, apa kamu membutuhkan bantuan?" Sebuah suara kekanak-kanakan datang dari belakang. Liam yang sudah mengganti pakaian dengan cepat menuruni tangga, berdiri di samping kakaknya sambil menyaksikan api yang sudah mulai membakar kayu dengan sedikit cemberut. Dia menyesal karena datang terlambat sehingga tidak bisa membantu kakaknya.
"Tidak perlu." Andhanu menggeleng dan menatapnya sambil tersenyum. "Mana pakaian mu yang basah, biar aku menggantungnya di samping agar cepat kering." Sambil mengatakan itu, Andhanu berdiri dan melepaskan pakaiannya yang basah dan hanya menyisakan celana dalam, kemudian menggantung pakaian keduanya di atas tiang jemuran kayu di samping api unggun.
Dengan menggunakan suhu panas dari api dan tiupan angin, biasanya pakaiannya akan langsung kering keesokan harinya, sehingga dia bisa menggunakannya lagi.
"Kak, gunakan ini." Liam mengulurkan tangannya, memberikan sepotong kain kering.
Andhanu yang melihatnya sedikit tertegun sebelum bertanya dengan heran, "Apa kamu tidak menggunakannya?" Kemudian, pandanganya beralih ke bagian bawah adiknya. Dia tidak menggunakan celana, hanya ada celana dalam pendek.
"Apa yang kamu lakukan. Kamu bisa masuk angin jika begini. Cepat pakai!" Andhanu melotot marah pada adik laki-lakinya yang biasanya selalu mendengarkan ucapannya.
"Tidak." Liam menggeleng, menahan perasaan takut dihatinya. Setelah menelan ludah, dia berkata dengan suara serius, "Kakak yang pakai. Aku memakai baju dan celana dalam, sementara Kakak memakai celananya. Kakak juga harus memperhatikan diri Kakak sendiri. Bukankah Kakak berjanji akan memberiku sepasang sarung tangan. Jika Kakak sakit, bagaimana cara Kakak bekerja dan menghasilkan uang untuk kita makan."
Meskipun dia mengatakan itu, Liam sebenarnya sangat ingin memberikan seluruh setelan ini pada kakak laki-lakinya. Namun, dengan karakter kakaknya yang keras kepala, ia tidak akan setuju dengan pemikirannya, yang ada dia hanya akan diomeli.