Legenda Putra Cahaya

Kang Ihan Wibisa
Chapter #3

Bab 3. Semangat Seorang Anak

Di luar bangunan berisik namun hangat itu, tepat di atas pintu kayu, sebuah tanda palu dan besi penempaan diukir jelas. Ukurannya sangat besar, seolah takut orang-orang tidak memperhatikannya.

Di dunia ini, tanda palu dan besi penempaan seperti itu adalah tanda dari bengkel. Di sini, profesi pandai besi cukup populer. Khususnya bagi militer, bengkel pandai besi sangat penting untuk memasok berbagai macam senjata yang akan digunakan para tentara. Di kota ini juga sama.

Hanya saja, karena Kota Ledo berada di ujung timur Kerajaan Tonda yang berada jauh dari perbatasan antar dua kerajaan, keamanan militer di sini tidak seketat di kota-kota lain karena tempat ini memang sangat aman. Karenanya, permintaan senjata untuk para tentara sangat sedikit, yang mempengaruhi produktivitas dan penjualan senjata dari bengkel. Profesi pandai besi secara alami juga tidak populer.

Ada lima bengkel pandai besi di seluruh Kota Ledo, tetapi hanya tiga yang masih beroperasi hingga sekarang. Sementara tempat ini kaya akan mineral dan memiliki tambang besi yang besar, tempat-tempat pemrosesan besi dan baja masih tertinggal jika dibandingkan dengan kota lain, yang sangat mengkhawatirkan.

Jika hal ini terus terjadi, lambat-laun perekonomian tempat ini yang baru saja membaik akan merosot, yang mungkin akan lebih parah dari yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya.

Ini tampaknya akan menjadi tugas yang tidak mudah, dan para petinggi kota harus memikirkan cara untuk mengatasinya.

Tapi apa pun itu, hal tersebut tidak ada hubungannya dengan Andhanu.

Andhanu tidak berhenti sedikit pun setelah melewati halaman dan bergerak ke samping, berjalan ke bagian belakang bangunan. Tempat ini lebih luas dari halaman depan, hampir dua kali lipat lebih besar, namun jauh lebih sesak karena hampir di setiap sudut terdapat tumpukan besi dan kayu.

Di sana, seorang pria paruh baya terlihat sibuk dengan pekerjaannya memindahkan kayu bakar, tanpa memperhatikan kedatangan dua anak laki-laki yang harus berjuang di usianya yang masih sangat muda.

"Selamat pagi, Paman Nawi!"

Andhanu dan Liam berjalan mendekat dan berhenti sekitar 3 meter dari pria itu. Mendengar namanya dipanggil, pria itu sedikit tersentak sebelum berbalik setelah meletakkan kayu bakar yang ada di tangannya. Melihat orang yang memanggilnya, pria itu tersenyum.

"Andhanu, Liam. Kalian datang pagi-pagi sekali," kata pria itu. Merasa suaranya agak aneh, pria itu berdeham beberapa kali.

"Paman, apa kamu baik-baik saja?" tanya Liam sambil berkedip polos.

"Tidak apa-apa." Pria itu tersenyum. "Mungkin karena aku kurang minum sehingga suaraku agak serak. Apa kalian datang untuk mengantarkan kayu bakar?" tanya pria itu ketika melihat keduanya meletakkan beberapa ikat kayu berukuran kecil di depannya.

Andhanu mengangguk. "Hanya saja kali ini hanya ada enam ikat, jauh lebih sedikit dari biasanya. Nanti sore aku pergi lagi ke bukit untuk mengumpulkan lebih banyak."

"Ini sudah cukup banyak," ucap pria itu sambil tersenyum.

Pria paruh baya yang berdiri di depan Andhanu dan Liam saat ini dipanggil Paman Nawi oleh orang-orang. Dia berpenampilan biasa dan rata-rata, satu-satunya yang menarik tentangnya mungkin adalah senyuman yang selalu menghiasi wajahnya.

Paman Nawi telah bekerja di bengkel pandai besi ini selama lebih dari 15 tahun, dan memiliki reputasi yang baik. Saat ini, Paman Nawi telah berusia lebih dari 40 tahun, dan akan menginjak usia 42 dalam beberapa minggu.

Pada awalnya, Paman Nawi bekerja sebagai pandai besi di bengkel ini dan termasuk sebagai salah satu pandai besi yang berbakat. Dia telah membuat banyak barang berkualitas tinggi, dan setiap barang yang ditempanya selalu di puji oleh orang-orang.

Dengan ketenarannya, bengkel ini mendapatkan banyak pesanan dari pasar. Sebagian besar pesanan berupa alat pertambangan, mengingat dalam beberapa waktu ke belakang banyak ditemukan tambang logam, yang sekarang menjadi pendorong utama kemajuan infrastruktur kota. Dengan bisnis yang lancar, Paman Nawi berhasil menjadikan bengkel ini menjadi salah satu bengkel pandai besi terbesar di kota.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, kesehatan Paman Nawi semakin memburuk. Lagi pula, dengan terus-menerus bekerja di bengkel, terpapar panas api dan menghirup udara yang mungkin tercampur dengan debu loga meskipun sudah memakai kain untuk menutupi mulut dan hidung, siapa yang tidak merasa lelah?

Pada awalnya, gagasan untuk pensiun dari pekerjaan sebagai pandai besi tidak pernah terbesit dalam pikirannya. Namun karena sebuah kecelakaan yang melukai lengannya, dia mulai memikirkan karirnya yang baru mencapai puncak, dan enggan untuk mengakhirinya begitu saja.

Bagi seorang pandai besi, kedua lengan mereka adalah aset yang paling berharga. Dengan kedua lengan cedera, itu praktis seperti mengubur impiannya secara paksa.

Meskipun cedera di lengan Paman Nawi telah sembuh saat ini, dia masih akan merasakan pegal dan sakit jika mengangkat barang atau benda yang cukup berat. Dengan kondisinya seperti ini, tidak mungkin baginya untuk memukul besi panas dan menjadi pandai besi lagi. Dengan enggan, dia memutuskan pensiun, dan beralih untuk mengawasi para pekerja di bengkel.

Bengkel ini awalnya milik kakak laki-lakinya yang lebih tua, dan dia bertugas untuk mengurusnya.

Belakangan, ketika Andhanu dan Liam sedang berkeliaran untuk menawarkan kayu bakar yang mereka bawa pada orang-orang, Pria tua ini penasaran sehingga memanggil keduanya dan bertanya. Baru setelah dia memahami situasinya, dia merasa kasihan dan memutuskan untuk membeli semua kayu bakar yang mereka miliki.

Dari awal hingga sekarang, transaksi ini telah dilakukan selama hampir setengah tahun.

Lihat selengkapnya